Artikel 97_ 2004
FENOMENA POLITIK INSTAN
Pilpres-II telah usai dan kita sudah mengetahui hasilnya. Di balik Pilleg (pemilihan legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden) itu kita dapat belajar dari dua tokoh fenomenal politik instan di sekitar Pemilu yaitu Zaenudin & Royandi. Baik Z maupun R adalah tokoh-tokoh yang dikultuskan dalam agama, yang satu disebut ‘dai sejuta umat’ dan yang lain ‘penginjil penyembuh.’ Keduanya memang populer dimana Z banyak dielu-elukan umat dan setiap kotbahnya dihadiri ribuan orang, demikian juga dengan R yang sebagai ketua yayasan Doulos sering diundang KKR dan dipercaya sebagai ketua Jaringan Doa Kota, sayap Jaringan Doa Nasional (JDN).
Disamping kharisma keduanya yang besar, ada kesamaan, yaitu keduanya memiliki ambisi yang sama untuk berkuasa dalam dunia politik dengan memanfaatkan sentimen agama dan kepopuleran mereka sebagai pendakwah/penginjil, karena ambisi itulah keduanya membentuk partai, dan petualangan mereka dalam dunia politik kemudian menjadi fenomena menarik untuk dijadikan cermin.
Z secara tradisional adalah pendukung PPP dan dalam kampanye Pemilu biasa menjadi jubir PPP, namun pada Pemilu 1997, ia membelot dan bergabung pada partai yang sedang berkuasa yaitu Golkar, ini menimbulkan konflik mendasar sehingga kampanyenya untuk Golkar sampai berekses kerusuhan kota di Buaran – Pekalongan (Maret 1997), karena di basis PPP ini banyak orang tidak puas dengan pembelotan Z dan dipicu oleh kasus penggantian bendera hijau dengan kuning, terjadilah kerusuhan yang merembet ke masalah SARA.
Ternyata kemudian Z kembali ke basisnya di PPP dan mulai berambisi menjadi pimpinan, dan karena pamornya kalah dengan tokoh-tokoh tradisional di PPP, ia sekali lagi membelot dan mengadakan konvensi partai tandingan yang ujung-ujungnya mendirikan partai baru PBR yang diketuainya. Rupanya popularitas di mimbar dakwah berbeda dengan popularitas di mimbar politik, sebab dalam Pemilu 2004 partainya hanya mendapat suara sedikit dan tidak lolos electoral-threshold. Rupanya ambisi politik bisa cukup luwes berganti baju setiap saat, karena kemudian dalam Pilpres-II, PBR mendukung dan bergabung dalam koalisi kebangsaan dimana disitu sudah ada PPP. Inilah politik dimana ‘tidak ada musuh yang kekal, yang ada adalah kepentingan politik.’ Pilpres-II menjadikan koalisi kebangsaan sebagai pihak yang kalah, maka pupuslah ambisi politik Z (setidaknya untuk saat ini).
Mirip dengan itu adalah tokoh fenomenal lainnya yaitu R yang sebelumnya dikenal sebagai dokter yang giat dalam pelayanan sosial dan pendiri yayasan Doulos. R yang dokter menjadi penginjil dan banyak terlibat pelayanan konseling dan kesembuhan ilahi. R aktif dalam JDN dan ikut mempopulerkan gerakan Transformasi. (gerakan Transformasi mengangkat rasul-rasul baru a.l. Peter Wagner, George Ottis Jr, Cindy Jacobs, dan mempraktekkan ajaran Prayer Walk, Praying On-site with Insight yang menekankan doa visualisasi dengan menara doanya, spiritual warfare, spiritual mapping, dan mengeluarkan nubuatan-nubuatan sukses politik).
R mengetuai Jaringan Doa Kota dan bersama beberapa eksponen gerakan Transformasi/JDN mengeluarkan nubuatan, seperti bahwa tahun 2005 setengah rakyat Indonesia akan menjadi Kristen, R akan menjadi RI-I, dan bahwa Ia akan didukung pemilih sampai 20 persen dan berharap angka itu mencapai 50 persen dukungan dalam Pemilu. Bukan hanya itu nubuatan klenik kristen itu kemudian dicampur-aduk dengan nubuatan klenik Jayabaya yang berbunyi NOTONAGORO dimana suku kata terakhir RO dianggap initial ROyandi menggantikan MeGOwati.
Bermodal nubuatan dan ramalan, dan tanpa pengalaman politik yang sepadan, dibentuklah partai politik yang mengusung simbol Kristen yaitu salib dan burung dara, namun sayang idenya tidak disertai semangat kesatuan bergabung dengan berbagai partai bernafas Kristen, bahkan kemenangannya dalam prakualifikasi parpol di antara sekitar belasan partai bernafas Kristen membuatnya percaya diri berlebihan. R memang mengidap nafas antitesa terhadap pemerintahan yang ada yang dianggap membiarkan gereja-gereja dibakar, demikian juga dengan Orba, sampai-sampai beberapa pengikutnya menggunakan ayat Yoshua 1:7, agar tidak belok kekiri (No.18 – PDIP) maupun belok ke kanan (No.20 – Golkar), di tengahnya No.19 adalah PDS (ingat ayat itu konteksnya menunjukkan jalan lurus sebagai kitab Taurat!)
Sentimen agama yang dibawa-bawa ternyata gagal, sebab dalam Pemilu 2004, angka yang diperoleh hanya 2,13 persen yang berarti tidak lolos electoral-threshold yang 3 persen sehingga tidak dapat mengikuti Pemilu 2009. Karena sudah terlanjur basah oleh politik ia melepaskan jabatan kependetaannya dan memutuskan sepenuhnya terjun dalam bidang politik untuk memenuhi ambisinya menjadi RI-1. Sayang ‘politikus instan’ yang belum punya jam terbang cukup dalam bidang politik ini hanya mengandalkan sentimen keagamaan, jaringan doa kota, dan kepercayaan nubuatan klenik kristen yang dicampur klenik Jayabaya, dan tidak belajar dari pengalaman, karena sekalipun gagal, ambisi politiknya terus menggebu dan kemudian bergabung dengan ‘musuh-musuh awal’nya yaitu koalisi kebangsaan yang kemudian terbukti gagal pula. Dengan kekalahan koalisi kebangsaan, maka pupuslah sudah ambisi politik R (setidaknya untuk saat ini). Apakah yang bisa kita pelajari dari fenomena itu?
Tidak salah kalau umat Kristen terjun dalam dunia politik karena itu adalah bagian dari kesaksian dan panggilan Kristen, namun perlu dihayati agar dalam berpolitik kita menjadi saksi yang membuahkan kebenaran, keadilan dan kasih kristiani, dan tidak larut dalam praktek umum politik yang kotor dan macheavelian (tujuan menghalalkan cara). Sayang R membawa-bawa umat Kristen dengan menggunakan simbol kristiani untuk memenuhi ambisi politiknya, bahkan sangat disayangkan kalau jabatan ‘pendeta’ dilepaskan dan ditukar ambisi politik sebagai caleg! Lebih disayangkan lagi adalah kalau jaringan doa kota dan persekutuan Kristen yang diketuainya dijadikan kendaraan politik untuk menggapai RI-I yang diimpikan itu.
Seharusnya R introspeksi bahwa ternyata ia hanya didukung 2,13% pemilih yaitu sekitar 10% (perpuluhan?) dari jumlah umat Kristen yang diduga sekitar 20% jumlah penduduk Indonesia, bahkan dari 10% itu, menurut analisis polling TV hanya sekitar separuh yang pada Pilpres-II mengikutinya mendukung koalisi kebangsaan. Fakta ini menunjukkan bahwa umumnya umat Kristen sudah cukup dewasa untuk tidak dipengaruhi kampanye KKR yang membawa-bawa nama kekristenan.
Yang menyedihkan lagi bahwa sebagian umat Kristen terpengaruh gerakan Transformasi yang menjual nubuatan-nubuatan kosong, nubuatan spekulatif yang dikaitkan-kaitkan dengan politik dan masa depan bangsa. Dan ketika nubuatan itu ternyata bohong, mau dikemanakan muka umat Kristen Transformasi dengan nubuatannya itu? Lebih menyedihkan lagi nubuatan klenik kristen itu dicampur adukkan dengan ramalam klenik Jayabaya.
Pilpres-II sudah menempatkan koalisi kerakyatan sebagai pemenang dan pupuslah ambisi politik dua tokoh agama yang membawa-bawa sentimen agamanya. Hendaklah umat Kristen sadar untuk tidak mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran klenik dan kampanye yang memanipulasikan jargon kekristenan semacam jaringan doa dan nubuatan transformasi yang lebih bernafas New Age daripada Alkitab (George Ottis Jr. tokohnya menolak ’penebusan’ Yesus, dan menempatkan manusia sebagai pusat dengan kekuatan doa, nubuatan dan visualisasinya). Demikian juga agar umat Kristen jangan membawa-bawa agama sebagai kendaraan politik dan berpolitik partisan.
Setiap umat memiliki hak azasi untuk menyatakan keberpihakan dirinya tetapi janganlah membawa nama gereja, gerakan doa, atau kekristenan sebagai kelompok dan institusi sebagai partisan politik, karena sikap itu bisa menjadi boomerang bagi kekristenan. Sebaliknya umat Kristen dihimbau untuk aktif berpolitik sebagai pribadi-pribadi bila itu yang dikehendaki Tuhan dan menjadi panggilannya, dan ia memiliki talenta untuk itu. Jadilah pemain politik seperti Esther dan Daniel dan bukan ahli Taurat yang mendampingi raja Herodes. Politikus Kristen perlu menyatakan kebenaran, keadilan dan kasih kristiani dimana ia berada, baik di PDI-P, Golkar, Partai Demokrat, maupun partai lainnya.
Memang di kalangan kristen ada dua kutub politis, disatu segi gereja-gereja ekumenis (yang dikalangan mahasiswa diwakili GMKI) lebih sadar akan hak & kewajiban politik mereka, hanya sayang pada kutub ini hal-hal imani yang vertikalistis kurang ditumbuhkan. Sebaliknya biasanya gereja-gereja Injili dan Kharismatik (yang di kalangan mahasiswa diwakili PMK) kurang peka terhadap hak & kewajiban politik mereka yang horisontalistis, namun belakangan ini dari yang terakhir ini tiba-tiba bisa muncul politikus instan yang lebih berambisi dan merasa diri lebih mampu daripada politikus karier dari kutub ekumenis.
Umat Kristen yang terjun dalam dunia politik perlu banyak dengar-dengaran akan firman Tuhan, merenungkannya, dan banyak berdoa dalam setiap tingkah laku politiknya, sekaligus ia perlu memiliki jam terbang tinggi dalam karier politik untuk bisa cakap dan tahu rasanya bagaimana menjadi politikus yang bisa dipercaya dan benci kepada pengejaran suap. Dan, marilah kita mendoakan tokoh-tokoh Kristen yang ada dalam partai-partai, pemerintahan (kabinet maupun DPR/DPRD), maupun bidang politik lainnya, agar mereka tetap Takut akan Tuhan dan bahwa mereka mengemban tanggung jawab untuk menjalankan misi Allah di bumi Indonesia.
Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry www.yabina.org