Artikel 017_ 2001                 


KRISTEN DAN KEKERASAN

Belakangan ini kita melihat perang dan kekerasan terjadi di banyak tempat dan dari kekerasan yang timbul itu banyak juga orang-orang yang beragama 'Kristen' terlibat. Dalam konteks inilah sering timbul pertanyaan apakah Ajaran 'Kristen' mengajarkan 'Kekerasan'?

  Ada yang menyebut adanya indikasi kekerasan itu terjadi karena Alkitab dianggap mengajarkan hal itu, itu antara lain disebutkan terlihat dari ayat-ayat berikut:

"Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, domba, dan keledai" (Yosua 6:21)
"Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan TUHAN Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apapun yang bernafas" (Ulangan 20:16)
"Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jamaah itu. Baik yang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati" (Imamat 24:16)
"Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan padanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai" (1 Samuel 15:3)

Memang dalam Perjanjian Lama tidak sukar mencari ayat-ayat bernada seperti itu dan bila kita menafsirkannya secara harfiah di luar konteksnya maka akan mudah sampai pada kesimpulan demikian, namun apakah ini perilaku yang diikuti oleh umat Kristen?

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang menceritakan ketika umat Israel memasuki tanah Kanaan, dan kita harus menyadari mengapa kemarahan Tuhan begitu besar sehingga menggunakan tangan orang Israel untuk menghukum mereka. Orang-orang Kanaan hidup dalam kondisi yang masih sangat primitif dimana kejahatan mereka begitu besar, mereka menyembah berhala dan sangat menghujat Tuhan, dan bahkan dalam ibadat mereka, mereka sering mengorbankan anak-anak. Etika mereka kacau sekali seperti terlihat dalam kota Sodom dan Gomora. Namun dalam Perjanjian Lama, hukuman Tuhan ini tidak hanya dilakukan terhadap musuh-musuh Israel, namun juga secara adil terhadap orang Israel sendiri bila mereka menjadi musuh Tuhan seperti dalam kasus 'Penyembahan Berhala Lembu Emas' (Keluaran 32). 

Dalam Perjanjian Baru yang dijanjikan (Yeremia 31 & Yehezkiel 36) konsep 'hukum' Perjanjian Lama yang bersifat kedagingan (sunat kulup) digantikan dengan konsep 'kasih' yang bersifat batiniah (sunat hati), dan Alkitab Perjanjian Baru yang dianut orang Kristen sebagai penggenap Perjanjian Lama mengajarkan agar kita 'mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri' (Matius 22:34-40). Yesus sendiri memberikan contoh bahwa Ia tidak melawan melainkan rela berkorban demi umat manusia.

Kalau begitu, banyak orang bertanya mengapa dalam Perjanjian Baru ada berita kekerasan juga? Bukankah ayat-ayat berikut menunjukkan hal itu?

"Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang" 
(Matius 10:34)
"Kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan" 
(Lukas 12:51)
"Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi" 
(Matius 25:30)

Kembali disini kita harus menafsirkan ayat-ayat Alkitab dengan mengerti dalam kaitan konteksnya dan tidak bisa begitu saja dilepaskan sebagai ayat yang terpisah. Yesus sendiri mengucapkan ayat Matius 10:34 itu menyebutkan dalam kaitan ayat-ayat Matius 10 pengutusan para Rasul yang ibarat domba berada ditengah serigala, mereka akan dianiaya, ditangkap, dan  dibunuh, bahkan oleh orang-orang Farisi yang mempercayai Taurat Tuhan. Jadi dalam konteks situasi demikianlah maka Yesus menghibur para rasulnya bahwa 'pedang akan menjadi resiko yang harus diterima mereka yang menjadi Kristen'.

Ayat-ayat Lukas 12:51 juga bernada serupa bahwa menjadi Kristen bukan lalu disenangi semua orang maupun keluarga namun ada resiko bahwa ia bahkan akan dimusuhi oleh keluarga sendiri karena iman mereka, namun dalam konteks itu bukannya Yesus mengajar supaya para pengikutnya bermain pedang atau menentang orang lain, tetapi agar tetap mengasihi musuh-musuh mereka. Yesus sendiri berfirman:

"Kamu telah mendengar firman [PL]: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimi … Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Matius 5:38-44, dalam […] tambahan penulis).

Ayat-ayat terdahulu mengenai pedang dan pertentangan tidak mendorong orang-orang Kristen abad pertama berontak dan melawan para penguasa Romawi, namun ayat-ayat tadi (dalam pengertiannya yang benar) justru menguatkan orang-orang Kristen mengenai harga yang harus dibayar bila menjadi orang Kristen sehingga mereka rela menerima penganiayaan bahkan pembakaran karena nama Kristus.

Tetapi, mengapa di Taman Getsemane, ketika akan ditangkap Yesus tidak melarang Petrus yang membawa pedang? Dari konteksnya kita melihat bahwa bukan maksud Yesus untuk menyuruh Petrus membela diri (petrus adalah seorang nelayan) namun dengan pengetahuan sebelumnya Yesus tahu bahwa Petrus ingin memotong teliga seorang imam, dan kejadian itu dibiarkan dengan maksud agar menjadi contoh mujizat dan juga pelajaran bagi Petrus, Yesus berkata: "Masukkan pedang itu kembali kepada sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52), dan ini dilanjuti dengan menyembuhkan telinga korban.

Ayat Matius 25:30 bercerita mengenai 'Akhir Zaman' yang menceritakan hukuman akhir bagi mereka yang tidak beriman dan tidak melakukan kehendak Allah melainkan berbuat jahat dimata Tuhan.

Tetapi, bagaimana dengan adanya kenyataan dimana ada masyarakat Kristen melakukan kekerasan bahkan ethnic cleansing seperti Perang Salib dan sekarang di Bosnia dan Kosovo, dan di Indonesia dalam kasus Ambon?

Disini kita harus berhati-hati untuk tidak mengkaitkan dosa bangsa dengan dosa agama yang dianut bangsa itu. Dalam contoh Perjanjian Lama kita sering melihat (terutama dalam kitab Nabi-Nabi) bahwa Tuhan menyalahkan orang Israel (yang beragama taurat) karena tidak taat kepada Tuhan (pemberi Taurat), jadi misalnya kalau orang Israel membantai musuh-musuh Palestinanya, kita tidak bisa begitu saja menafsirkan seakan-akan Perjanjian Lama mengajarkan untuk membantai pengikut Al-Quran dan pengikut Perjanjian Baru (ingat 30% rakyat Palestina beragama Kristen dan ikut berjuang, termasuk isteri Arafat). Orang Israel bertindak sadis bukan karena ajaran Perjanjian Lama, namun karena watak pemberontakan mereka kepada Tuhan yang menghasilkan tradisi Zionisme di luar kehendak Tuhan.

Orang-orang yang beragama Kristen yang ikut perang salib tidak menggunakan ayat-ayat Alkitab namun lebih membawakan misi peradaban Eropah yang ingin menunjukkan supremasi mereka pada peradaban Timur Tengah, agama Kristen tidak pernah mengajarkan umatnya untuk merebut kota Yerusalem. Jadi di sini kita melihat dosa bangsa yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.

Memang harus diakui bahwa sejak Konstantin, raja Romawi, masuk Kristen (entah benar entah karena alasan politis atau keduanya) maka secara massal rakyat ikut-ikutan menjadi 'kristen' (sebagai agama tradisi) sekalipun mereka belum bertobat dan tetap menyembah patung dan merayakan upacara penyembahan berhala. Ketika terjadi Reformasi di Eropah memang ada saling-bunuh antara orang Katolik dan Protestan (seperti Irlandia sekarang) tertentu namun itu bukan karena ajaran Alkitab, karena ajarannya sama, namun karena perbenturan kepentingan ras dalam berebut tanah dan kekuasaan.

Soal Bosnia dan Kosovo, menarik untuk diamati bahwa sekalipun melibatkan anarkisme Serbia yang secara tadisional beragama Kristen Orthodox melawan Bosnia dan Kosovo yang secara tradisional beragama Islam, namun itu bukan perang Kristen-Islam melainkan perang etnis berebut tanah dan kekuasaan, soalnya Serbia juga memerangi Kroasia dengan motivasi sama padahal Kroasia beragama tradisi Kristen Katolik. Yang menarik dalam perang ini adalah justru yang kemudian membebaskan Bosnia dan Kosovo dari tangan Serbia adalah koalisi Barat (yang dianggap Kristen), jadi apakah kita akan menyimpulkannya sebagai perang agama dimana Kristen (Serbia) membasmi Islam (Bosnia & Kosovo) dan kemudian si pembasmi itu sendiri (yang Kristen) dibasmi Kristen (koalisi Barat), tentu tidak bisa ditafsirkan begitu bukan?

Dalam kasus Ambon, kalau kita lihat urusannya memang melibatkan kedua belah pihak yang dibatasi perbedaan agama, tetapi kembali harus diingat karena konflik Ambon punya sejarah panjang perebutan tanah, kekuasaan dan 'emas hijau' (rempah-rempah) ditambah sikap kedua pihak yang berwatak keras! Kalau itu perang agama dan Alkitab mengajarkan kekerasan tentu umat Kristen dimana-mana di Indonesia akan mengangkat pedang karena gereja mereka banyak dibakar dan akan mengirimkan 'Laskar Kristen' untuk ikut berperang di Ambon, namun itu tidak pernah terjadi! Mengapa? Karena Ambon adalah perang etnis dan Alkitab tidak mengajarkan kekerasan.

Dari diskusi di atas kita dapat melihat bahwa untuk mendatangkan damai rasa maaf dan kasih harus dijalankan oleh semua umat Kristen, dan kalau ia belum melakukannya berarti ia belum melakukan kehendak Yesus jadi perbuatannya tidak mewakili ajaran agamanya melainkan lebih mewakili ajaran suku dan tradisinya, dan sejalan dengan watak keras yang belum diperbaharui oleh firman Tuhan.

Harus diakui sebagai introspeksi bagi umat Kristen sendiri agar lebih menempatkan ajaran Alkitab di atas kepentingan dan sentimen ras dan golongan, karena itu dalam menghadapi perang saudara di Ambon, umat Kristen perlu menahan diri untuk tidak begitu saja menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain yang kebetulan secara tradisional berlabel agama yang sama. Kedua pihak sama-sama mempunyai kesalahan dan kebenaran, dan khususnya umat bergama Kristen yang ikut berperang dan melakukan pengusiran (banyak orang Kristen di Ambon tidak ikut berperang yang juga menjadi korban) perlu kita doakan dan ingatkan agar mereka kembali ke jalan Tuhan.  

Menarik sekali bahwa banyak kesadaran sudah timbul di kalangan umat beragama untuk membantu para pengungsi dengan segala daya yang bukan diarahkan kepada mereka yang seagama namun kepada semua yang menderita sebagai korban perang saudara itu.

Gregory Baum dalam bukunya 'Religion & Alienation' mengemukan sifat ambigu agama, yaitu disatu segi agama bisa bersifat menyembuhkan (therapeutic) namun ia juga bisa mengasingkan manusia dari sesamanya (alienating). Adalah tugas setiap insan beragama di Indonesia untuk tidak terlibat pada sentimen SARA tetapi untuk berpijak pada kebenaran dan berusaha sebanyak mungkin untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai yang mendatangkan penyembuhan yang bersifat 'therapeutic' agar damai sejahtera dialami semua pihak.

Salam kasih dari Herlianto/YBA


[ YBA Home Page | Artikel sebelumnya]