RENUNGAN Agustus 2001
Sikap Partisan
"… (5) Untuk menghadapi suku Efraim itu, maka orang Gilead menduduki tempat-tempat penyeberangan sungai Yordan. Apabila dari suku Efraim ada yang lari dan berkata: "Biarkanlah aku menyeberang," maka orang Gilead berkata kepadanya: "Orang Efraimkah engkau?" Dan jika ia menjawab: "Bukan," (6) maka mereka berkata kepadanya: "Coba katakan dahulu: Syibolet." Jika ia berkata sibolet, jadi tidak dapat mengucapkannya dengan tepat, maka mereka menangkap dia dan menyembelihnya dekat tempat-tempat penyeberangan sungai Yordan itu. Pada waktu itu tewaslah dari suku Efraim empat puluh ribu orang." (Hakim-Hakim 12:5-6)
Ayat-ayat di atas merupakan bagian dari perikop mengenai perang antara suku Gilead dan bani Amon, suku Gilead dipimpin oleh Yefta. Dalam perang ini terjadi kesalah pahaman antara suku Gilead dan suku Efraim, disatu sisi suku Efraim menyalahkan Gilead karena tidak mengajak Efraim dan di sisi lainnya suku Gilead menyalahkan suku Efraim karena tidak membantu ketika suku Gilead berperang melawan bani Amon.
Lepas dari bagaimana persisnya duduk perkara permusuhan antara kedua suku itu (suku Gilead terletak di antara suku Efraim dan suku Manasye), kita melihat dari dua ayat kutipan diatas bahwa telah terjadi suatu steoreotip yang memisahkan dengan tegas suku Gilead dari suku Efraim. Perang antar suku ini dilihat dari sudut Gilead bahkan diukur dari dialek orang Efraim yang berbeda dengan orang Gilead.
Dari ayat-ayat di atas kita dapat melihat adanya sebuah kata 'stereotip' yaitu 'syibolet' menurut dialek Gilead namun bagi orang Efraim, kata yang sama akan disebut dengan ucapan 'sibolet'. Ternyata kata ini telah menjadi alat stereotip sehingga terjadi pembantaian etnis yang begitu luar biasa yang mengorbankan 40 ribu orang.
Sebenarnya Yefta adalah orang yang gagah perkasa dan takut akan Tuhan, namun sebagai manusia kelihatannya ia seorang yang ceroboh yang tidak belajar dari pengalaman. Semula keluarga Gilead menganggap Yefta melalui sudut pandang stereotip bahwa ia bukan orang benar karena lahir dari seorang pelacur, jadi saudara-saudaranya beranggapan bahwa semua yang bukan anak melalui perkawinan resmi adalah tidak sah sehingga harus dibuang.
Menarik sekali bahwa tua-tua suku Gilead melihat ada 'perkecualian' dari sikap stereotip yang menyamaratakan semua keturunan pelacur sebagai orang yang harus dibuang. Tua-tua itu melihat bahwa dalam diri Yefta ada semangat Gilead yang lebih baik dari anak resmi, karena itulah menghadapi bani Amon mereka mengangkat Yefta sebagai pemimpin mereka.
Sebenarnya Yefta perlu belajar dari kasus yang dialaminya sendiri bahwa kita tidak boleh melakukan generalisasi namun harus memperhatikan kasus satu-persatu, namun dalam 'nazar'nya ia telah melakukan generalisasi pula bahwa siapapun yang keluar dari rumah pertama kali menyambutnya akan dikorbankan sebagai korban bakaran. Kesalahan fatal Yefta adalah bahwa ia tidak dapat membedakan antara manusia dan binatang yang keduanya mungkin keluar dari rumahnya menyambutnya.
Alhasil, setelah ia mengalahkan bani Amon dan kemudian berperang melawan suku Efraim, telah terjadi stereotip dan generalisasi pada semua orang Efraim bahwa mereka harus dibunuh semua. Akibat dari semua itu, maka dengan 'kata syibolet' sebagai ukuran orang-orang Gilead membunuh orang-orang Efraim tanpa ampun. Sikap stereotip dan generalisasi demikian dapat disebut sebagai 'Sikap Partisan' yaitu semua dipihaknya dianggap selalu benar dan mereka yang dipihak lain selalu dianggap tidak benar.
Umat Kristen juga sering jatuh dalam sikap partisan berdasarkan stereotip dan generalisasi menghadapi pihak lain, dengan sikap demikian umat demikian cenderung membenarkan diri dan menyalahkan pihak lain. Sebagai contoh, dalam sentimen perang saudara di Maluku, banyak umat Kristen bersikap stetreotip dan melakukan generalisasi bahwa semua yang beragama Kristen dianggap benar sedangkan lawannya yaitu yang beragama Islam dianggap salah. Kita mengetahui bahwa di kedua pihak terbukti disamping ada yang benar, banyak juga yang salah, sebaliknya dipihak lawan, disamping yang memang berbuat salah, ternyata banyak juga yang berbuat baik dan ikut menjadi korban.
Kasus Sampit menunjukkan kepada kita betapa hal yang sama telah terjadi di sana, dimana semua orang yang berbau Madura akan dihabiskan oleh orang Dayak tertentu dan sebaliknya orang Dayak juga dianggap musuh untuk dibantai oleh orang Madura tertentu. Yang menarik ada orang Dayak yang pindah agama karena mengawini wanita Madura dan ikut mengungsi ke pulau Madura, ternyata di sana ia dihabisi juga!
Pada saat perpindahan pemerintahan dari ORDE Baru ke Orde Reformasi, terjadi juga stereotip dan sikap partisian yang sama. Mereka yang mengaku diri sebagai orang Reformasi menganggap semua yang berlabel Orde Baru korup dan ber KKN sedangkan kalangan Reformasi adalah orang-orang ideal yang semuanya baik. Lengsernya tokoh refromasi Gus Dur menunjukkan bahwa terjata dibalik stereotip itu kita bisa melihat bahwa yang terkait Orba ada juga yang baik, dan seorang tokoh reformasi dan LSM pun ternyata bisa juga melakukan KKN yang sama seperti yang dulu dilakukan oleh Orba.
Kasus 'syibolet/sibolet' menunjukkan kepada kita bahwa orang Gilead tidak lagi membedakan antara tentara dan rakyat Efraim, antara orang Efraim yang tidak baik dan yang baik, semua dianggap musuh untuk dibantai bila salah eja. Di sini tidak dikecualikan orang-orang Efraim yang mungkin sudah lama kawin campur dengan orang Gilead, seorang yang mungkin dilahirkan dari bapak Gilead namun beristeri Efraim yang berdialek 'sibolet', apalagi mungkin banyak juga orang Efraim yang sudah melebur dalam kehidupan Gilead namun masih memiliki dialek 'sibolet.'
Umat Kristen perlu mengembalikan 'sikap partisan' yang salah itu kepada sikap 'kasih' dimana kasus-per-kasus perlu dipertimbangkan dalam menilai seseorang, dengan demikian kita dapat sampai pada sikap bahwa mungkin saja yang dianggap 'musuh' harus kita benarkan karena memang ia benar, sebaliknya yang dianggap 'kawan' harus disalahkan bila memang ia berbuat 'salah'.
Indonesia di masa mendatang menghadapi permusuhan dan stereotip yang luar biasa, stereotip yang didasarkan pada suku, ras, agama dan antar-golongan. Tidak mudah bagi kita untuk lepas dari stereotip 'syibolet' seperti yang menjadi sikap Gilead, namun sebagai umat Kristen, kita harus dapat menjadikan firman Tuhan sebagai ukuran dan bukannya ukuran SARA yang menjadi patokan. Sebagai contoh, sekarang banyak sekali umat Kristen yang membela Israel dalam konfliknya melawan Palestina, padahal kita tahu bahwa di pihak Palestina ada juga umat Kristen yang sama di buat menderita oleh orang Israel, dan di pihak Israel banyak juga yang tidak setuju dengan perilaku opresif pemerintahnya.
Yesus sendiri datang untuk membuka jalan keselamatan kepada mereka yang percaya dan bertobat (Yoh.3:16) dan sebagai orang Yahudi iapun mengkritik orang-orang Yahudi yang tidak benar dimata Tuhan, namun iapun memilih murid-muridnya yang orang Yahudi pula. Umat Kristen dalam menyongsong perbaikan Indonesia di masa depan harus ikut menghindari sikap partisan dan bersikap kristiani yang diisi kasih, kesetiaan dan keadilan.Salam kasih dari Herlianto/YBA
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]