RENUNGAN Agustus 2002                 


Kemerdekaan yang tuntas

“saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Galatia 5:13).

Kita belum lama usai merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke sekian, dan kembali kita merasakan bahwa kemerdekaan itu lebih baik daripada penjajahan. Namun ada ucapan dalam salah satu karikatur yang cukup menggelitik dimana digambarkan seorang anak jalanan sedang menyanyikan lagu yang berbunyi: “Kita sudah merdeka ... mengapa kami masih harus menderita?”

Kemerdekaan sudah kita capai 57 tahun yang lalu, dan kita harus sadar bahwa banyak buah kemerdekaan sudah kita rasakan pada masa kini, kita tidak lagi disebut sebagai bangsa yang dijajah melainkan bangsa merdeka, kita tidak lagi dibungkam suaranya melainkan dapat dengan bebas menyampaikan aspirasi masing-masing baik secara langsung maupun melalui para wakil rakyat.

Kemajuan pembangunan sudah jelas kita rasakan berkat usaha anak-anak bangsa sendiri, gedung-gedung banyak dibangun yang menyerap banyak tenaga kerja, industri berkembang dengan luar biasa, dan lalu-lintas diisi alat angkutan yang modern yang memudahkan seseorang bepergian kemana ia suka.

Berbeda dengan situasi sebelum kemerdekaan, kita dapat melihat bahwa angkutan umum sudah tersedia dengan limpahnya, ada angkot, ada bis kota dan antar kota, ada kereta api yang cukup nyaman, kapal laut yang menghubungkan setiap pelabuhan di Indonesia dan pesawat terbang yang menghadirkan 10 lebih perusahaan penerbangan.

Bila kita berkeliling di wilayah Indonesia, rasanya kekaguman akan alam yang kini tidak dijajah itu menyebabkan kita patut bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan tanah yang subur dan penuh dengan sumber daya alam yang kaya, sehingga tidak patut rasanya kita mengeluh karena bumi pertiwi memang cukup makmur untuk bisa dinikmati bergenerasi-generasi lamanya.

Pendidikan yang dahulu hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang dan pendidikan tinggi dinikmati mereka yang dekat dengan penjajah, saat ini sudah terbuka untuk semua orang. Buku-buku dengan mudah kita peroleh di toko-toko buku yang banyak sekali dibuka di seluruh pelosok tanah air termasuk perpustakaan-perpusatakaan yang memiliki misi mencerdaskan bangsa. Tidak terbayang sebelumnya bahwa pada masa penjajahan kita dapat dengan bebas melihat televisi, sekarang dengan mudah kita melihat TV berwarna dengan pilihan lebih dari 10 saluran.

Dalam hal kebutuhan sehari-hari, kita melihat pasar-pasar penuh dengan bahan-bahan makanan sehingga nyaris semua penduduk dapat makan dengan layak, dan dengan berdirinya mal-mal, segala kebutuhan konsumtip tersedia pula dengan bebasnya. Namun, mengapakah setelah semuanya itu tersedia masih banyak orang yang menyanyikan lagu seperti yang dilantunkan oleh anak pengamen di atas yang menyanyikan lagu yang berbunyi: “Kita sudah merdeka ... mengapa kami masih harus menderita?”

Kelihatannya faktanya jelas bahwa dibalik kemakmuran negeri Indonesia, masih ada bahkan banyak penduduknya yang masih menderita, sekalipun banyak juga yang sudah menikmati hasil-hasil kemerdekaan itu. Kuncinya adalah sambungan dari lagu di atas yaitu “... karena kemakmuran belum merata!” Jadi, Indonesia benar kaya dan seyogyanya semua penduduknya dapat menikmati apa yang tersedia, namun memang pemerataan belum terjadi, sehingga sebagian kecil kelompok masyarakat menikmati sebagian besar kemakmuran bangsa dan sebagian besar masyarakat masih menikmati hanya sebagian kecil kemakmuran bangsa.

Ayat di awal renungan ini mengingatkan kita akan dua hal yang kelihatannya cukup telak untuk menjawab kekurang merataan kemakmuran yang terjadi, yaitu: (1) janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa; melainkan (2) layanilah seorang akan yang lain oleh kasih!

Kehidupan dalam dosa mendorong banyak orang menguasai kemakmuran bangsa bagi diri maupun kelompok sendiri, dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sampai kini masih terus berjalan, menunjukkan dengan jelas bahwa dosa-dosa masih banyak terjadi yang nyaris tanpa dapat disentuh oleh hukum.

Secara manusiawi memang jelas terlihat bahwa kelihatannya kemerdekaan belum akan kita rasakan secara tuntas, terutama bagi sebagian besar penduduknya, namun sebagai umat beragama, seharusnya kita sadar bahwa hidup di dunia ini bersifat fana dan harus kita pertanggung-jawabkan pada kehidupan yang baqa, dimana Tuhan maha adil dan siap menerapkan hukumnya atas diri manusia. Kuncinya tidak lain adalah panggilan untuk ‘melayani yang lain oleh kasih.’

Rasul Yohanes dalam suratnya mengingatkan kita akan tiga hal yang perlu perbuat oleh umat beriman, yaitu: (1) Kerelaan berkorban; (2) Kepekaan lingkungan; dan (3) Kepedulian sosial.

“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3:16-18)

Seruan rasul Paulus dan Yohanes dalam surat-surat mereka juga merupakan seruan untuk kita di Indonesia agar kita meninggalkan jalan dosa dan mengikuti jalan pertobatan menuju kasih Allah dan hidup dalam kebenaran.

Semoga, Amin!

Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry

[_private/r_list.htm]