RENUNGAN September 2002
[_private/r_list.htm]Agama dan Sukses
“(19) Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. (20) Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. (21) Karena dimana hartamu berada, di situ hatimu juga berada.” (Matius 6:19-21).
Di tengah krisis moneter yang belum usai yang menimpa negara kita, kita melihat belakangan ini ekonomi mulai menggeliat kembali. Di Bandung saja dalam setahun terakhir ini dua mal besar diresmikan dan menjelang hari-hari raya agama yang berdekatan pada akhir tahun ini, kabarnya beberapa mal-mal besar lainnya akan juga mengalami ‘soft opening’. Apakah ini menandakan bahwa kita mulai mengalami sukses?
Bila di lihat dari pembangunan mal-mal besar yang isinya umumnya untuk konsumsi mereka yang kaya, dan bila melihat mobil-mobil mewah yang makin banyak berlalu lalang dan memenuhi tempat parkir, demikian juga melihat iklan tur-tur ke mancanegara yang makin banyak, rasanya sulit untuk mengatakan bahwa rakyat Indonesia tidak kaya dan sukses, sebab gambaran fisik itu menunjukkan bahwa benar-benar sukses materi terlihat secara kasat mata di kota-kota besar.
Banyak tempat ibadat di bangun besar-besar dengan biaya tinggi, ziarah ke tanah suci pengikut agama-agama Samawi yang puluhan juta sekali jalan makin marak, namun apakah ini juga menunjukkan bahwa kita juga sudah sukses dalam kehidupan beragama? Kelihatannya memang begitu, namun bila kita melihat di balik itu, kenyataan sebenarnya tidak seperti yang kelihatan oleh mata itu.
Di balik semuanya itu kita dapat melihat bahwa ketidak adilan dan kemiskinan masih meluas di Indonesia, KKN yang dinikmati sebagian kecil masyarakat elit telah menyebabkan kesengsaraan sebagian besar masyarakat umum, penutupan pabrik-pabrik dan likuidasi bank-bank menyebabkan ratusan ribu buruh terkena PHK, demikian juga dewasa ini ratusan ribu pengungsi masih belum secara tuntas dapat diatasi, baik pengungsi yang disebabkan konflik sara maupun yang disebabkan oleh kasus TKI-ilegal dari Malaysia, semuanya menyita perhatian kita semua.
Bila kita melihat semua apa yang sebenarnya terjadi di balik sukses yang kelihatan di sekeliling kita, sebagai orang beragama seharusnya kita jujur mengakui bahwa sukses yang kelihatan itu adalah ‘sukses yang semu’ yang tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya yang sebagian besar mengalami kemelaratan struktural yang memprihatinkan.
Kelihatannya masalahnya adalah soal ‘harta duniawi’ yang sering menjerat pemiliknya sehingga ia melupakan bahwa harta itu adalah titipan Tuhan yang seyogyanya menjadi berkat bukan saja untuk dirinya sendiri namun juga untuk sesama kita. Rasul Yohanes mengatakan:
“Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1 Yohanes 3:17).
Harta itu tidak kekal, ia dapat dengan mudah kita kejar namun juga dengan mudah akan hilang, entah di rampok, entah terbakar, atau entah dituntut karena bukan haknya, semuanya menunjukkan bahwa harta itu bersifat fana.
Seorang pujangga Rusia pernah mengungkapkan cerita menarik mengenai seorang tuan tanah yang ingin membagi-bagikan tanahnya kepada para petani penggarap dengan syarat bahwa mereka dapat memiliki tanah seluas yang bisa dikelilinginya dari saat matahari terbit sampai terbenam. Alhasil ada seorang petani yang tamak yang ingin berjalan terus mengelilingi tanah seluas mungkin dan ketika ia sadar bahwa matahari segera terbenam ia berlari menuju tempat start di depan tuan tanah dermawan itu dan akhirnya sampai juga, namun sampai juga akhir hidupnya karena kelelahan berlari. Tuan tanah itu berkata: “Berikan tanah seluas tubuh petani itu karena seluas itulah sebenarnya kebutuhannya.”
Ayat (19) diawal renungan ini menunjukkan bahwa harta itu tidak kekal dan mudah berubah rusak karena itu jangan dikumpulkan; ayat (20) kemudian mengajak kita untuk mencari harta di surga, yaitu iman-kasih-pengharapan, yang tidak akan rusak; dan Tuhan Yesus mengatakan pula dalam ayat (21) karena harta dapat menjadi berhala dimana hati manusia ada di situ dan mudah terikat dan terjerat ketamakan. Lebih dari itu jerat harta dapat menodai iman seseorang karena dikatakan bahwa:
“Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:24).
Apakah ini berarti bahwa seseorang tidak boleh menjadi kaya atau memiliki harta duniawi serta menjadi sukses di dunia ini? Tentunya tidak! Tuhan Yesus tidak menyalahkan orang yang kaya, namun mengingatkan orang kaya agar tidak mengumpulkan dan mengabdi kepada harta dan menjadikan kekayaannya itu yang menjauhkan seseorang dari Tuhan dan sesamanya dan menjeratnya makin dalam ke dalam ketamakan dan jurang dosa. Rasul Paulus mengatakan bahwa:
“Karena akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1 Timotius 6:10).
Banyak contoh konkrit dalam Alkitab dimana diceritakan tentang bertobatnya orang-orang kaya dan sukses, namun kita dapat melihat bahwa kekayaan mereka itu kemudian menjadi berkat juga untuk sesama manusia. Zakheus yang kaya merelakan setengah dari hartanya dibagikan kepada orang miskin dan kalau ia memperoleh harta karena menipu orang akan dibayar kembali empat kali lipat (Lukas 19:1-10), Matius si pejabat bea cukai meninggalkan cintanya kepada mamon dan mengikut Tuhan Yesus, dan Barnabas menyerahkan tanahnya untuk dibagikan kepada sesamanya yang berkurangan demikian juga teladan para pengikut Yesus pada jemaat pertama (Kisah 4:32-37).
Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry