RENUNGAN Oktober 2002
[_private/r_list.htm]Kejahatan Manusia
“kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata .... Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.” (Kejadian 6:5,12)
Memasuki bulan-bulan terakhir tahun 2002, apalagi menantikan hari-hari raya keagamaan yang akan menutup tahun 2002, bangsa Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya teror pengeboman di Legian-Bali yang menewaskan hampir 200 orang. Musibah ini bahkan menjadi sorotan internasional karena sebagian besar korban justru adalah warga negara asing.
Teror merupakan buah hati yang jahat yang menunjukkan bukti bahwa kejahatan manusia memang sudah makin menjadi-jadi. Betapa tidak, nyaris 200 orang yang tidak berfikir politik bahkan banyak penduduk biasa yang buta politik yang kebetulan lewat atau tinggal disekitar lokasi, ikut terkena dampak pengeboman itu apakah meninggal dunia, ditinggalkan keluarga yang meninggal, atau mengalami luka-luka bakar yang serius. Jelas terorisme adalah kejahatan yang tidak bisa ditolerir baik oleh umat manusia lebih-lebih oleh Tuhan.
Teror adalah suatu ungkapan jahat dalam memaksakan kehendak dan teror bisa saja dilakukan oleh perorangan, kelompok, organisasi maupun oleh negara. Yang jelas dengan teror seseorang tidak lagi mau berdialog, mereka mau menang sendiri dan memaksakan kehendak mereka tanpa pertimbangan pihak lain dan mempertimbangkan perasaan masyarakat umum.
Terorisme sebagai buah kejahatan yang cukup keji memang tidak berdiri sendiri, adakalanya seseorang menganggap tafsirannya mengenai ayat-ayat kitab-suci mendorongnya melakukan kejahatan ‘demi nama Allah’. Memang agama-agama memiliki sisi baik yang bersifat ‘menyembuhkan’ (therapeutic), namun agama-agama juga bisa menghasilkan sikap fanatisme yang mengasingkan seseorang dari sesamanya (alienating). Yang jelas agama memang bersifat ambigu tergantung bagaimana para pengikutnya menafsirkannya menurut kacamata diri maupun kelompoknya.
Teror juga bisa dihasilkan sebagai reaksi atas kelaliman negara dan penguasa. Pemerintahan negara yang opresif, tidak adil, bahkan sekular, bisa saja menimbulkan reaksi masyarakat fundamentalis yang merasa ‘terpanggil’ untuk memperbaiki situasi yang menurut mereka tidak sesuai dengan perintah Allah itu. Apalagi, sikap reaktif ini bisa saja terjadi bila penguasa melakukan teror pula terhadap rakyatnya.
Bagaimanapun teror adalah bentuk kejahatan yang bersifat masal dan mendukakan hati Tuhan, dan Tuhan tidak menghendaki perilaku demikian sekalipun mereka merasa bahwa mereka ‘berperang demi Tuhan’ Tuhan yang mana dan Tuhan siapa?
Umat Yahudi sering melakukan kejahatan di mata Tuhan sehingga mereka dihukum Tuhan dan dibuang dan dicerai beraikan (diaspora), namun sampai sekarang masih saja ada umat Yahudi yang merasa bahwa mereka berperang demi-nama Tuhan. Banyak teror dilakukan dengan menghancurkan ciptaan dan para peneror itu merasa bahwa mereka ‘menteror demi nama Tuhan’. Benarkah Tuhan berkehendak begitu?
Dalam Alkitab Perjanjian Lama memang berkali-kali Tuhan secara langsung menghukum bangsa-bangsa bahkan umatnya sendiri yang melakukan kejahatan di mata Tuhan, namun dalam Perjanjian Baru kita melihat pendekatan Tuhan berbeda.
Dalam kotbahnya, Tuhan Yesus mengkomentari kejahatan balas-dendamnya bangsa Yahudi yang terkenal dengan ‘mata ganti mata’ itu dengan anjuran untuk mengasihi musuh-musuh. Diinformasikan bahwa:
“Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5:38-39).
Kelihatannya bagian pertama ayat di atas adalah bagian yang paling mudah diikuti dan dilaksanakan, namun Tuhan Yesus dengan jelas menyebutnya sebagai ‘kejahatan’. Dan kemudian dikatakan bahwa cara terbaik menghadapi kejahatan adalah bukan dengan membalas yang cenderung akan berakibat balas-membalas yang tidak kunjung usai, melainkan dengan memaafkan dan kalau perlu kita berikan pipi kiri kita yang masih tertinggal.
Tuhan Yesus sendiri memberikan contoh pada kita bahwa Ia taat kepada hukum dan rela dicaci-maki, dicambuk, bahkan di gantung di kayu salib, dan Ia mengatakan kepada Bapa di Sorga agar: “Jangan ditanggungkan dosa ini atas mereka.” Memaafkan adalah cara terbaik untuk memutus rentetan balas-dendam yang tidak kunjung akan berakhir.
Namun, di tengah dunia yang tidak berpegang pada firman Tuhan, di tengah dunia yang tidak mempercayai Tuhan sebagai penguasai diatas segalanya, bagaimana kita bisa begitu saja memaafkan orang yang melakukan kejahatan tanpa mereka di hukum? Di sinilah kita membutuhkan perangkat hukum yang benar dan pemerintah yang tunduk kepada hukum dan mampu menjalankan hukum itu dengan adil.
“Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi bila engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.” (Roma 13:4).
Marilah kita berdoa agar para teroris yang melakukan kejahatan bertobat dan kembali kepada jalan damai Allah, dan marilah kita juga mendoakan pemerintah agar pemerintah tidak terjebak kepada sikap haus kekuasaan yang represif dan melakukan kejahatan pada masyarakatnya, melainkan agar pemerintah dapat menjadi hamba Allah yang baik untuk membalaskan murka Allah pada mereka yang jahat.
Semoga, Amin!
Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry