RENUNGAN Desember 2002
[_private/r_list.htm]Kasih Silaturahmi
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Matius 22:37-40).
Kemarin malam, pada waktu bersilaturahmi ke rumah seorang tokoh masyarakat di kompleks, ada suatu perjumpamaan yang menarik bagaimana seorang tetangga yang karena kesibukan sehari-hari nyaris tidak pernah bertemu sehari-hari, setidak-tidaknya sekali setahun bisa saling berkunjung melepas rindu dan bercerita mengenai banyak pengalaman indah selama setahun yang telah berlalu.
Yang menarik, tetangga itu bercerita bahwa pada hari Natal mendatang ia akan mengunjungi saudaranya di Jakarta untuk bersilaturahmi dalam suasana Natal, soalnya saudaranya ada yang haji tetapi juga ada yang beragama Kristen, jadi keluarga itu mempunyai kebiasaan untuk merayakan Idulfitri di rumah saudara yang merayakannya dan merayakan Natal dirumah saudara yang merayakannya. Kesan yang sama juga dialami penulis selama hampir dua puluh tahun tinggal di kompleks perumahan tersebut dimana setiap hari raya Idulfitri dan Natal ada yang saling berkunjung dan bersilaturahmi.
Ditengah kesibukan orang modern yang sudah makin sulit menyediakan waktu untuk memperhatikan tetangga, peristiwa perayaan Idulfitri dan Natal dapat menjadi wacana yang indah untuk dapat saling menyatakan perhatian dan kasih kita kepada sesama tanpa harus ikut dalam arti religius yang dipercaya mereka yang merayakannya, sebab dalam setiap peristiwa ada aspek ritual tradisi yang tidak memiliki arti religi dan ada aspek akidah religi yang dianut yang merayakannya.
Karena itu, ikut bersukacita dalam aspek tradisi sesama kita dapat ikut meningkatkan kebersamaan antar sesama dalam negara Indonesia yang bhineka ini. Setidaknya sekali setahun dapat merupakan tradisi yang baik untuk saling melepas rindu dan kasih dan bila mungkin dua kali setahun bisa merupakan nilai tambah sebagai kesempatan minimal untuk saling berkunjung.
Pernah seorang raja ingin mewariskan cincin berharga bagi putra yang dikasihinya, susahnya ketiga putranya ketiganya dikasihi olehnya. Alhasil, ia membuat dua buah tiruan cincin itu dan tanpa mengetahui yang mana yang asli dan yang mana yang tiruan, ia membagikannya kepada ketiga putranya. Ada putranya yang bertanya “yang mana yang asli?”. Raja itu menjawab bahwa cincin yang asli memiliki kasiat bahwa yang memakai akan menghasilkan perilaku yang ‘kasih’ kepada saudara dan esamanya!
Memang cerita ini bisa diperdebatkan kebenaran falsafahinya, soalnya bisa saja yang memiliki cincin palsu juga menyatakan kasih dan bisa juga yang memiliki yang asli tidak menjalankan kasih. Namun, lepas dari polemik soal kebenaran azasi peristiwa itu, pesan moral yang disampaikan sang ayah adalah bahwa yang penting bukan siapa memiliki yang asli, tetapi pemilik cincin yang asli seharusnya menghasilkan perilaku kasih kepada kedua saudaranya agar ketiga bersaudara itu dapat berhubungan dengan kasih.
Tidak ada agama yang menyatakan diri sebagai tidak menjalankan kasih atau kedamaian, semua mempopulerkannya. Setidaknya setiap kartu ucapan hari raya selalu dimulai dengan ucapan apakah itu ‘salam’, ‘salam alaykum’, atau ‘shalom’ (kata yang sama dalam rumpun Semitik). Nada perdamaian yang justru dibutuhkan oleh manusia baik secara pribadi maupun dalam hubungan dengan sesamanya.
Ayat pembuka renungan minggu ini adalah jawaban Yesus kepada orang yahudi dari golongan Farisi dan Saduki yang berdialog dengan-Nya. Kita mengetahui bahwa sekalipun Yesus dan para Rasulnya juga adalah orang yahudi, banyak orang yahudi lebih menekankan tradisi premordial yang menyebabkan mereka tidak lagi bisa dengan tulus mengasihi sesama manusia maupun mengasihi Allahnya, bahkan mereka tega memberontak kepada Allah, itulah sebabnya mereka dikritik telah “mengabaikan perintah Allah dan bergantung kepada adat istiadat manusia” dan bahwa mereka “memuliakan Allah dengan bibirnya tetapi hatinya jauh dari Allah” (Markus 7:6-8).
Hari-hari Raya agama khususnya Idulfitri dan Natal yang tahun ini bertepatan terjadi di bulan terakhir tahun ini, kiranya bisa menjadi kesempatan yang indah untuk menyatakan kasih dan damai Allah kepada sesama kita, dan sejalan dengan konteks percakapan Yesus di atas, kiranya kita mendoakan agar kembali bangsa Yahudi bertobat dan mengingat ucapan Yesus agar tanah Palestina dapat merasakan kasih dan damai kembali sehingga dapat merayakan Idulfitri dan Natal dengan tenang tanpa dentuman peluru dan bom.
Kita juga perlu mendoakan mereka-mereka yang mengatas namakan agama yang entah melakukan bom bunuh diri atau teror lainnya, agar mereka bertobat, dan mengenal jalan kasih dan damai yang diajarkan agama, karena tindakan mereka sudah terbukti tidak mendatangkan manfaat bagi agama tetapi justru membawa korban mereka yang tidak bersalah bahkan pihak sendiri dan menjadikan citra agama menjadi rusak dimata orang tidak beragama. Karena itu tepatlah pada bulan Desember diakhir tahun ini kita kembali saling bersilaturahmi dan mengucapkan ‘Selamat Hari Raya Idul fitri dan Hari Natal’.
Kiranya kasih dan damai sejahtera yang dari Allah menyertai kita sekalian, Amin!
Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry