RENUNGAN Agustus 2004               


Pedagang Kaki Lima
 

“Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu, . . . Itulah sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah” (Roma 13:4-6).

Akhir-akhir ini kita banyak membaca di surat kabar dan melihat di TV seringnya terjadi penggusuran para Pedagang Kaki Lima. Setidaknya di kota Bandung tujuh titik rawan acapkali menjadi obyek penggusuran PKL. Di balik itu kita juga membaca di surat kabar berdirinya supermal dan real-estat mewah dimana-mana, bahkan superblok dengan nama keren City Walk juga akan dibangun untuk mengenang ‘Bandoeng Tempo Doeloe.’

Apakah dengan kebijakan pembangunan seperti sekarang ini pemerintah daerah sudah menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah untuk kebaikan semua orang? Kelihatannya pembangunan kota pada masakini cenderung hanya untuk kenikmatan kelompok elit tertentu bermodal besar yang minoritas sedangkan mayoritas penduduk berpenghasilan rendah makin terpinggirkan (marginalized). Tepat dan adilkah pembangunan seperti itu?

Biasanya pertimbangan penggusuran adalah demi alasan keindahan kota, ketertiban, zona peruntukan, keabsahan hukum usaha, dan lainnya yang kelihatannya lebih menguntungkan pengusaha besar namun tidak mungkin dijangkau kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Sayang bahwa kecenderungan pembangunan demikian kurang melihat realita sosial kemasyarakat yang riel dan lebih menekankan pembangunan fisik yang secara visual indah dan teratur, pemasukan pajak asli daerah yang tinggi, maupun dengan alasan ‘demi kemajuan’, namun hal yang azasi bagaimana mendatangkan sejahtera demi kebaikan rakyat banyak sering diabaikan.

Menurut penelitian ILO, hanya sekitar 35% penduduk Indonesia yang bergerak di sektor formal, sedangkan sisanya 65% bekerja di sektor informal. Sektor informal yang umumnya berprofesi sebagai PKL memang dilematis, di satu segi ia merupakan korban kebijakan pincang pembangunan kota modern dengan masuknya industri yang bertumpu mesin, namun sekaligus menjadi kelep keamanan perekonomian kota dan daerah. Menurut Badan Penanaman Modal Asing diperkirakan bahwa 70% modal domestik dan modal asing diinvestasikan di kota-kota besar namun mereka hanya menyerap sekitar 10–16% angkatan kerja saja.

Hal yang kurang diperhitungkan oleh pemerintah kota pada umumnya ialah rendahnya mobilitas tenaga kerja antar-sektor formal padahal daya serap sektor informal sangat kenyal dalam menyerap luberan tenaga kerja yang tidak bisa bersaing di sektor formal. Memang sektor informal cenderung bersifat tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap, berdiri sendiri, berlaku di kalangan berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, lingkungan kecil/keluarga, dan tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan maupun pengkreditan.

Karena sifatnya yang demikian maka sektor informal dimana PKL merupakan bagian terbesarnya ditolak bahkan diabaikan keberadaannya dan sama sekali tidak mendapat perlindungan, sebaliknya mereka akan selalu menjadi target untuk terus diburu-buru dan digusur. Memang sering PKL berperilaku menjengkelkan, menguasai trotoar atau menutup jalan masuk ke toko, namun perlu diperhatikan bahwa hal ini terjadi karena mereka tidak pernah disediakan lokasi yang patut sesuai dengan sifat alamiah non-formal mereka yang selalu mendekat pada lokasi yang ramai didatangi orang.

Dapatkah pemerintah mengeluarkan kebijakan demi kebaikan mayoritas angkatan kerja di kota itu? Itulah pesan yang terkandung dalam ayat di atas. Semestinya pemerintah kota memberikan pemecahan yang terbaik bagi PKL dan bukan menjadikan mereka korban dengan relokasi yang mematikan usaha mereka. Salah satu cara yang baik adalah bukan dengan penggusuran melainkan dengan didukung penyediaan lokasi yang strategis bagi mereka.

Dalam pembangunan perumahan, kita mengenal rumus 1:3:6 yang artinya setiap pembangunan oleh real-estat satu rumah mewah diringi dengan pembangunan 3 rumah sedang dan 6 rumah sederhana, seharusnya pola perbandingan demikian diterapkan juga dalam pembangunan mal-mal yang makin menjamur, dimana satu kios mewah harus diimbangi dengan pembangunan 3 kios sedang dan 6 kios murah, maka dengan cara demikian terjadi subsidi silang yang menarik semua strata ekonomi dalam satu kawasan pembangunan yang terintegrasi. Selama ini pembangunan supermal dan superblok nyaris mengabaikan peran penting sektor informal termasuk PKL.

Kita sudah melihat bahwa banyak supermal sekarang langka pembeli dan hidup tidak matipun tidak, karena itu sebenarnya pembangunan kota perlu lebih diarahkan kepada pemerataan dan demi kebaikan orang terbanyak di kota sehingga pembangunan tidak pincang yang ujung-ujungnya mengundang masuk kejahatan dan kerusuhan perkotaan yang tentu tidak kita harapkan, dan yang jelas juga akan merusak wajah dan citra pembangunan kota yang ada.

Memang sektor informal seperti PKL sering susah diatur dan cenderung menghindari pajak, namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mendambakan sistem penarikan pajak dan retribusi yang jujur dan adil. Banyak keluhan PKL karena mereka menjadi obyek pemerasan oknum-oknum petugas yang tidak sedikit jumlahnya. Dan bagaimana dengan pajak pengusaha kaya? Banyak ketidak jujuran juga terjadi di sini dimana pemasukan ke kas negara juga minim.

Sampai dimanakah peran agama dalam ikut mengusahakan kebaikan bagi mayoritas penduduk kota? Banyak kecenderungan agama bersifat fundamentalistis dimana yang disorot adalah dosa-dosa pribadi semacam kemaksiatan, miras, maupun judi, namun dosa-dosa sosial seperti ketidak adilan dalam membagi posrsi ekonomi dan pembangunan jarang menjadi agenda.

Menarik sekali bahwa dalam ayat diatas digunakan dua kata ‘hamba/pelayanan’ yang ditujukan kepada peran pemerintah. Kata pertama ‘hamba’ aslinya dalam bahasa Yunani disebut ‘diakonos’ yang artinya pelayanan. Berbeda dengan kata lainnya ‘doulos’ yang artinya budak yang lebih menunjukkan keterpaksaan, ‘diakonos’ lebih luwes menunjukkan adanya sikap sukarela dalam melayani. Lebih lagi kata ‘pelayan’ yang kedua bahasa aslinya ditulis ‘leiturgos’ yang artinya ‘abdi rakyat.’ Bila pemerintah dapat menjadi ‘pelayan’ dan ‘abdi rakyat’ bagi kebaikan sebagian besar penduduk kotanya, kesejahteraan kota bukan impian.

Bila para pejabat dan pengusaha yang beragama bisa menyadari bahwa sebenarnya mereka mengemban tugas dan modal titipan Allah, seyogyanya mereka menjadi ‘pelayan’ dan sekaligus ‘abdi rakyat’. Dengan pola pikir kasih ilahi demikian, para pejabat kota dan pengusaha di kota diharapkan bisa berkembang dan sekaligus mengembangkan rekan-rekan mereka yang rendah dan miskin sehingga terjadi subsidi silang yang saling tolong menolong seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus bahwa:

“Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.” (2 Korintus 8:14)

Marilah kita berdoa dan berusaha agar kehidupan lestari bisa kita nikmati di kota-kota yang kita huni. Semoga, Amin!

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org.


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]