RENUNGAN Oktober 2004               


Budaya Instan TV
 

“Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” (Matius 6:22-23).

Akhir-akhir ini kekuatiran para orang tua, pendidik dan banyak kalangan ditujukan pada tayangan-tayangan TV yang menonjolkan tema 4S yang dianggap telah mendatangkan budaya instan dan dampak buruk pada masyarakat.

Dalam bulan-bulan terakhir ini berbagai forum dan media memuat artikel yang membahas pengaruh tayangan TV atas perilaku pemirsa. Natara lain, di bulan Juni 2004 di Jakarta, Senakki (Sekertariat Kine Klub Indonesia) menggelar seminar sehari membahas tontonan pornografi, sadistis, dan mistis, dan menuntut segera dihentikannya tayangan-tayangan yang ditengarai telah merusak moral masyarakat Indonesia itu. Majalah Tempo dalam edisinya tanggal 5-11 Juli 2004 memuat dua artikel berjudul: Seks dan Mistik, Sang Primadona, dan Sebuah Dunia Tanpa Hantu.

Bulan September, kepedulian dan keprihatinan masyarakat akan siaran TV yang cenderung merusak dinyatakan dalam berbagai tulisan di mass-media atau dibicarakan di seminar. Unisba di Bandung menggelar talk show pada 4 September 2004 dengan judul ‘Efek Tayangan Mistis, Kekerasan, dan Pornoaksi.’ Harian Pikiran Rakyat tanggal 7 & 8 September 2004 memuat artikel berjudul ‘”Junk Food News” Di Televisi Kita’ ini mendapat gema dalam tulisan di harian Sinar Harapan tanggal 22 September 2004 dengan judul ‘”Junk Food News” di Televisi’. Harian Kompas memuat sajian khusus Bisnis & Komunikasi yang membahas berbagai aspek tontonan TV pada 28 September 2004.

Apakah yang umumnya dipesankan dalam pertemuan dan bahasan di atas? Setidaknya ada beberapa budaya instan yang ditularkan melalui tayangan khususnya TV, yaitu yang dapat disingkat sebagai 4S (selebritas, seks, sadisme, satanisme). 4S ini sekalipun ditengarai sebagai mendatangkan pengaruh negatif atas perilaku pemirsa tragisnya justru merupakan siaran-siaran yang laku dan biasa ditayangkan pada waktu utama (prime time) diantara jam 18.00 s/d 22.00 dimana diperkirakan seluruh anggota keluarga sudah berada di rumah dan mencari hiburan TV setelah seharian didera kesibukan belajar dan kerja.

Kehidupan budaya instan TV banyak menonjolkan pengaruh pertama S1 berupa budaya kehidupan Selebritas yang a.l. dipenuhi: gemilang uang seperti iklan-tawaran hidup dan hadiah mobil dan rumah mewah; demam panggung dengan tayangan AFI, Indonesian Idol, Cantik Indonesia dan sejenisnya yang menanamkan pola berfikir untuk menuju puncak kehidupan glamour dalam waktu singkat; kehidupan penuh kemewahan dimana kebanyakan sinetron menonjolkan kehidupan dengan setting mewah dengan rumah luas bertingkat. Belum lagi pengaruh iklan komersial merangsang tumbuhnya konsumerisme masyarakat pemirsa.

Pengaruh kedua S2 yang disorot adalah Seks atau seksualitas. Baik pornografi maupun pornoaksi tidak terlepas dari kategori ini, dimulai dengan makin minimnya pakaian para bintang TV dan tayangan-tayangan sinetron yang menonjolkan sensualitas, goyangan Inul yang menimbulkan kontroversi, bahkan kehidupan kawin cerai yang ditonjolkan kisah-kisah selebriti dan gossip show, dan tema-tema sinetron termasuk telenovela yang menonjolkan kehidupan kekeluargaan yang rapuh dengan bumbu perselingkuhannya penuh menghiasi siaran televisi di Indonesia.

Pengaruh ketiga S3 yaitu Sadisme atau kekerasan makin sering ditayangkan TV, mulai dari cerita-cerita perang, laga dan kejahatan (crime), maupun ulasan berita kriminal semacam bidik dan buser menurut para pengamat lebih menonjolkan adegan sadismenya daripada berita dibalik penyebab dan penanggulangan kejahatan itu sendiri. Tidak kalah ramanya adalah tayangan adu-laga semacam smackdown dan ultimate fighting championship menonjolkan kesadisan adu domba yang banyak mempengaruhi perilaku anak-anak, lebih lagi pada umumnya film-film kartun anak-anak justru mengulang-ulang kekerasan dalam setiap adegan. Coba simak adegan-adegan kartun ‘Celebrity Death Match.’

Pengaruh keempat S4 yaitu Satanisme atau biasa disebut tayangan mistik dan misteri sudah makin mempengaruhi pemirsa sehingga tidak salah kalau sutradara Garin Nugroho menyebut “pemirsa lebih takut Hantu daripada Tuhan.’ Nyaris semua siaran TV menghadirkan tayangan berbau satanisme yang menonjolkan kisah-kisah misteri, roh-roh alam gaib, sampai kuasa setan. Banyak anak mengalami mimpi buruk karena sering menonton adegan satanisme, bahkan banyak pembantu rumah tangga makin takut ditinggal sendirian menjaga rumah di malam hari.

Bisa dimaklumi mengapa para pendidik, para pemuka agama, para orang tua yang mulai mempermasalahkan tayangan TV demikian yang menghadirkan kehidupan konsumerisme dan utopia kemewahan yang boros. Bayangkan banyak orang tua mengeluh karena anaknya menghabiskan tagihan telpon genggam lebih dari sejuta rupiah karena anaknya mengirimkan puluhan SMS yang masing-masing dikenai biaya 2 ribu rupiah itu (premium call tilpon 3 ribu). Banyak pemuka agama mengeluh karena kegiatan agama menjadi sepi pengunjung bila diadakan pada jam yang bertepatan dengan tayangan AFI, Indonesian Idol atau KDI. Kehidupan sekular lebih berdaya tarik daripada kehidupan rohani.

Dalam buku ‘Sex, Violence and the Media’ dibahas adanya 5 tingkat pengaruh yang bisa mengubah perilaku pemirsa, yaitu dimulai dengan: (1) imitasi; (2) identifikasi; (3) runtuhnya rem pengaman; (4) stimulasi; dan (5) katharsis. Pertama seseorang yang terpengaruh TV atau film mulai meniru pakaian, senyum, atau gaya rambut tokoh-tokoh idolanya, kemudian ia lebih lanjut akan mengidentifikasikan diri dengan perilaku idolanya. Seseorang tidak sekedar meniru penampilan luar idolanya tetapi ia ingin berperilaku seperti perilaku idolanya.

Biasanya manusia sudah mempunyai rem pengaman yang tertanam dalam dirinya karena nilai-nilai tradisi, ajaran orang tua dan guru maupun bimbingan agama, namun ini bisa runtuh bila menghadapi serangan gencar tayangan 4S, apalagi tayangan 4S cenderung secara aktif merangsang pemirsa sehingga jangan heran kalau pelaku 4S kemudian menjadi pelaku pemirsa dan ujung-ujungnya kalau terjadi katharsis, pemirsa bisa meluapkan perilaku 4S yang telah melekat dalam dirinya.

Umat beragama diharapkan memiliki keteguhan iman untuk menghadapi pengaruh gencar budaya instan tayangan TV yang kuat sekali pengaruhnya itu. Dan seperti firman Yesus di atas, mata adalah jendela efektif masuknya budaya instan 4S ke dalam kepribadian manusia, karena itulah mata dengan segala hilir mudik informasi visual yang melaluinya perlu benar-benar dijaga agar kepribadian seseorang tidak dirusak oleh karenanya.

Setidaknya seseorang bisa mengurangi pengaruh budaya instan 4S TV dengan cara: (1) mengurangi kecanduan acara-acara demikian; (2) selektif dalam memilih acara yang baik; (3) mengurangi jam nonton TV dengan banyak melakukan aktivitas kreatif lainnya non-TV; dan (4) jangan lupa merenungkan firman Tuhan dan berdoa agar Roh Tuhan menguatkan kita menghadapi serbuan informasi yang umumnya kurang mendidik itu. Rasul Paulus menasehati:

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasehatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:1-2)


Amin!

Salam kasih dari Redaksi YABINA Ministry www.yabina.org.


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]