RENUNGAN Mei2004
[_private/r_list.htm]MENARA BABEL, sebuah renungan
“(4) Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita mencari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi. (5) Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, (6) dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka, mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. (7) Baiklah kita turun dan mengacaukan-balaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” (8) Demikianlah mereka diserakan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. (9) Itulah sebabnya sampai sekarang kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi. ” (Kej.11:4-9).
Perikop di atas merupakan perikop yang terkenal yang menceritakan salah satu buah kejatuhan manusia dalam dosa yang diceritakan dalam kitab Kejadian fasal 3.
Ayat (4) menunjukkan adanya prakarsa manusia yang ingin berkarya membuat sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit. Kelihatannya motivasi demikian tidak salah karena kemampuan berkarya membuat sebuah menara adalah karunia Tuhan pada manusia, dan bila kita memiliki sumber untuk pembangunan itu seperti sumberdaya manusia dengan intelegensia dan kemampuannya, sumber dana, maupun sumber pendukung lainnya, tentu orang berfikir bahwa hal itu sah-sah saja, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini, sebab ayat ini berbicara mengenai apa motivasi di balik pembuatan menara itu. Ternyata pada ayat ini terungkap bahwa mereka bermaksud “mencari nama” dan “bersatu, dan tidak terserak ke seluruh bumi.” Jadi Menara Babel adalah simbol: (i) prakarsa manusia yang kreatif; (ii) identitas nama besar manusia; dan (iii) simbol persatuan manusia!
Sayang, usaha pembangunan menara Babel itu tidak dikonsultasikan kepada Tuhan apakah sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak, malah faktanya menjadi suatu proyek raksasa yang justru untuk mencari nama di luar Tuhan bahkan lebih dari itu rupanya ada suatu motivasi tersembunyi yang semula tergoda oleh Iblis di taman Firdaus, yaitu: “kamu akan menjadi seperti Allah.” (Kej.3:5).
Ayat (5) menunjukkan bahwa Tuhan tidak tinggal diam, tetapi turun dari Surga untuk mengamati perilaku manusia itu dan melihat menara yang didirikan manusia. Sebagai umat Kristen kita mengimani bahwa dunia ini dengan segala isinya adalah ciptaan dan milik Tuhan, karena itu kita tidak boleh melakukan segala sesuatu sesuai kehendak manusia melainkan harus sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Tuhan Yesus ketika berada di taman Getsemane berdoa dengan ucapan yang tepat yang menggambarkan hal itu: “janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat.26:39).
Ayat (6) menunjukkan, bahwa di balik kesedihan Tuhan melihat ulah umat yang diciptakannya, Ia menyadari bawah ciptaan-Nya itu memang memiliki potensi yang tidak berhingga sehingga selayaknya ‘gambar Allah’ hanya saya gambar itu tidak mencerminkan apa ‘yang digambarkan’ melainkan cenderung mencari nama dan mengidentikkan diri sendiri menjadi ‘gambar itu sendiri.’ Inilah dosa terbesar manusia. Namun, di balik itu kita melihat bahwa Tuhan memang kagum melihat kemampuan manusia ciptaannya sehingga keluarlah pujian bahwa Menara Babel itu baru permulaan usaha manusia, dan sejak itu: “apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.”
Kalimat terakhir dari ayat ini sering dilepaskan di luar konteks dan ditafsirkan secara keliru oleh sebagian umat Kristen seakan-akan potensi manusia itu tidak berhingga dan apapun yang direncanakan pasti berhasil dilakukan. Kembali di sini pengertian ayat itu dilepaskan dari konteks apakah Tuhan menghendaki dan memperkenankan atau tidak!
Ternyata ayat (7) menunjukkan bahwa kehendak Tuhan lebih berkuasa dari kehendak manusia, sebab di ayat ini disebutkan bahwa Tuhan mengacau-balaukan bahasa manusia. Bahasa pemersatu manusia telah dikacau-balaukan oleh Tuhan sehingga manusia menjadi terpecah-pecah dan tidak saling mengerti bahasa yang lainnya. Kita dapat melihat disini bahwa komentar Tuhan mengenai manusia yang ‘berpotensi tidak berhingga’ di ayat (6) tidaklah berdiri sendiri, sebab konteks ayat (7) memperjelas bahwa komentar itu segera disusul dengan ‘membatasi potensi’ itu sehingga selanjutnya ‘potensi manusia menjadi berhingga atau terbatas.’
Ayat (8) memperjelas keterbatasan itu dimana disebutkan bahwa “mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.” Bukan saja bahasa mereka kacau-balau sehingga tidak mengerti satu dengan lainnya, tetapi mereka menjadi terserak ke mana-mana berlawanan dengan tekad mereka untuk bersatu dibawah bayang-bayang menara babel yang mereka ingin dirikan yang akhirnya harus mereka hentikan pembangunan ambisi mereka itu!
Manusia memang dikarunia Tuhan dengan talenta dan kemampuan dan Tuhan memberikan kemampuan atau daya hidup kepada ciptaan yang segambar dengan diri-Nya itu, namun ayat-ayat di atas jelas mengingatkan manusia ciptaan agar dalam bertumpu pada kemampuan yang Tuhan karuniakan itu manusia tidak berdiri sendiri, apalagi mencari nama, melainkan tetap bertumpu kepada Tuhan pencipta dan pemberi karunia itu.
Ayat (9) menunjukkan arti kata ‘Babel’ sebagai kata yang menunjukkan bahwa Tuhan telah mengacau-balaukan bahasa manusia dan menserakkan manusia ke seluruh bumi. Manusia telah makin jatuh kedalam dosa yang ‘ingin seperti Allah’ dan ‘mau mencari nama bagi dirinya sendiri’ dan kurang bergantung kepada Allah penciptanya dan hanya bergantung pada ‘kemampuan tak berhingga dalam dirinya.’ Semangat ‘meng’ilah’kan diri’ dan memiliki ‘potensi tak berhingga’ menjadi tema menarik yang dicari manusia dan inti ajaran Gerakan Zaman Baru (New Age) yang sekarang juga memasuki gereja-gereja Kristen tertentu, tetapi ingatlah akan kata ‘Babel’ sebagai peringatan agar manusia kembali mengingat Tuhan penciptanya.
Perikop soal menara Babel ini adalah suatu peringatan bagi manusia bahwa bagaimanapun manusia adalah ciptaan dan bahwa Allah memperhatikan segala perilakunya, dan bukan hanya itu, Allah juga bisa ikut campur atas perilaku umatnya. Kaum Deis yang disusul kaum rasionalis memisahkan Tuhan dari ciptaan dan menganggap bahwa semua usaha dan yang dialami manusia adalah urusan manusia sendiri dan tidak ada kaitannya dengan dunia di luar alam nyata ini. Kaum mistik yang diikuti kalangan mistik kristen seperti kharismatik menyebut bahwa semua usaha dan pengalaman manusia itu selalu berkaitan dengan dunia di luar alam nyata ini (ini menghasilkan kepercayaan tahyul).
Kebenarannya adalah, bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk: “penuhilah bumi dan taklukkan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi,” (Kej.1:28) tetapi itu tidak menghilangkan kemungkinan bahwa sewaktu-waktu ‘Tuhan bisa ikut campur dengan aktif dalam kehidupan kita’ bila dilihat bahwa perilaku manusia sudah keterlaluan dalam kepongahan dirinya. Karena itu, di balik segala sesuatu yang kita alami di dunia ini, hendaklah kita selalu melakukan usaha kita dengan doa dan mencari kehendak Tuhan, dan hendaknya kita peka bila mengalami sesuatu, apakah ada kehendak Tuhan di balik itu. Bukan dengan kepercayaan tahyul yang menggeneralisasikan seakan-akan bahwa semua itu ada hubungannya dengan campur tangan Tuhan, tetapi juga bukan dengan sikap skeptik seakan-akan semua kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Tuhan dan sama sekali tidak ada campur tangan Tuhan dalam hidup manusia dan kejadian di alam ini. Tuhan masih berkarya atas ciptaan-Nya sampai sekarang.
Amin!Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry www.yabina.org