RENUNGAN Juni 2005
PENDIDIKAN SEUTUHNYA
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6)
Baru-baru ini diselenggarakan Ujian Akhir Nasional yang menghasilkan suka dan duka di kalangan pelajar. Ada yang meluap kegembiraannya dengan berpesta pora merayakan kelulusannya namun ada juga yang menangis karena ia tidak lulus, seakan-akan langit runtuh di atas kepalanya.
Sama seperti ayat di atas, pendidikan sudah disadari manusia sebagai penting karena meletakkan dasar kehidupan yang akan dijalaninya pada masa tua. Tidak dapat disangkal bahwa sekalipun ada beberapa pengecualian, seseorang yang terdidik secara umum memang kelihatannya akan lebih beruntung dalam kehidupan di masyarakat daripada yang kurang pendidikannya. Ia lebih mudah bekerja dan mendapat pekerjaan, dan hidupnya lebih terpandang dimuka umum. Pendidikan juga membentuk status sosial seseorang.
Pentingnya pendidikan inilah yang menyebabkan banyak orang yang berjiwa sosial mendirikan sekolah-sekolah dan badan-badan agama tidak ketinggalan dalam menyediakan sarana belajar bagi umat manusia. Namun, di balik itu, pendidikan kian lama kian menjadi komoditi (barang dagangan) sehingga baik sekolah swasta maupun yang berbau agama, termasuk yang didirikan dengan idealisme pelayanan, banyak yang kemudian menjadi komersial dan hanya anak-anak orang kaya yang bisa diterima masuk.
Tidak dapat disangkal bahwa maraknya komersialisasi pendidikan telah menjadikan lahirnya generasi baru orang terdidik yang bersifat konsumtip dan pemburu harta, karena dengan pendidikan yang mahal yang harus dikeluarkannya semasa muda, kecenderungannya setelah lulus adalah untuk menutup kerugian itu sebanyak-banyaknya setelah bekerja. Alhasil, banyak usaha dilakukan untuk mencapai itu, ada yang bekerja keras tetapi ada juga yang kemudian terbiasa ber-KKN terutama korupsi agar pendapatannya secara pintas memadai dibandingkan uang yang dikeluarkannya semasa sekolah dan menjadi mahasiswa. Nilai-nilai pengorbanan, sosial dan moral agamani menjadi terabaikan. Pendidikan telah salah kaprah membentuk opini ditujukan untuk menjadi kaya, berjabatan tinggi dan hidup terpandang.
Di balik generasi kaya itu, banyak ratap tangis didengar Tuhan betapa banyak lulusan tidak bisa mendaftar ke sekolah yang lebih lanjut dan lebih-lebih ke universitas karena mereka miskin dan tiadanya biaya, dan banyak orang menjadi kecewa dan putus asa seakan-akan masadepannya telah tertutup dan nasibnya memang harus begitu. Benarkah tertutupnya pintu kesempatan pendidikan lebih lanjut menutup keberhasilan masa depan seseorang? Fakta menunjukkan bahwa dibalik gebyar komersialisasi pendidikan terutama pendidikan tinggi, banyak sebenarnya mahasiswa yang DO (drop out) dan bahkan banyak sarjana yang tidak sesukses seperti apa yang diimpikan sebelumnya, sebaliknya banyak juga kejadian yang menunjukkan bahwa orang yang tidak beruntung berhasil menyiapkan kehidupan berhasil di masyarakat.
Pernah penulis menghadiri seminar ‘pemulung’ yang dikoordinasikan oleh Kuncaraningrat, dan di situ dihadirkan sebuah ‘Success story’ tentang seorang pemulung yang tidak sekolah yang tujuh tahun sebelumnya datang ke Jakarta dengan bersandal jepit dan jepitan rokok ditangannya, tujuh tahun kemudian ia menjadi satpam perusahaan besar dan memiliki 7 truk sampah yang kemudian disewakannya. Ketekunannya memungut puntung rokok dan kemudian sampah, dan kerajinannya membersihkan sampah-sampah itu, dan kemudian kesetiaannya menyisihkan hasil penjualan sampahnya dengan ditabung, menyebabkannya mampu menabung uang banyak sehingga bisa dibelikan banyak truk sampah yang menghasilkan uang, namun ia tetap rendah hati dengan mau menjadi satpam sebagai tugas rutinnya.
Ada juga contoh betapa pendidikan yang non-komersial bisa menghasilkan orang-orang yang tidak gagal. Sebutkan saja SD Bayangkari di Bandung, SD yang dikelola yayasan kepolisian ini yang oleh sebagian orang dianggap setara dengan SD Inpres dan bisa dijangkau banyak orang. Tetapi, ada lulusannya yang kemudian diterima masuk ke SMP-2, SMA-5, dan kemudian diterima masuk ke ITB dengan tetap berbiaya murah sesuai kondisi keuangan orang tuanya yang tidak banyak.
Ada juga lulusan SD itu yang kemudian diterima di SMP-2, SMA-2, lalu masuk ITENAS yang murah tetapi kemudian menjadi branch manager di beberapa perusahaan dan akhirnya mengadu nasib di Kanada. Ada juga lulusan SD itu yang masuk ke SMP-2, SMA-3, dan sekalipun tidak diterima di PTN, ia masuk ke Unika Parahyangan dengan SPP minimal karena orang tuanya tak mampu, dan sekarang menjadi direktur perusahaan yang sering menyebabkannya pergi ke mancanegara.
Ada juga cerita lain tentang SD Angkasa II yang sederhana, tapi lulusannya banyak yang bisa masuk masuk PTN handal dan melanjutkan studi di mancanegara. Ada seorang murid yang tidak bisa masuk sekolah agama karena mahal lalu diterima masuk SD ini yang murah, banyak orang menyayangkan mengapa tidak dimasukkan ke sekolah yang top saja. Orang tuanya hanya berharap kepada Tuhan (dan bukan dompetnya) dan alhasil anak itu berhasil melanjutkan studi sampai ke ITB.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tidak selalu pendidikan yang formal dan bergengsi merupakan jaminan keberhasilan dikemudian hari, dan banyak juga orang bisa berhasil sekalipun tidak mengikuti pendidikan formal maupun pendidikan formal yang bergengsi. Pendidikan yang sederhana dan murah bisa juga mengantar seseorang untuk menggapai cita-cita.
Perlu disadari bahwa ayat firman Tuhan pada awal gema gereja ini memang menggambarkan bahwa pendidikan meletakkan dasar kehidupannya dimasa tua, namun perlu diperhatikan bahwa pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang patut dan seutuhnya, yang dalam konteks berita Alkitab, dimaksudkan pendidikan yang seutuhnya yang mencapu rasa ‘Takut akan Tuhan’ (Amsal 3:5-8), didikan Tuhan melalui firman-Nya (Amsal 3:11) dan ‘Didikan Orang Tua’ (Amsal 4).
Janganlah kita bergantung pada pendidikan yang kelihatannya mahal dengan kampus yang mewah karena suasana demikian jika tidak diiringi dengan pendidikan yang seutuhnya termasuk dari Tuhan dan Orang Tua tidak akan menjadikan kita manusia seutuhnya yang mengasihi sesamanya, sebaliknya pendidikan di sekolah yang sederhana dengan guru-guru yang berdedikasi dan disertai bimbingan orang tua yang takut akan Tuhan bisa menghasilkan orang-orang yang berhasil dan melayani masyarakat.
Demikian juga tertutupnya pintu sekolah tidak harus menutup pintu anugerah Tuhan bagi seseorang, rasa percaya dan takut akan Tuhan bisa mengantarnya ke arah kehidupan yang lebih baik, dan terlebih penting dari itu, dengan pendidikan demikian, ia terdorong berjiwa takut akan Tuhan, peka kepada sesamanya secara sosial dan tentu rindu untuk mengabdikan pengetahuannya kepada sesama manusia.
Alvin Toffler dalam bukunya ‘Trhe Role of Education in the Future’ mengemukakan bahwa pendidikan masa kini tidak bergantung pada pendidikan formal seseorang tetapi tergantung dari pendidikan menyeluruh yang dilakukan terus menerus dalam kehidupan seseorang. Kursus-kursus atau pendidikan non formal pendek tetapi terus menerus merupakan kunci yang lebih menjamin keberhasilan seseorang dikemudian hari dibandingkan pendidikan formal yang mandeg.
Kita perlu mendoakan, pertama, untuk para pengelola pendidikan formal dan para guru dan dosennya, agar mereka bisa memiliki rasa takut akan Tuhan dan rela melayani dengan profesinya dan meninggalkan perilaku komersialisasi pendidikan, sebaliknya, kedua, bagi orang tua dan para pelajar dan mahasiswa yang menghadapi kendala biaya dalam pendidikannya, sadarlah bahwa masih banyak jalan lain yang disediakan Tuhan untuk bisa dipelajari oleh umatnya. Dengan menyadari hal itu kita bisa sampai kepada tujuan pendidikan sebenarnya yaitu pendidikan seutuhnya, bimbingan guru-guru yang berjiwa melayani, bimbingan orang tua yang memperhatikan kebutuhan akan kasih anaknya, dan pendidikan yang patut dan takut akan Tuhan, itulah pendidikan yang seharusnya kita tanamkan dalam diri seseorang sejak kecil sehingga pada masanya ia mewarisi pendidikan yang utuh, yang bukan saja kepala yang berisi tetapi hatinya penuh buah-buah kebenaran iman.
Amin!
Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]