RENUNGAN Agustus 2005
HIROSHIMA
“Maka kata Yesus kepadanya: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang’.” (Matius 26:52)
Memasuki Hiroshima Memorial Hall, seseorang bisa merasakan kengerian yang luar biasa mengenai perang dunia kedua terutama pengeboman kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dengan bom atom. Apalagi, kepada pengunjung dipinjamkan cassette dengan earphone yang mengeluarkan suara dan bunyi yang penuh kengerian yang mengiringi perjalanan pengunjung dari satu gambar ke gambar peringatan lainnya.
Ketika membuka buku berisi kesan-kesan pengunjung, menarik membaca salah satu kesan yang tertulis di dalamnya yang berbunyi: “War is terrible, so don’t start the war.” Kesan ini cukup menggelitik karena kesan itu menyiratkan dua hal, yaitu perang itu benar-benar mengerikan akibatnya, karena itu janganlah memulai perang itu. Suatu kritik kepada orang Jepang yang telah memulai perang itu di Asia Pasifik yang dampaknya juga kita rasakan di Indonesia.
Melihat gambar-gambar kehancuran kota Hiroshima yang terpambang didinding Memorial Hall, memang mengerikan sekali, apalagi kalau kita membaca teksnya dan lebih-lebih mendengarkan kaset mengenai suara dan bunyi setiap peristiwa yang direkam gambar yang dipinjamkan.
Tepat pada tanggal 6 Agustus 1945, pada jam 8.15, bom atom yang disebut sebagai ‘little boy’ dijatuhkan dari atas pesawat B-29 yang diberi nama ‘Enola Gay,’ dan 43 detik kemudian terjadi ledakan mahadahsyat yang menghasilkan gelombang awan menyerupai cendawan menutupi kota Hiroshima. Awan itu kemudian menghasilkan ‘black rain’ yang tercurah diatas kota Hiroshima dengan sekitar 400 ribu penduduknya yang menjadi korban.
Akibat dari pemboman itu memang cukup dahsyat, pusat kota Hiroshima menjadi hangus dan rata dengan tanah meninggalkan jejak jalan-jalan raya yang dahulunya ramai, dan beberapa puing bangunan beton yang diantaranya dikenal sebagai bekas gedung ‘Kamar Dagang dan Industri Hiroshima’ yang merupakan puing saksi mata kehancuran itu.
Ratusan ribu orang mati terbakar dan yang masih hidup umumnya menderita luka bakar serius, kulit yang terbakar, kepala gundul karena radiasi bom, dan di tubuh banyak korban tercetak bekas-bekas kimono. Di pegangan jembatan bisa terlihat tapak-tapak tangan yang menunjukkan betapa hebat radiasi panas yang dihasilkan bom itu sehingga menjadikan bumi dan bangunan seakan-akan film yang mengungkapkan cetakan gambar-gambar benda dan orang yang kebetulan berada di atasnya saat itu.
Setiap tahun, pada tanggal 6 Agustus diadakan upacara kedamaian dilapangan yang menjadi pusat ledakan dengan batu peringatan dengan kubah parabolis diatasnya dengan latar belakang puing bangunan Kamar Dagang yang tetap dilestarikan sebagai peringatan kengerian bom atom itu. Di batu peringatan itu ditulis kalimat: “Let all the souls here rest in peace, for we shall not repeat the evil,” karya Tadayoshi Saika, profesor Universitas Hiroshima.
Kenangan Hiroshima dan beberapa ucapan yang mencuat sekitar pengeboman itu menyiratkan dengan benar bahwa perang selalu menghasilkan kengerian luar biasa terlebih yang dialami oleh penduduk yang tidak bersalah yang tidak tahu-menahu soal politik, dan juga suatu peringatan keras agar janganlah memulai perang, sebab bagaimanapun bila perang itu telah dimulai, dampaknya sungguh mengerikan dan tidak bisa diulang kembali keasal-mulanya. Bila Jepang tidak menyerang Pearl Harbour sebelumnya tentulah drama Hiroshima dan Nagasaki tidak akan terjadi.
Ketika Yesus berbicara dengan murid-murid-Nya, ia mengingatkan mereka yang ingin memecahkan masalah dengan pedang dan menyuruhnya menyimpan pedang itu. Kita melihat latar belakang ucapan itu dibalik sikap aggresor tentara Romawi yang sewenang-wenang kala itu yang menghancurkan negara Yahudi dan sekarang menangkap Yesus. Kita tahu dalam sejarah mengenai ‘The Fall of the Roman Empire’ bukan saja ada raja yang tertikam (Julius Caesar) dan saling bunuh, namun Romawi hancur karena pedang juga.
Sebenarnya pesan Tuhan Yesus sudah jelas, namun sering dalam kehidupan para pengikutnya ada saja keinginan untuk memulai perang dan memecahkan masalah dengan pedang, dan peristiwa Hiroshima menjadi cermin bagi kita bahwa pedang bukanlah pemecahan yang terbaik sebab akibatnya juga lebih mengerikan. Jepang yang memulai perang di Asia Tenggara harus menuai pengeboman bom atom di dua kotanya Hiroshima dan Nagasaki.
Ucapan Tadayoshi Saika yang berbunyi “we shall not repeat the evil” cukup menggetarkan, padahal ucapan itu sudah jauh-jauh diingatkan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.
Hendaklah kita menjadikan kenangan pengemboman kota Hiroshima dengan bom Atom sebagai cermin agar kita mengikuti jalan Yesus dalam mengatasi masalah konflik di dunia ini, bukan dengan parang atau perang tetapi dengan kasih yang Tuhan sudah ajarkan kepada kita, sekalipun kasih itu sering berarti pengorbanan diri kita sendiri.
Amin!
Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]