RENUNGAN Januari 2005
Dosa dan Bencana
“Atau sangkamu kedelapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang tinggal di Yerusalem? Tidak! kataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Lukas 13:4-5)
Bencana Tsunami sudah merupakan musibah bukan saja bagi rakyat yang tinggal di Aceh, namun juga bagi seluruh bangsa Indonesia, dan juga bagi seluruh rakyat dunia karena berita ini sudah menyebar ke seantero dunia dan disebar-luaskan melalui mass media modern keseluruh dunia.
Dalam tahyul, masalah bencana selalu di kait-kaitkan dengan soal dosa, demikian juga pada waktu Yesus hidup. Sebagian umat Israel memandang bencana di Galilea dan Siloam dalam konteks bacaan di atas sebagai akibat dosa dari korban yang tertimpa. Sekalipun pendapat umum cenderung mengkait-kaitan dosa dan bencana, dengan lugas Yesus menjawab: “Tidak.”
Tidak ada kait-mengkait antara korban di Galiea maupun di Siloam dengan dosa karena itu adalah bencana alamiah yan bisa menimpa siapa saja yang kebetulan berada di daerah lokasi. Siapa pun yang kebetulan berada di lokasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi korban bencana, apapun kesukuan, keyakinan dan perilaku mereka.
Sekalipun secara khusus bencana di Galilea dan Siloam tidak ada kait-mengkaitnya dengan dosa para korban, pertanyaan umat Yahudi kepada Tuhan Yesus mengenai hal itu sekalipun dijawab dengan jawaban ‘Tidak’ kemudian diperjelas oleh Tuhan Yesus dengan menjadikannya sebuah latar belakang skenario besar yang melibatkan nasib dunia secara umum.
Tuhan Yesus menceritakan bahwa semua orang berdosa di hadapan Allah, dan semua orang akan mengalami hukuman kelak yang dinubuatkan akan direalisasikan dalam bentuk bencana yang lebih dahsyat dimana semua orang akan menjadi korban hukuman itu, namun bila mereka bertobat, bencana tidak akan berarti karena keselamatan sudah tersedia bagi mereka yang percaya dan bertobat.
Bencana sewaktu-waktu di dunia tidak akan ada artinya dibandingkan bencana hukuman Allah pada akhir zaman yang sudah dinubuatkan, dimana dunia akan mengalami serangan gempa bumi dahsyat yang menyebabkan deru ombak yang luar biasa (Luk.21:25), bahkan meteor akan menghujani bumi dan komit besar dan bintang akan menabrak bumi. Ini menunjukkan terjadinya kekacauan alam semesta sejalan dengan dibunyikan enam sangkakala! (Why.8-9)
Kotbah Tuhan Yesus dalam Luk.13:1-5 dilanjutkan dengan kotbah tentang ‘Pohon Ara Yang Tidak Berbuah’ (Luk.13:6-9, band. Luk.21:25-33), ini memberikan penjelasan yang melengkapi kotbah sebelumnya, bahwa hukuman akan terjadi pada akhir zaman dan akan menimpa semua orang yang tidak berbuah. Dan hukuman itu masih belum dijalankan, karena masa anugerah dimana kesempatan masih diberikan kepada umat manusia, tetapi pada saatnya hukuman itu akan terjadi.
Umat manusia masih diberi kesempatan pada saat ini, dan dalam masa sebelum hukuman itu datang, kegoncangan lokal masih akan terus terjadi sebagai akibat bumi yang telah dikutuk oleh Tuhan (Kej.3:14-19) dan dampaknya akan menimpa siapapun yang berada di lokasi bencana, dan bencana akan terus memuncak sampai apada akhirnya.
Bencana di Aceh juga sering ditafsirkan dengan dosa orang Aceh, ada yang mengatakan bahwa itu terjadi karena di sana banyak Teroris GAM, dan ada yang mengatakan bahwa di Aceh dilaksanakan syariat Islam yang menjadikan umat Kristen disana teraniaya, namun dalam terang firman Tuhan, Yesus tentu akan berkata juga sama halnya dengan bencana di Galilea dan Siloam bahwa jawabannya ‘Tidak.’ Di Arab Saudi dimana tidak ada agama lain diperkenankan beroperasi, sampai sekarang aman-aman saja.
Perlu disadari bahwa teroris GAM justru merupakan mereka yang selamat dari bencana Tsunami, soalnya mereka bermukim di hutan-hutan di gunung sehingga selamat dari amukan gelombang laut, demikian juga sekalipun ada kelompok fanatik agama yang bersifat eksklusif di Aceh, sebagian besar adalah rakyat yang tidak berfikir dan bertindak sejauh itu.
Perlu disadari bahwa bencana Aceh juga menimpa orang-orang non-Islam dan non-Aceh, beberapa gereja ikut tertimpa. Di Nias, yang sebagian besar penduduknya menganut agama Kristen, bencana juga dirasakan sama dahsyatnya. Bila kita melihat konteks yang lebih luas, banyak orang beragama non-Islam tertimpa bencana di Thailand, India, dan Srilangka yang beragama Buddha/Hindu. Bahkan di Somalia, banyak juga orang Kristen tertimpa bencana Tsunami pula.
Menarik untuk mengamati bahwa dua minggu setelah bencana Tsunami, di beberapa negara Eropah (yang notabene secara tradisional Kristen) juga terjadi bencana badai yang membawa korban juga, bahkan dalam beberapa tahun terakhir, bencana El’Nino’ juga menimpa kawasan yang banyak berpenduduk orang Kristen seperti pantai Florida maupun Filipina.
Bencana alam tidak memandang muka, mereka yang kebetulan berada di pusat dan sekitar bencana akan terkena dampak musibah itu apa pun kesukuan dan agama mereka, dan apapun dosa maupun kebenaran yang mereka miliki. Namun, dibalik itu kita bisa menjadikan peristiwa bencana sebagai cermin untuk berkaca diri, yaitu kita harus menyadari bahwa bencana seperti itu bisa menimpa kita setiap saat, dan kalau kita belum bertobat dan tertimpa bencana tanpa tertolong lagi, maka kematian akan berarti akhir dari pengharapan, namun menghadapi bencana ke depan, kita masih diberi kesempatan untuk percaya dan bertobat, karena kalau hukuman di akhir zaman nanti datang, tidak ada lagi keselamatan yang bisa diharapkan kalau kita belum bertobat dan menjadi korban bencana.
Saudara/i, jadikanlah bencana Tsunami sebagai peringatan bagi kita agar kita bertobat menjelang akhir zaman yang kelihatannya sudah makin mendekat, karena data bencana-bencana makin meningkat dan meluas, yang tidak terhindarkan akan menuju klimaks yang tidak bisa dihindari.
Amin.Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]