RENUNGAN Maret 2005
KEMBALI KE AKAR YUDAIK ?
“Pada waktu itu ada lima kota di tanah Mesir yang berbicara bahasa Kanaan dan yang bersumpah demi TUHAN semesta alam.” (Yesaya 19:18)
Pada seminar ‘Nama Allah’ yang diselenggarakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Jakarta pada tanggal 11 Februari yang lalu, seorang peserta dari kelompok ‘pemuja nama Yahweh’ yang hadir mengatakan bahwa “Agama Kristen itu berasal dan harus kembali ke akar Yudaik.” Benarkah pendapat demikian?
‘Yudaisme mania’ memang secara fanatik mewarnai pemikiran para ‘pemuja nama Yahweh’ yang beranggapan bahwa bangsa Ibrani dan bahasanya adalah akar keristenan sehingga kita harus kembali menggunakan nama-nama Ibrani dalam Alkitab, terutama nama ‘Yahweh.’ Mereka juga tetap bersikukuh bahwa Alkitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani hanya naskahnya belum ditemukan. Di balik fanatisme ‘Yudaisme mania’ itu ada sentimen ‘Arab/Islam fobia’ yang kuat.
Awal gerakan ‘pemuja nama Yahweh’ terkait tokoh kontroversial dr. Suradi ben Abraham (Eliezer ben Abraham) dari ‘Bet Yesua Hamasiah’, yang dalam brosurnya menyebut:
“Bahasa Ibrani adalah satu-satunya bahasa yang tertua yang dipakai sehari-hari mulai zaman Musa, 3500 tahun yang lalu, sampai hari ini. ... Bahasa Ibrani adalah bahasa yang tertua yang dipakai oleh YAHWE dan Yesua untuk menyampaikan kehendak-Nya, sejak dahulu kala dan sampai hari ini, tahun dua ribu ini, masih tetap hidup, tetap dipakai oleh umat kesayangan-Nya.” (Bet Yesua Hamasiah, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? Brosur 1-5:h.21-22 & brosur 6:h.3).
Sebaliknya ada sentimen anti Arab/Islam yang nyata dalam kutipan dari brosur yang sama:
“Bangsa Arab adalah keturunan Ismael. Dan Ismael adalah anak Abraham, melalui budaknya yang bernama Hagar. Hagar adalah orang Mesir, sedang bangsa Mesir adalah keturunan Ham yang adalah Kanaan yang terkutuk (Kej.10:6;9:25). ... Keturunan Ismael menjadi bangsa yang besar, yang dikenal sebagai bangsa Arab. ... Ismael tidak boleh disebut keturunan Abraham (Kej.21:12).” (Bet Yesua Hamasiah, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? Brosur 1-5:h.1,2,18).
Pemuja nama Yahweh perlu membuka diri akan fakta bahwa sejarah justru menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan klaim mereka, sebab ternyata bahasa Ibrani itu bukan bahasa surgawi yang berasal dari kekal sampai kekal melainkan bahasa yang labil. Bahasa Ibrani justru diturunkan dari bahasa Kanaan (yang notabena keturunan Hamit) sedangkan bahasa Arab dari bahasa Aram (keturunan Semit). Perlu dicatat bahwa sekalipun Ismael disebutkan bukan keturunan (waris perjanjian) Abraham (Kej.21:12), ia tetap disebut sebagai anak Abraham (keturunan darah, Kej.21:13, band. Kej.25:12,19;1Taw.1:28;Gal.4:21-31).
Fakta menunjukkan bahwa para patriakh berasal dari Mesopotamia dan semula berbahasa Aram (yang menjadi salah satu nenek moyang bangsa & bahasa Arab). Laban tercatat berbahasa Aram (Kej.31:47), dan orang Israel mengaku bahwa nenek moyang mereka adalah orang Aram (Ul.26:5). Ketika Abraham memasuki Palestina digunakan bahasa lokal Kanaan (Funisia) dan ketika orang Israel masih menetap di Mesir, nabi Yesaya menyebut mereka berbahasa Kanaan (Yes.19:18). Yang menarik adalah bahwa bahasa Ibrani justru berakar dari bahasa Kanaan, bahasanya suku keturunan Hamit:
“Bahasa Ibrani adalah cabang dari bahasa Kanaan dan Amorit, atau lebih tepat Kanaan dan Amorit adalah dialek-dialek nenek moyang yang melalui percampuran keduanya pertumbuhan bahasa Ibrani dapat dijelaskan.” (Kata ‘Hebrew’ dalam Interpreters’ Dictionary of the Bible, vol.2, hl.553).
Bahasa Ibrani tulisan berkembang sejak abad-11sM menggunakan aksara Kanaan yang terdiri dari 22 huruf mati, dan mengikuti bentuk huruf bulat aksara Aram. Ketika sudah berada di Kanaan, pada pemerintahan Sanherib (700sM) orang Israel disebut berbahasa Yehuda disamping bahasa Aram (2Raj.18:26,28). Selanjutnya, karena menggunakan hanya konsonan, bahasa Ibrani sekalipun terus menerus bertahan sebagai ‘bahasa tulisan’ kitab suci, rentan terhadap pengaruh bahasa lain yaitu Aram, Yunani, Latin dan kemudian Arab, namun sebagai ‘bahasa percakapan’ bahasa Ibrani untuk percakapan sudah mati sejak zaman Ezra (abad-5sM) dan baru bangun kembali pada abad ke-19M.
Kitab-kitab Sastra menunjukkkan bahasa ‘Ibrani Kuno’ (abad-11–6sM) yang berciri bahasa Kanaan dan Amorit, Kitab-Kitab Tawarikh, Ezra-Nehemiah, Kidung Agung, Pengkotbah dan Ester menunjukkan bentuk Ibrani yang lebih lanjut yang dipengaruhi bahasa Aram, ini disebut bahasa ‘Ibrani Kitab Suci’ (abad-6–3sM). Pada masa Ezra (abad-5sM) orang Israel sudah tidak mengerti bahasa Ibrani sehingga diterjemahkan ke bahasa Aram (Neh.8:2-9). Sebagian kitab Ezra (4:8-6:18;7:12-26), Daniel (2:4b-7:28) dan Yeremia (10:11) ditulis dalam bahasa Aram. Dalam kitab-kitab ini El/Elohim/Eloah ditulis Elah/Alah/Elaha/Alaha.
Setelah Tenakh selesai ditulis berkembang bahasa tulisan ‘Ibrani Miznah’ (abad-3sM–6M) yang dipengaruhi bahasa Aram, Yunani dan Latin, sejalan dengan perluasan kekuasaan Yunani sejak Alexander Agung menguasai Timur Tengah kemudian kekuasaan Romawi. Pada masa itu Tenakh diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dalam Septuaginta (LXX, abad-3sM) dan Perjanjian Baru juga ditulis dalam bahasa Yunani (koine) dengan beberapa kata Aram. Septuaginta menerjemahkan El/Elohim/Eloah menjadi ‘Theos’ dan Yahweh/Adonai menjadi ‘Kurios,’ ini diikuti PB (Yunani Koine). Pada masa Yesus dan rasul hidup (abad-1sM) bahasa Yunani menjadi bahasa regional (lingua franca) di sekitar Laut Tengah dan bahasa Aram sebagai bahasa lokal di Palestina dan sekitarnya. Bila dalam Perjanjian Baru disebut ‘bahasa Ibrani’ (seperti tulisan di atas salib dan seruan ‘Eloi-Eloi lama Sabhaktani’), itu ditulis ‘hebraisti’ (lidah Ibrani) atau ‘hebraidi dialekto’ (dialek Ibrani) yang maksudnya bahasa Aram. Yosephus pada abad-1M juga menulis buku ‘Perang Yahudi’nya dalam lidah orang Ibrani (bahasa Aram). Pada abad-2–3M, Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Aram Siria ‘Peshitta’ yang menulis Elah/Alaha.
Ketika bangsa Arab bangkit melalui kesultanan Islam dan menguasai sekitar Laut Tengah termasuk Palestina, berkembanglah ‘Ibrani Para Rabi’ (abad-6–19M) yang dipengaruhi bahasa Arab yang mengenalkan alun suara ke dalam aksara Ibrani yang terdiri dari konsonan itu, dan hanya menjadi bahasa Kitab Suci dengan kehadiran keluarga Masoret pada abad-6–10M yang menghasilkan Tenakh Massoret. Baru sejak akhir abad-19M berkembang ‘Ibrani Modern’ sejalan dengan kebangkitan nasionalisme Yahudi yang ingin mengembalikan bangsa ini kepada agama, kebudayaan dan bahasa Ibrani. Kebangkitan ini dipermudah oleh penguasaan Inggeris atas Palestina menggantikan Arab (1917) yang kemudian membuka peluang Israel merdeka (1948). Bahasa Ibrani secara resmi dijadikan bahasa nasional Israel setelah merdeka.
Sekalipun sebagai bahasa tulisan bahasa Ibrani tetap eksis dalam salin-menyalin Tenakh, namun sebagai bahasa konsonan terus menerus dipengaruhi bahasa lingkungan yang lebih populer yaitu Aram, Yunani, Latin, dan kemudian Arab. Tenakh yang ditemukan di Qumran (Dead Sea Scrolls, abad-2sM–1M) bahasa Ibraninya berbeda dengan Ibrani Masoret (naskah tertua yang eksis berasal dari abad-10M). Dapat dimaklumi mengapa naskah Tenakh Masoret (yang diterjemahkan sebagai Perjanjian Lama) berbeda dari naskah Septuaginta yang kemudian dikutip Perjanjian Baru (80% kutipan PL dalam PB dikutip dari Septuaginta). Ini menunjukkan bahwa naskah Tenakh yang diterjemahkan menjadi Septuaginta berbeda dengan naskah Tenakh yang digunakan Masoret.
Dari kenyataan di atas kita mengetahui bahwa bahasa Ibrani itu labil, berasal dari bahasa Kanaan & Amorit, menjadi bahasa mati karena terdiri dari konsonan namun rentan dipengaruhi bahasa sekitarnya seperti Aram, Yunani, Latin, dan kemudian Arab. Dan sekalipun pengaruh Arab mulai memperkenalkan alun suara ke dalam bahasa mati itu sejak abad-7M, sebagai bahasa hidup (percakapan) baru bangun kembali pada abad-19M. Dapat dimaklumi mengapa Imam Besar Eliezer di Yerusalem merestui penerjemahan Tenakh Ibrani ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), dalam PB yang ditulis dalam bahasa Yunani (koine) tidak ada bukti ayat yang menunjukkan bahwa Allah Bapa dan Tuhan Yesus menolak Septuaginta, bahkan Yesus membaca Septuaginta di sinagoga di Nazaret (Luk.4:16-19). Demikian juga Roh Kudus mengurapi para Rasul agar kotbah mereka bisa didengar dalam bahasa-bahasa pendengarnya (Kis.2:4-11) termasuk nama ‘El’ dan ‘Yahweh.’ Kenyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menghendaki umatnya memberhalakan ‘keyahudian’ atau ‘keibranian’ (judaic/hebraic idolatry) melainkan agar umatnya kembali kepada-Nya.
Sehubungan dengan itu sepatutnyalah para pemuja nama Yahweh menerima dengan jujur kenyataan sejarah, dan tidak terjerat fanatisme sempit seakan-akan bahasa Ibrani dan Yudaisme merupakan bahasa yang kekal yang bisa digunakan sebagai ‘akar’ untuk tumpuan iman mereka. Iman Kristiani harus berakar pada ‘batu karang yang teguh’ yaitu firman Tuhan Yesus.
Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]