RENUNGAN September 2005
ALLAH SEMITIK
“Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah..” (Yohanes 8:42)
Perikop Yohanes fasal-8 merupakan gambaran jelas mengenai Allah semitik yang SIAPA (WHO) – Nya (sebagai oknum) sama antara yang disembah orang Farisi dan Yesus, namun mengenai APA (WHAT) dan BAGAIMANA (HOW) – nya, atau konsep/pengajaran yang dipercayai mengenai Allah yang sama itu faktanya ada yang berbeda. Ada juga penafsir yang mengemukakan bahwa ‘Jika konsep pengajarannya beda, kemungkinan besar, oknumnya juga bisa beda.’ Bagaimana sebenarnya?
Kalau melihat konteks ayat di atas, kita dapat mengetahui tanpa ragu bahwa baik orang Farisi & ahli Taurat maupun Yesus membicarakan oknum penyembahan yang sama yaitu El/Allah Semitik. Baik orang Farisi & ahli Taurat maupun Yesus mengakui Bait Allah (Beth El, ay.2,20) yang sama yang semula didirikan oleh Salomo untuk tempat tabut perjanjian yang dikenal sejak masa Musa dan keduanya beribadat di Bait itu. Yesus juga mengaku bahwa ‘Bapa-Ku’ adalah ‘Dia adalah Allah kami’ yang disebut oleh orang farisi dan ahli Taurat (ay.54, band. ay.42).
Bahwa orang Farisi dan ahli Taurat membawa perempuan berzinah kepada Yesus menunjukkan bahwa mereka memiliki akar penyembahan akan Allah yang sama (ay.3-4) namun berbeda penafsiran mengenai hukuman pada pezinah. Orang Farisi dan ahli Taurat maupun Yesus mengenal para patriakh yang sama, seperti Musa (ay.5) dan Abraham (ay.33-58). Namun yang membedakan keduanya adalah ‘pengenalan akan Allah yang sama itu ada hal-hal yang dimengerti berbeda’ (ay.19,55).
Perbedaan pengenalan (konsep/pengajaran) itu terjadi karena adanya perbedaan otoritas yang dipercayai dan tafsiran berbeda mengenainya. Di satu sisi orang Farisi dan ahli taurat mengacu pada tradisi dan hukum Taurat (ay.5,17) dan menafsirkannya secara legalistik, sedangkan Yesus mengakuinya sebagai bagian firman Allah yang seutuhnya yang mencakup firman-Nya juga (ay.21,37), yang terakhir ini tidak diterima oleh orang Farisi dan ahli Taurat (ay.43). Harus dibedakan mengenai Allah sebagai oknum tujuan penyembahan dan pengajaran mengenainya yang diterima berbeda oleh orang Farisi dan Yesus.
Dari hasil dasar kitab suci yang berbeda dan pengenalan dan penafsiran yang berbeda mengenai oknum Allah yang sama, timbullah perbedaan mengenai konsep/pengajaran mengenai Allah yang sama itu. Orang Farisi dan ahli Taurat menolak Yesus sebagai Anak Allah penggenap Messias yang diberitakan dalam Tenakh dan malah disebut sebagai ‘kerasukan setan’ (ay.48,52), namun sebaliknya Yesus mengkritik orang Farisi dan ahli Taurat sebagai tidak mengenal Bapa/Allah yang sama itu, sehingga oleh Yesus disebut sebagai berasal dari Iblis (ay.44) dan tidak berasal dari Allah yang sama itu (ay.47).
Perbedaannya adalah bahwa orang Farisi dan ahli Taurat tidak mendengar dan menurut firman Allah yang digenapi dalam Yesus (ay.47,51), malah perbedaan memuncak ketika Yesus mengklaim identik dengan Bapa dan mengatakan ‘Aku telah ada’ (ay.58, frasa bhs yunaninya ‘ego eimi’ yang dalam konteks Tenakh diucapkan Allah Bapa untuk menyatakan diri-Nya – Kel.3:14, dimana waktu itu nama Yahweh belum dikenal). Karena klaim itulah orang Farisi dan ahli Taurat ingin melempari Yesus dengan batu (ay.59).
Dari perikop itu jelas bahwa sekalipun mereka menyembah El/Allah Semitik yang sama namun orang Farisi dan ahli Taurat mengenalnya secara berbeda dan menghasilkan konsep/ajaran yang berbeda pula. Mengatakan bahwa ‘bila pengajarannya beda kemungkinan Allahnya juga berbeda’ sama halnya dengan kalau kita mengatakan bahwa ‘mungkin juga Allah Yahudi/PL beda dengan Allah Kristen/PB’ karena jelas pengajarannya ada yang beda. Kita yakin bahwa Allah Yahudi/PL sama dan digenapi lebih jelas dalam Allah Tritunggal Kristen/PB.
Lalu bagaimana dengan Allah/El Semitik yang dipercayai dalam agama Islam yang juga dianggap sebagai keluarga Semitik? Apakah sebagai oknum dan obyek penyembahan sama sekalipun pengajarannya umumnya berbeda? Bukankah Tuhan Kristen itu Roh sedangkan Islam mengakuinya sebagai Dzat?
Kalau melihat Al-Quran, tidak bisa disangkal bahwa Allah Abraham, Ishak, Yakub dan Isa Almasih (Yesus) yang tercatat dalam Alkitab PL dan PB disebut didalamnya sebagai oknum sesembahan orang Islam juga. Peringatan pengorbanan Ibrahim yang dikenal sebagai ‘Idul Adha’ jelas menunjukkan bahwa Ibrahim adalah Abraham PL & PB, dan Allah adalah El PL dan Theos PB. Baik Agama Yahudi, Kristen maupun Islam menyembah El/Theos/Allah Abraham/Ibrahim Semitik yang sama. Kalangan Islam mengakui bahwa sekitar 70% isi Al-Quran mengacu pada Taurat dan Injil, jadi membicarakan El/Theos/Allah yang sama.
Sama dengan Yahudi dan Kristen yang menyembah oknum El/Theos yang sama tetapi mengakui dan menafsirkan otoritas yang berbeda, Yahudi mengakui PL dan Kristen mengakui PL+PB, demikian juga dengan agama Islam, dimana agama Yahudi dan Kristen tidak mengakui Al-Quran sebagai wahyu El/Theos/Allah yang sama itu. Sebaliknya sekalipun secara teoritis Islam mengakui PL dan PB tetapi dianggap sudah dipalsukan dan memberikan otoritas mutlak pada Al-Quran.
Janganlah perbedaan konsep/pengajaran (karena didasarkan otoritas kitab suci yang berbeda-beda) menjadikan kita memukul-rata dengan menganggap El/Theos/Allah sebagai oknum sesembahan juga salah kalau disebut sama. Kita perlu belajar sejarah agama-agama dengan keterbukaan hati untuk melihat kesamaan maupun perbedaan ketiga agama semitik/samawi itu.
Ada juga yang mengatakan bahwa Tuhan Yahudi itu Yahweh dan Tuhan Islam itu Allah, dan keduanya berbeda baik secara oknum maupun secara konsep/pengajaran, sebab bukankah Yahweh memberikan Taurat dalam bahasa Ibrani dan bukan Arab, dan dua loh batu yang dibawa Musa itu ditulis dalam bahasa Ibrani dan bukan Arab!
Pandangan diatas didasarkan kekurang tahuan bahwa nama Tuhan Yahudi itu sebenarnya ‘El’ (pra-Musa) dan ‘Yahweh’ (Pasca Musa), sebelum nama Yahweh diperkenalkan kepada Musa, nama Tuhan hanya El sehingga nama itu digunakan oleh banyak umat sebelum kelahiran Musa, seperti Metusa’el’, Isra’el’, Isma’el’ dll. Baru setelah Musa, muncul nama-nama umat yang mengandung nama Yahweh seperti Eli’yah’, Yeremi’yah’, Abi’yah’, dll. Namun sekalipun demikian, pada masa pasca Musa, nama Yahweh tidak menggantikan nama ‘El’ sebab nama ‘El’ masih tetap digunakan sebagai nama umat pasca Musa, seperti Samu’el’, ‘Yehezkie’el’, Dani’el’, dll. Nama ‘Allah’ adalah padanan nama ‘El’ dalam dialek/bahasa ‘Arab,’ sama halnya dengan ‘Elah’, ‘Elo’, dan ‘Alah’ dalam dialek/bahasa Aram.
Perlu disadari bahwa ketika Abraham hidup di Mesopotamia, mereka berbahasa Aram. Laban disebut berbahasa Aram (Kej.31:47) dan orang Israel mengaku bahwa nenek moyang mereka orang Aram (Ul.26:5, bahasa Aram kemudian menurunkan bahasa Arab), dan ketika memasuki Palestina terpengaruh bahasa lokal Kanaan. Bahasa Ibu Ishak dan Yakub adalah Aram, dan ketika orang Israel berada di Mesir, mereka berbahasa Kanani (Yes.19:18). Bahasa Ibrani baru berkembang pada abad-11sM dan disebut cabang bahasa Kanaan dan Amorit dan Ibrani kuno semula menggunakan bentuk aksara Kanaan (22 huruf) sebelum kemudian terpengaruh bentuk bulat aksara Aram. Pernah cukup lama bahasa Ibrani tulisan dipengaruhi bahasa Arab yang memperkenalkan alun suara (abad-7-19M, lihat artikel ‘Kembali ke Akar Yudaik’).
Apakah bahasa yang dipakai Tuhan dalam menuliskan hukum Taurat pada kedua loh batu? Jelas bukan bahasa Ibrani karena bahasa Ibrani belum lahir. Kemungkinannya bahasa Median, bahasa Yitro mertuanya, atau bahasa Keni, karena Musa banyak dikaitkan dengan suku Keni. Baru ketika bahasa Ibrani berkembang maka penulisan Tenakh mencatat nama itu ‘Yahweh’ (hwhy) dalam aksara Ibrani.
Persoalan yang timbul antara umat Kristen dan Islam banyak disebabkan karena umat Kristen banyak dipengaruhi budaya Barat yang pro-Israel dan anti Islam/Arab, dan umat Islam dipengaruhi sikap anti Barat dan Israel. Kehadiran penulis-penulis seperti Yusuf Roni dan Bambang Noorsena berusaha mengingatkan kembali peran bahasa Arab dalam khasanah kekristenan, lebih lagi jika diketahui bahwa ada sekitar 10 juta orang berbahasa Arab yang beragama Kristen dan sekarang ada 4 versi Alkitab berbahasa Arab dan semuanya menggunakan nama ‘Allah.’ Baik umat Yahudi maupun Kristen di Palestina bila menggunakan bahasa Arab juga menyebut kata ‘Allah’ untuk menyebut ‘El’ Semitik/Abrahamik.
Sekalipun ada yang mengatakan bahwa tidak tepat kalau ‘El/Elohim/Eloah’ bahasa Ibrani diterjemahkan menjadi ‘Allah’ bahasa Arab, marilah kita rendah hati untuk menyerahkan hal ini kepada orang-orang kristen Arab yang sudah menggunakan istilah ini jauh sebelum hadir agama Islam, sebab orang Arab Kristen lebih tahu akan hal itu daripada orang di Indonesia yang bukan Yahudi dan bukan Arab!
Sekalipun ada yang mengatakan bahwa nama ‘Allah’ itu dalam bahasa Ibrani artinya sumpah (2Taw.6:22), kata yang sama (hla, alef-lamed-he) dimengerti dalam bahasa Aram identik dengan ‘El/Elohim/Eloah’. Dalam PC Study Bible, kata hla di Ezra 5:1;6:14 dieja ‘Alaah’ (Yisraaeel). Jadi sebutan ‘Alaah Yisraaeel’ yang identik dengan ‘Elohee Yisraaeel’ ada dalam Alkitab Yahudi dan Kristen!
Amin!
Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]