RENUNGAN
Agustus2006


 

PELAYANAN KAUM AWAM

 

Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yohanes 12:24).

Bulan yang lalu, ketika melayani di satu gereja GKI di Jakarta, seorang wanita yang hadir menyapa dan memperkenalkan diri. Ngobrol-ngobrol dengannya, ternyata ia adalah seorang dokter karier yang ikut pelayanan di gereja itu dan sudah mengenal penulis dua puluh tahun yang lalu.

20 tahun yang lalu, ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, ia menghadiri ceramah penulis. Saat itu ia dibina melalui sebuah persekutuan mahasiswa di kampus UNAIR dan tekad pelayanannya tumbuh sehingga setelah lulus sekalipun sudah disibukkan sebagai seorang dokter yang berpraktek dibeberapa rumah sakit, ia masih rindu untuk melayani di gerejanya dan juga melalui persekutuan medis.

Alkisah, empat puluh tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1966, kota Bandung mengalami kekosongan rohani yang cukup besar, sebab kondisi pasca Gestapu (30 September 1965) telah menghasilkan masyarakat yang merasakan kekosongan batin ditengah teror komunisme yang dikenal dengan Gerakan Tiga Puluh September itu. Dalam menghadapi kekosongan rohani masal itu gereja-gereja rasanya tersentak tapi kelihatannya tidak berdaya. Ketika itu di Bandung diadakan Gerakan Pekabaran Injil (GERAPI) yang merupakan respons umat Kristen untuk mengisi kekosongan rohani yang ditinggalkan pemberontakan komunis sebelumnya.

Gerapi didukung oleh gereja-gereja sekota Bandung dan diisi berbagai acara yang diadakan di gedung umum, sporthall, lapangan terbuka, dan ruang-ruang gereja. Acaranya dimulai dengan kebaktian pembukaan di sporthall Gelora Saparua di utara kota Bandung dan umat dari berbagai gereja bersehati melakukan long-march jalan kaki menuju lapangan Tegalega di selatan kota Bandung dimana sore harinya diadakan Kebangunan Rohani selama beberapa hari.

Gerakan ini luar biasa, soalnya banyak orang bertobat dan banyak yang dibangunkan rohaninya sehingga berkomitmen untuk menjadi hamba-hamba Tuhan. Ketika diadakan pertemuan siang hari di gedung bioskop Nusantara di sebelah alun-alun Bandung (sekarang mal Palaguna) di pusat kota, banyak peserta yang banyak mahasiswanya itu menyerahkan kartu mahasiswa mereka dalam kantong persembahan sebagai tanda janji komitmen untuk melayani Tuhan.

Salah seorang yang mengikuti kegiatan Gerapi itu, seorang biolog jebolan ITB ikut disegarkan dan tergerak untuk melanjutkan studi teologi sekalipun ia sudah memiliki posisi mapan di masyarakat. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelayan Tuhan dan masuk ke SAAT di Malang. Setelah menyelesaikan studi di Malang, ia kembali ke rumah keluarganya di Surabaya. Dikota ini kemudian ia ditawari menjadi dosen agama Kristen di fakultas kedokteran UNAIR dan berhubungan dengan banyak sekali orang.

Disamping mengajar di kampus UNAIR, ia mulai mengadakan persekutuan mahasiswa di rumahnya dan setelah berkembang kemudian diadakan di ruang kampus UNAIR. Persekutuan ini kemudian meluas bukan saja dihadiri mahasiswa kedokteran, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa dari fakultas yang lain dilingkungan UNAIR. Perkembangan dalam hal jumlah kemudian mendorong mereka membentuk persekutuan mahasiswa yang dinamakan ‘Laharoi.’

Pernikahannya dengan seorang doktor ahli tehnik yang menjadi dosen di Institut Teknologi ’10 November’ Surabaya (ITS) memperluas pelayanan Laharoi ke univeritas-universitas lain di luar UNAIR, bahkan suaminya juga aktip melayani dan membentuk jaringan paguyuban para ahli yang peduli akan nisbah antara ilmu pengetahuan dan iman yang antara lain diikuti seorang ahli fisika yang belum lama ini memperoleh perhargaan dari presiden RI.

Setelah para mahasiswa yang bergabung dalam persekutuan ini menyelesaikan studi mereka dan bekerja di tempat-tempat yang tersebar di Indonesia, ditempat dimana mereka bekerja semangat persekutuan dan semangat melayani terus bertumbuh sehingga para alumni persekutuan ini dalam kurun waktu sekitar 30 tahunan sudah mencapai ribuan orang, mereka adalah pelayan-pelayan awam yang tidak banyak dikenal tetapi mereka banyak membantu pelayanan gereja dimana mereka menjadi anggota. Si biolog perintis persekutuan itu di kota Surabaya itu pun oleh banyak gereja diundang untuk berkotbah dan membantu pelayanan para pemuda/mahasiswa mereka.

Dokter yang disebutkan pada awal tulisan ini adalah salah satu buah dari persekutuan itu, persekutuan yang dibentuk tanpa pamrih oleh seorang awam yang dipanggil Tuhan untuk bekerja bagi peluasan kerajaan Allah. Dan ditengah para sarjana yang cenderung mengejar karier jabatan dan harta duniawi, kita melihat adanya para sarjana yang lebih mendahulukan kerajaan Allah dan kebenarannya daripada yang lainnya itu.

Kita dapat belajar dari kasus persekutuan spontan yang berdiri sendiri tanpa bantuan dari organisasi manapun itu. Yang penting disini adalah adanya beban pelayanan yang dirasakan oleh seseorang yang dipanggil Tuhan. Bila beban itu cukup besar dan tidak tertahan lagi, mereka akan memberikan komitmennya untuk diperlengkapi dan diutus oleh Tuhan. Banyak diantaranya yang mengikuti pendidikan formal teologi dan banyak yang belajar sendiri dan juga mengikuti Sekolah Alkitab Malam atau pendidikan off-campus lainnya.

Yang menarik dari fenomena ini adalah mereka bergerak tidak kelihatan tetapi melalui hubungan pribadi-ke-pribadi, mereka dapat menjangkau kalangan yang luas, kalangan mahasiswa kampus, kalangan masyarakat di lingkungan mereka bekerja, dan kalangan profesional yang mereka ikuti sebagai sarjana praktek, dan tentu saja ikut membantu pelayanan di gereja masing-masing.

Hal yang menarik lainnya untuk disimak adalah sejalan dengan bergulirnya waktu, segala sesuatu sekalipun dimulai dari titik nol, oleh satu orang yang terpanggil, berangsur-angsur akan menarik banyak orang dan setelah yang banyak itu menjadi bertumbuh imannya dan lulus, bila mereka terpanggil, mereka juga akan berkomitmen sehingga terjadi multiple efek dan jumlahnya secara kwantitatip akan bersifat deret ukur dan secara geografis terjadi penyebaran ke seluruh wilayah Indonesia bahkan mancanegara. Ini baru karya satu orang yang terpanggil!

Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yohanes 12:24).



Salam kasih dari Redaksi
www.yabina.org

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]