RENUNGAN
April 2006
CRUCIFIXION OR CRUCI-FICTION?
“Hai orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu..” (Kisah Para Rasul 2:22-24)Menjelang peringatan Paskah, yaitu peringatan Perjamuan Malam, Kematian Yesus di kayu salib, dan kebangkitannya dari kematian, terkenang kembali seri VCD yang dikemukakan orator muslim bernama Ahmad Deedat. Salah satu judulnya yang tepat untuk disinggung sekitar Paskah adalah debatnya yang sudah diterbitkan di Indonesia dengan teks bahasa Indonesia berjudul: ‘Penyaliban Yesus, Fakta atau Fiksi?’ (Crucifixion, Fact or Fiction?) diterbitkan Meccah Agency.
Dari perdebatannya dengan Robert Douglas yang diselenggarakan di University of Kansas, USA, kita dapat mengukur sampai dimana penguasaan materi Ahmad Deedat. Sayang dalam VCD debat itu banyak bagian orasi Robert Douglas sepertinya sengaja dihapus atau dirusak, sebab tidak sedetikpun hal ini terjadi pada saat Ahmad Deedat berorasi. Rupanya banyak argumentasi Douglas cukup mengena sehingga perlu dibungkam.
Tidak dapat disangkal Ahmad Deedat adalah seorang orator yang handal yang fasih dalam berdebat dalam bahasa Inggeris yang diakuinya sebagai bahasa ibunya. Ia begitu yakin akan argumentasinya kalau tidak mau dikatakan sebagai memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, namun sayang metoda berdebatnya tidak diisi analisis yang mendalam mengenai materi pembahasan melainkan lebih bersifat tuntutan jaksa yang bersifat menghakimi dan pokrol bambu.
Sekalipun kelihatannya ia banyak tahu ‘isi Alkitab,’ pengertian dan penguasaan materinya secara analisis sebenarnya lemah, karena sebenarnya ia tidak mendebat posisi pengajaran Kristen yang diajarkan oleh Alkitab dan ia juga tidak mengemukakan posisi Islam. Ia lebih mengutarakan faham yang dipercayainya sendiri baik mengenai isi Alkitab dan isi Al-Quran sehingga mereka yang mendengar dan kurang menghayati jawaban pendebat akan mudah terkecoh orasinya yang meyakinkan itu. Sayang sebagaimana faham literalisme yang dianut banyak apologet Muslim, Deedat memang kurang menghayati isi Alkitab secara hermeneutis yang kontekstual, dan ia sering melakukan generalisasi dan kurang memperhatikan pengertian spesialisasi berdasarkan konteks bacaan.
Dalam VCD itu ia mulai dengan pernyataan bahwa ‘Setelah Yesus Disalib, Ia pergi ke upper room dan melakukan The Last Supper dengan murid-murid-Nya.’ Bagi pembaca Alkitab jelas pernyataan ini bukan berita isi Alkitab melainkan menunjukkan kekurang tahuan sipenafsir akan kronologi hari-hari sekitar Paskah. Namun kita ketahui juga dari banyaknya ia mengutip ayat-ayat Alkitab bahwa ia tahu banyak akan isi Alkitab kristen, hanya sayang bukan itu yang dibahas tetapi dalam debatnya itu ia lebih banyak memasukkan ajaran Ahmadyah Quadiyani yang memang beranggapan bahwa ‘Yesus disalib tetapi tidak mati dan tetap hidup (alive).’ Dengan kata lain, ia menganggap Yesus melakukan perjamuan akhir (last supper) sesudah disalib (yang tidak mematikan).
Pandangannya yang lebih menonjolkan teologi Ahmadyah Quadiyani ini terbukti juga dari penolakan Deedat ketika Douglas mengkritik faham Deedat yang tidak sesuai dengan pandangan baku Alquran bahwa ‘Yesus tidak disalib’ (QS 4:157). Bahwa Deedat lebih menonjolkan faham Ahmadiah Quadiyani juga dikemukakan oleh seorang tokoh Muslim yang juga tinggal di Durban-Afrika, yaitu Muhammad Bana yang mengemukakan dalam tulisannya, bahwa:
“Deedat gemar memberikan ceramah tentang agama lain tetapi jarang mengajar tentang Islam. Kelihatannya ia memiliki kepercayaan tetap mengenai teori penyalibah nabi Yesus. Dalam ceramahnya ia nyaris tidak mengemukakan pandangan Islam atau Kristen mengenai penyaliban, ini membingungkan hadirin. Saya percaya bahwa ia menyenangkan kaum Quadiyani negeri ini dengan membela kepercayaan mereka. Sekarang, mengapa Deedat harus mengatakan kepada hadirin bahwa Yesus disalib dan ia pingsan, karena tidak ada satupun dalam Al-Quran yang menyebut bahwa Yesus mati disalib dan ia pingsan. Deedat sendiri yang bisa menerangkan apakah ia mengkotbahkan kekristenan atau Islam atau doktrin Quadiyani?” (Allegations Confirmed, h.3)
Sinyalemen Bana itu tepat, karena dalam debat diatas, Deedat menunjukkan kenyataan yang sama. Mengutip beberapa ayat pasca penyaliban (terutama 1 Korintus 15) ia mengemukakan bahwa Alkitab menyebut bahwa ‘Yesus kemudan bangkit dalam roh’ (spirit), padahal ini bukan ajaran Alkitab tetapi ajaran Gnostik dan Saksi-Saksi Yehuwa. Ketika ini diluruskan oleh Douglas dan dijelaskan akan arti ‘tubuh kebangkitan yang rohani’ dan bahwa kata ‘spirit’ tidak selalu berarti roh tetapi bisa berarti rohani, ia lalu balas menyimpulkan bahwa kalau begitu ‘Yesus itu tidak mati (died) karena Adam juga disebut mati tetapi tetap hidup.’
Jadi, dengan mengeneralisasikan arti ‘died’ dan memberlakukannya kepada Yesus yang disalib, ia telah melakukan dua trik, ia menafsirkan ayat kematian Yesus di salib (yang begitu gamblang disebut dalam konteks Alkitab) secara alegoris dan kemudian membawa hadirin untuk mempercayai pandangan Ahmadyah bahwa ‘Yesus sebenarnya tidak mati,’ itulah sebabnya sesudah penyaliban para murid Yesus menyebutnya ‘alive, alive, alive’ dan bukan ‘resurrected’ yang diucapkannya berkali-kali. Jadi menurutnya, karena disebut ‘alive’ (hidup) artinya bukan resurrected (dibangkitkan) tetapi ‘Yesus tidak mati disalib.’ Padahal kita ketahui dari konteks Alkitab bahwa Yesus benar-benar mati disalib, dan kemudian bangkit pada hari ketiga, bahkan Josephus, ahli sejarah Yahudi-Romawi pada abad pertama menuliskannya. Orang yang mengerti Alkitab secara kontekstual tentu tahu bahwa setelah Yesus mati (died) ia bangkit (resurrected) dan kemudian ‘hidup’ (alive).
Pandangan Ahmad Deedat mengenai Yesus sebagai seorang pemberontak politik yang mati karena pandangan politiknya itu juga menunjukkan faham Ahmadiyah Quadiyani. Karena itu, sungguh tidak bisa dimengerti bahwa banyak kalangan Islam yang tidak setuju dengan aliran Ahmadyah, bisa menjadikan Deedat yang mengajarkan faham Ahmadyah sebagai juru bicara mereka!
Lepas dari semua itu, dibalik orasi Ahmad Deedat yang mengegelegar itu, Robert Douglas dengan ketenangan dan kasih kristiani (sekalipun banyak bagian orasinya dihapus) telah mengungkapkan dengan jelas sisi lain yang sebenarnya diberitakan Alkitab, sesuatu yang disalah artikan oleh Deedat. Deedat tidak melakukan ‘exegese’ Alkitab (menggali pengajaran keluar dari Alkitab) tetapi ia melakukan ‘eisegese’ (memasukkan ajaran (dhi Ahmadyah) ke dalam Alkitab).
Bagaimanapun Yesus telah disalib, mati, dikuburkan dan kemudian bangkit dari antara orang mati, ini yang kita rayakan sebagai peristiwa disekitar Paskah. Sehingga masalahnya kita hanya mendapat dua pilihan menerima atau menolaknya. Mengusahakan alternatif lain atau kembangannya untuk memuaskan telinga manusia akan tetap mendulang keraguan dan hanya merupakan usaha yang tidak akan berarti kecuali kepuasan manusiawi tetapi tidak mengungkapkan kebenaran firman Tuhan sejujurnya.
Amin!Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org
Catatan:
Untuk yang ingin membaca lebih dalam soal ini telah terbit ‘Seri Buku Saku Yabina’ berjudul ‘Yesus Digugat’ (Mitra Pustaka, 2006), dan doakan seminar Paskah berjudul ‘Answering Critiques regarding Jesus’ di UK Petra, Surabaya (12 April 2006) dan seminar berjudul ‘The Da Vinci Code dan Gugatan Tentang Ketuhanan Yesus’ di ISCS, Denpasar (21 April 2006).
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]