RENUNGAN
Februari 2006


 

KEMERDEKAAN YANG BERTANGGUNG JAWAB

 

Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.” (Galatia 5:1)

Beberapa bulan terakhir ini ada dua kemarahan besar yang dilakukan kelompok umat beragama yang menimbulkan korban harta benda yang tidak kecil. Peristiwa pertama adalah kemarahan besar yang ditujukan kepada negara-negara Barat terutama Denmark yang dipicu karikatur tokoh yang dinabikan yang dianggap melecehkan yang dimuat sebuah koran Denmark yang kemudian dimuat ulang beberapa koran Eropah, dan yang kedua pembakaran rumah-rumah penganut Ahmadyah di Lombok.

Mengapa ada umat beragama yang begitu mudah marah? Salahkan ajaran agama itu? Ataukah ada tradisi budaya agama yang tidak benar? Atau mungkinkan sistem pemerintahan agama yang represif sehingga membuat pengikutnya menyimpan kemarahan terpendam? Kita tidak perlu berspekulasi mengenai hal itu, karena perilaku masyarakat dibentuk oleh gabungan berbagai faktor seperti a.l. tradisi budaya suku, temperamen khas suku, ajaran agama yang dianut, maupun otoritarianisme pemimpin agama. Kalau sifat-sifat yang negatif menumpuk maka kemarahan dan nafsu perang akan makin mencuat keluar.

Kasus Denmark memang bisa menjadi pelajaran menarik mengenai soal ‘kebebasan’ khususnya kebebasan beragama dan bersuara. Memang latar belakang tradisi budaya Barat yang terpengaruh Helenisme dan Kekristenan mendorong dipraktekkannya kebebasan, namun kelihatannya kasus karikatur mutakhir itu menunjukkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan itu sudah kelewat batas sehingga malah berdampak bebasnya terjadi kekacacauan.

Memang kadang-kadang tidak bisa dimengerti mengapa alasan agama bisa menjadikan orang merusak, membakar rumah ibadah, membunuh atau memberi fatwa mati. Selain Suradi yang melecehkan nama ‘Allah’ tokoh muda Ulil Absar Abdala juga pernah diberi fatwa mati oleh kalangan tertentu.

Kita belum lupa kasus majalah Monitor yang menyeret redaksinya bertahun-tahun di penjara karena perilaku demikian. Pasalnya ada angket mengenai tokoh yang dianggap paling populer, Muhammad yang diakui sebagai nabi ternyata ada yang memilihnya dengan 14 suara (kalau nggak salah ingat) dan Yesus hanya mendapat 4 suara, suara-suara ini jauh dibawah tokoh sekuler. Reaksi memang cukup keras sehingga Arswendo dihukum penjara, padahal dia hanya mengungkapkan fakta berapa jumlah suara yang diusulkan dan dikirim pembaca. Umat kristen (yang notabena mengaku Yesus sebagai Tuhan) menghadapi angket itu tidak bereaksi apa-apa, bahkan ada yang bersyukur bahwa hanya sedikit orang (4) yang mengaku Yesus sebagai Tuhan dan tokohnya yang membaca tabloid bernuansa ‘paha dan dada’ (komentar Arswendo mengenai tabloidnya) itu.

Dibandingkan kasus majalah Monitor, memang kasus karikatur di koran Denmark jauh lebih kental nuansa pelecehannya. Reaksi dari kalangan yang terkena macam-macam, ada yang menanggapinya dengan kepala dingin namun ada juga yang menghadapinya dengan hati panas, bahkan ada yang merusak dan membakar kedutaan Denmark, dan tidak kalah panas ada tokoh agama yang bahkan menuntut pemerintah RI  memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Denmark dan negara-negara lain yang salah satu korannya ikut memuat karikatur bermasalah itu.

Sedemikian jauhkah perlu reaksi berantai kemarahan itu? Apa urusan pemerintah Denmark dengan ulah satu koran yang berlindung dalam kebebasan persnya? Di Denmark, pemerintah bisa dituntut oleh koran kalau berani memberangus koran itu. Kita perlu sadar bahwa di Denmark dan negara-negara yang korannya memuat karikatur itu ada banyak warganegaranya yang muslim yang bergantung pada ekonomi negara. Sebenarnya tindakan kemarahan generalisasi itu bisa menjadi bumerang seperti yang diungkapkan dengan bijak oleh tokoh muslim Dawam Rahardjo yang mengingatkan bahwa penutupan kedutaan dan pabrik negara-negara itu menambah banyak jumlah PHK karena banyak orang muslim bekerja di situ.

Yang menarik lagi adalah generalisasi itu ditujukan kepada Dunia Barat secara keseluruhan seakan-akan Barat dan juga agama Kristen ikut bersalah. Kita harus sadar bahwa sekalipun banyak fundamentalis Kristen yang mendukung Bush dalam menyerbu Afghanistan dan Irak, banyak juga kalangan Kristen di USA yang menolak nafsu perang Bush. Apa hubungan kekristenan dengan Denmark yang serba bebas termasuk dalam hal pornografi? Sekalipun mendapat cap sebagai negara Kristen, survai menunjukkan bahwa hanya sekitar 4 persen orang Denmark yang pergi ke gereja.

Kemarahan kalangan tertentu yang pemarah dalam Islam memang jauh lebih dominan dibanding mereka yang juga muslim yang mayoritas yang lebih tenang (the silent majority), namun justru karena kemarahan yang sering memang dipicu oleh para pemimpin agama yang tidak bertanggung jawab itulah, maka karikatur itu malah menyebar tak terbatas melalui internet dan tidak seorang pun bisa membendungnya sehingga orang yang tidak tahu jadi tahu bahkan ikut menyebarkannya lebih luas lagi.

Umumnya umat Kristen telah belajar banyak dari sejarah bahwa kalau pelecehan dilayani maka akan makin menyebar tetapi kalau didiamkan akan berakhir sendiri. Yesus (yang dipercayai sebagai Tuhan) sudah sering dilecehkan orang. Yesus pernah dilukis sebagai wanita telanjang memimpin perjamuan malam, film ‘The Last Temptation’ menggambarkan Yesus disalib telanjang dan membayangkan kawin dengan Maria Magdalena dan membuatnya hamil dan berselingkuh dan mengawini Marta, film ‘Jesus Christ Superstar’ menjadikan Yudas sebagai pahlawan yang dikorbankan untuk Yesus yang berpacaran dengan Maria Magdalena. John Dominic Crossan tokoh Jesus Seminar bercerita tentang Yesus yang mayatnya dimakan anjing, dan Dan Brown menulis dalam ‘The Da Vinci Code’ bahwa Yesus mengawini Maria Magdalena dan memiliki keturunan. Namun sekalipun ada kalangan Kristen yang marah tetapi tidak sampai bereaksi berlebihan dan hanya dalam wacana, dan umumnya umat Kristen menganggap karya-karya demikian sebelah mata.

Memang ayat pembuka renungan ini menggambarkan kebebasan/kemerdekaan yang dibawakan oleh Yesus kepada umat Yahudi kala itu yang sangat terikat dan terjajah oleh tradisi suku dan agama Yahudi dan lain-lain ikatan, demikian juga ayat itu masih berlaku hingga saat ini dalam konteks kebebasan beragama dan menganut keyakinan, namun dibalik itu perikop ayat itu diakhiri dengan batasan kebebasan/kemerdekaan itu agar bertanggung jawab.

Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk berbuat dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Galatia 5:13)

Surat rasul Paulus kepada jemaat Galatia di atas merupakan pengejawantahan hukum kasih yang diberitakan oleh Yesus kepada kita agar dilakukan oleh umatnya yang mengakuinya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Marilah kita mendoakan mereka yang mengatas-namakan kebebasan dan ingin berbuat sesuka hati agar bisa bertanggung jawab dan tidak sampai melecehkan pihak lain, kita juga jangan terpancing untuk ikut-ikutan melecehkan mayoritas umat Islam hanya karena kemarahan kalangan minoritas di dalamnya, sebaliknya kita juga perlu mendoakan mereka yang mengaku beragama tetapi menjadi pemarah dan hakim, dan marilah kita memperkenalkan dengan kesaksian kita mengenai ‘kasih’ Tuhan yang telah diajarkan kepada kita yang membebaskan manusia termasuk bebas dari kemarahan.

Amin!

Salam kasih dari Redaksi
www.yabina.org

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]