RENUNGAN
Juli 2006


 

PENTAKOSTA DAN AZUSA

 

Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh ruangan, dimana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya” (Kisah 2:1-4)

Belum lama ini kita merayakan hari Pentakosta, hari ke-50 setelah Paskah Yahudi. Bagi umat Kristen, hari Pentakosta dikenang dimana Roh Kudus dicurahkan secara tetap keatas pelayanan para Rasul dan selanjutnya akan dengan tetap mendiami umat percaya seperti yang diungkapkan ayat di atas. Pada tanggal 25-29 April 2006 di Azusa, Los Angeles, dirayakan juga 100 tahun Pencurahan Roh Kudus yang dianggap sebagai awal lahirnya gerakan Pentakosta yang terjadi disana pada tahun 1906.

Benarkah gerakan Pentakosta lahir di Azusa? Dan benarkah Azusa mencerminkan Pencurahan Roh Kudus? Sebenarnya gerakan Pentakosta berasal dari beberapa gerakan Holiness yang menghangatkan banyak orang Kristen di Amerika Serikat, dan sebelumnya, gejala-gejala Pentakosta sudah diklaim oleh para pengikutnya sudah terjadi ditempat lain. Di tahun 1892, di Liberty (Tenessee) di kalangan Holiness Church dialami gejala mujizat berkata-kata dalam bahasa lidah (glosolalia), jemaat di situ menganggap gejala yang terjadi merupakan ulangan Kisah-2.

Pada tahun 1898, dalam ‘camp meeting’ yang diselenggarakan gereja Holiness di Cherokee, North Carolina yang dipimpin oleh William F. Bryant, dialami pengalaman Pentakosta yang dipercayai sebagai Baptisan Roh Kudus dengan gejala berbicara dalam bahasa asing. Gerakan Cherokee kemudian diperkuat pelayanan pendeta Spurling yang menganggap gerakan itu sebagai gerakan hujan akhir atau ‘The Latter Rain Movement’ sesuai nubuatan Yoel (2:23). Kelompok Cherokee ini kemudian mendirikan gereja Church of God dengan tokohnya J. Tomlison.

Lainnya menerima Charles Fox Parham sebagai pelopor, karena sebagai pimpinan Sekolah Alkitab di Bethel, Topeka, Kansas, terjadi pengalaman berbahasa asing pada tanggal 1 Januari 1901. Parham mendirikan Rumah Kesembuhan Ilahi di Topeka. Pelayanannya kemudian memperngaruhi pendeta berkulit hitam bernama William Seymor. Dalam jemaat Seymor di Azusa street, LA, pada tahun 1906 terjadi gejala sama yang dianggap sebagai kelahiran gerakan Pentakosta. Memang dibandingkan Tenessee, Cherokee, dan Topeka, Azusa lebih terkenal karena mendatangkan kontroversi dengan gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan gerakan yang baru berkembang itu. Pada tahun yang sama didirikan Assembly of God (Gereja Sidang Jemaat Allah) dengan tujuan menyatukan gereja-gereja Pentakosta yang makin banyak bermunculan kala itu.

Jan Aritonang, mantan Rektor STT-Jakarta, dalam bukunya menceritakan apa yang menyebabkan kegerakan di Azusa menjadi kontroversial. Ia mengemukakan:

"Selama bertahun-tahun di Azusa Street ini hampir setiap hari diadakan kebangunan rohani. Dengan berbagai cara: berteriak, menangis, menari, kesurupan dan sebagainya, para pesertanya berupaya atau membuktikan bahwa mereka telah menerima Baptisan Roh dan karunia 'berbahasa lidah', di samping karunia-karunia lain (penyembuhan ilahi dan sebagainya). Setelah yakin telah menerimanya, mereka pulang dan menyebarkan berita itu. Dalam waktu singkat berdirilah sejumlah pusat Pentakostal di kota-kota besar AS maupun di berbagai negeri di dunia. Akan tetapi, tidak sedikit pula di antara pengunjung yang melihat segala yang terjadi itu secara kritis, terutama gejala-gejala dan ungkapan-ungkapan yang emosional dan ekstrem di dalamnya. Lalu diketahuilah bahwa di tengah-tengah massa itu hadir juga kaum spiritualis dan para penganut berbagai aliran kultik, yang memang sudah lama menjamur di sekitar kota itu. Juga sangat terasa pengaruh cara penghayatan dan pengungkapan iman khas Afrika yang sangat spontan dan meledak-ledak. Seymor sendiri terganggu oleh suasana yang acapkali tak terkendali itu, lalu mengundang Parham untuk 'menertibkan' keadaan itu. Parham datang bulan Oktober 1906, lalu - sebagai seorang simpatisan Ku-Klux-Klan yang anti kulit hitam (sebagaimana dicatat Hollenweger dalam Jongeneel [ed] 1991:8) - ia mengecam segala perilaku yang ia saksikan, yang ia nilai "ekstrem, fanatik, melacurkan kuasa rohani, mengerikan dan di luar akal sehat". Penilaian dan tegurannya ini malah membuat ia 'ditengking' (diusir) oleh kaum hipnotis dan spiritualis yang berlatar belakang Afrika, yang telah mengambil alih penyelenggaraan kegiatan di sana. Penolakan atas Parham itu mengakibatkan hubungan antara Parham dan Seymor putus dan tak pernah pulih kembali. Ini mengawali dan menandai perpisahan kulit putih dan kulit hitam di kalangan Pentakosta" (Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja, BPK-GM, hlm.177).

            Dari kenyataan di atas kita dapat melihat bahwa sedini sejarah awal berkembangnya, gerakan Pentakosta telah menghadapi bahaya dimasuki secara sinkretis pengaruh perdukunan/okultisme. Menghadapi gejala awal perkembangan gerakan Pentakosta itu, setidaknya ada dua kutub pandangan ekstrim. Kutub Pertama menolak kehadiran gerakan Pentakosta dengan konsepnya mengenai Roh Kudus dan mujizat/kesembuhan yang diajarkan, sedangkan di Kutub kedua, ada fanatisme yang menerima semua gejala gerakan Pentakosta dianggap sebagai bagian karya Roh Kudus yang benar.

            Sebenarnya kita harus jujur bahwa gerakan Pentakosta memiliki nilai-nilai kebenaran yang perlu kita sambut. Gerakan Pentakosta telah mengingatkan gereja akan oknum ketiga Tritunggal, tentang kepribadiannya dan kuasanya dalam menyertai umat untuk menjadi Saksi (Kisah 1:8). Dalam buku ‘Saksi-Saksi Yehuwa, tamu tak diundang yang rajin berkunjung ke rumah-rumah,’ (Kalam Hidup, 2004, hlm.197), penulis mengutip pandangan gerakan Pentakosta tentang Roh Kudus yang adalah pribadi Allah Tritunggal sebagai referensi yang menguatkan ( dikutip dari Dictionary of Pentecostal & Charismatic Movements, Zondervan, 1993, hlm. 410-411).

            Bagian terbesar gerakan Pentakosta senada dengan kekristenan secara umum melihat bahwa Alkitab mengajarkan ketritunggalan Allah dengan tiga pribadi yang jelas, yang berbedaannya tidak menghilangkan hakekat keesaan Allah. Pandangan ini sekaligus menolak faham Gnostik yang menganggap Roh Kudus sekedar pancaran atau radiasi yang keluar dari ‘Sumber yang Baik’ itu, juga Arianisme yang sekarang diteruskan oleh Saksi-Saksi Yehuwa yang menganggap Roh Kudus hanya tenaga aktif Allah, dan kepercayaan Sabellianisme yang menganggap bahwa ‘Tuhan itu satu dan menyatakan diri dalam tiga bentuk, cara, atau kapasitas yang berbeda-beda.’ Pemuja Nama Yahweh (yang alergi nama ‘Allah’) termasuk yang terakhir ini, faham yang diwakili ucapan bahwa “Bapa (Yahsua) dan Roh Kudus adalah satu realitas yang sama dan dengan demikian ajaran tentang Trinitas tidak harus dipertahankan” (Dr. Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, hlm. 238). Bagi pemuja nama Yahweh, Hakikat Elohim adalah Yahwe yang bernama Elohim, Firman sebagai Daya Cipta, dan Roh Kudus sebagai Daya Hidup (lihat: ‘Memashurkan Nama Elohim Yang Benar, terbitan Nafiri Yahsua Ministry). 

            Demikian juga, penekanan kembali akan kuasa Roh Kudus dalam mendatangkan mujizat & kesembuhan patut diterima dengan syukur (artikel ‘Sebuah Kesaksian Kesembuhan’ menunjukkan bahwa mujizat dan kesembuhan ilahi masih terjadi sampai saat ini juga di kalangan aliran non-Pentakosta). Namun, dibalik itu kita perlu waspada agar penerimaan kebenaran gerakan Pentakosta yang menekankan kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan Kristiani janganlah sampai dicampur-adukkan secara sinkretis dengan praktek-praktek perdukunan (New Age / Words of Faith) karena hal itu menduka-citakan Allah (Bandingkan Musa & Harun vs. Ahli Sihir Mesir dalam Keluaran 7-11, dan Filipus, Petrus & Yohanes vs. Simon si Sihir dalam Kisah 8:4-25. Kedua kasus itu menunjukkan kesamaan mujizat supranatural tetapi memiliki sumber berbeda, yang pertama datangnya dari kuasa Roh Kudus dan yang kedua berasal kekuatan alam/roh-roh lain).

            Dalam mengingat kembali 100 tahun berkembangnya gerakan Pentakosta, kita harus sadar bahwa sedini tahun berkembangnya gerakan Pentakosta, kuasa Roh Kudus sudah dikacaukan dengan kuasa spiritualis dan okultis, dan dalam sejarahnya yang panjang selama 100 tahun, gerakan ini selalu diganggu dengan penetrasi praktek-praktek spiritualis dan okultis yang sama. Karena itu tidak ada hal lain bagi umat Kristen agar tetap berpegang teguh pada sumber firman Tuhan sendiri dan berhati-hati dan selektif dalam menerima gejala-gejala sekitar pengalaman Pentakosta, apakah itu berasal dari Roh Kudus atau berasal dari kuasa spiritualis dan okultis.

Amin!

Salam kasih dari Redaksi
www.yabina.org

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]