RENUNGAN Agustus 2007


PENDETA

 

Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. ... Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (1 Petrus 5:2-3,5b)

Tahun yang lalu beberapa orang menyelamati penulis dan mengatakan: ‘Selamat ya sudah ditahbiskan jadi pendeta.’ Penulis kaget karena penulis bukan pendeta yang ditahbiskan, lalu penulis bertanya: ‘Lho kapan saya ditahbiskan?’ Lalu jawabnya: ‘Kan di majalah Reformata bapak disebut pendeta?’ Sebulan yang lalu, penulis diundang untuk berceramah soal film The Lost Tomb of Christ oleh Sinoda GPIB untuk para pendeta, dan MC memperkenalkan kepada hadirin: ‘Kami perkenalkan pembicara pendeta Herlianto.’ Ketika diminta untuk memberitahu kelengkapan biodata, penulis meralat MC dengan mengaku bahwa penulis bukan pendeta tetapi hanya seorang ‘penceramah agama.

Soal kependetaan memang tidak jelas pengaturannya, dalam kasus pertama di atas memang penulis pernah berceramah soal ‘The Da Vinci Code’ di sebuah gereja di bilangan Jakarta Barat dan seusai ceramah didekati wartawan tabloid Reformata yang hadir yang mewancarai lebih jauh topik yang baru dibicarakan sambil dipotret. Ujung-ujungnya foto penulis dijadikan coverboy majalah Reformata (Edisi 40, Juli 2006) dengan diberi identitas pendeta, wah! Rupanya ada pendeta yang dipandang jemaat sebagai bukan pendeta dan ada bukan pendeta yang dipandang jemaat sebagai pendeta.

Dalam kasus diatas itu memang sukar dijelaskan posisi penulis, soalnya sekalipun dalam kartu nama penulis tidak tercantum identitas itu, Reformata rupanya memandangnya dari sudut ‘fungsional’ dan mewancarai seseorang yang baru berbicara di balik mimbar gereja besar. Sebaliknya dalam kasus kedua, karena diperkenalkan langsung, penulis bisa menjelaskan kepada para hadirin yang semuanya pendeta-pendeta yang ditahbiskan termasuk beberapa vikaris yang secara ‘struktural’ memperoleh ‘jabatan’ kependetaan dari sinodanya.

Status pendeta memang banyak disorot, dan kesan orang mengenai jabatan pendeta memang bervariasi, di satu kutub pendeta bisa sangat dipuja sebagai ‘wali’ Allah di bumi ini, tetapi di kutub lain pendeta juga bisa dilecehkan karena perilaku mereka. Bahkan dalam alam pluralisme ada pendeta yang di mimbar gereja maupun mass media tidak lagi mnegaku sebagai seorang gembala, ada yang dengan terang-terangan mengaku tidak mengimani Yesus sebagai Allah, tidak mengaminai kebangkitan Yesus, bahkan ada yang mengkotbahkan bahwa Yesus yang disalibkan itu mati dan sekarang ditemukan makamnya di Talpiot. Di samping itu, belakangan ini banyak isu skandal yang menimpa pendeta terkuak baik ditulis di tabloid maupun di internet. Masa sekarang kita sudah tidak lagi bisa mengkultuskan dan menutupi sepak-terjang pendeta karena mass media sudah cukup terbuka untuk mengungkapkan segala sesuatunya, baik yang berbau harum maupun yang berbau busuk.

Belum lama ini kita dikejutkan dengan perpecahan partai yang mengusung tanda gambar salib dengan burung dara terbang di depannya. Yang menjadi skandal adalah perpecahan yang tidak sejahtera dalam partai berlabel ‘damai sejahtera’ itu yang melibatkan para pendeta, dan bukan sekedar melibatkan pendeta, tetapi melibatkan dua tokoh jaringan doa nasional, yang seorang ketua jaringan doa kota dan yang kedua bahkan ketua jaringan doa nasional. Memang tidak mudah menjaga status pendeta, soalnya ke’pendeta’an sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu, lihat saja begitu mudahnya sebagian pendeta yang tiba-tiba bergelar master atau doktor tanpa ketahuan dimana dan kapan mereka belajar teologia. Ada juga pendeta yang tiba-tiba dijabat seorang pengusaha atau tokoh masyarakat hanya karena mereka merasa terhormat dengan sebutan itu dan status itu dianggap sebagai jalan untuk mengumpulkan massa. Lihat saja JDN yang maksudnya mulia untuk mengajak umat bersehati berdoa untuk bangsa dan negara, tetapi ketika massa terkumpul, beberapa oknum pendeta tergiur memanfaatkan berkumpulnya umat itu untuk mencapai ambisi mereka mencapai kekuasaan dan uang.

Ada juga yang menjadikan kependetaan sebagai alat mencari kesempatan, bayangkan, penulis yang memiliki yayasan pelayanan yang sederhana (low profile but high service) sering dimintai dana oleh pendeta-pendeta di daerah yang umumnya mengeluh: “Pimpinan gereja kami di Jakarta menuntut diberi perpuluhan dari jemaat-jemaat didaerah dan uangnya dipakai untuk rapat-rapat dan jalan-jalan ke luar negeri, tapi ketika kami membutuhkan bantuan mereka tutup mata dan telinga.”

Uang merupakan daya tarik luar biasa dalam jabatan pendeta, soalnya banyak yang merasa bahwa ‘status pendeta’ bisa menjamin kehidupan mereka. Ada pendeta yang setiap kotbah mendorong jemaat memberikan perpuluhan, dengan praktek demikian setidaknya seorang pendeta yang memiliki 10 jemaat bisa hidup dengan penghasilan sebesar rata-rata penghasilan ke sepuluh jemaat itu, dan bisa dibayangkan kalau jemaatnya seratus atau seribu. Dengan alasan yang sama, sekarang banyak bermunculan jemaat-jemaat waralaba dengan pendetanya yang instan yang membuka gerai-gerai di mall-mall dan real estat dan bernaung dibawah sinode yang punya nama dengan harapan bukan mencari jiwa tetapi mencari rejeki dimana ia harus menyerahkan upeti (peti voor u) kepada sinoda yang menaunginya.

Massa yang terkumpul memang menarik para pendeta yang berambisi kekuasaan. Kita sedih mendengar adanya sidang-sidang gerejawi yang sering diisi pertengkaran sengit berebut kekuasaan atas asset gereja seperti layaknya partai politik berebut asset dan kekuasaan, dan orang-orang menyebut bahwa rapat-rapat yang melibatkan profesional dan konsultan jauh lebih damai dan sejahtera daripada rapat-rapat gerejawi yang melibatkan pendeta.

Sekalipun demikian, sebenarnya bagian terbesar barisan pendeta (the silent majority) adalah mereka yang berdedikasi yang melayani tanpa pamrih dan benar-benar rela berkorban untuk Yesus. Banyak pendeta pensiun tanpa uang pensiun atau rumah yang bisa dimilikinya, ada pendeta yang doktor teologia yang berbobot yang ketika meninggal dunia hanya meninggalkan rumah kontrakkan dan meninggalkan uang simpanan yang jumlahnya tidak berarti. Banyak pendeta harus gigit jari karena tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di tempat yang layak, bahkan tidak sedikit pendeta kesulitan memasukkan anaknya ke sekolah ‘kristen’ karena status ekonominya yang tidak menunjang.

Ayat yang ditulis oleh rasul Petrus di atas perlu menjadi peringatan bagi setiap pendeta, karena ucapannya itu bukan sekedar teori tetapi merupakan ungkapan pertobatan rasul Petrus sendiri. Bila semula ia sangat ambissius dan ingin kedudukan yang utama, setelah bertobat ia menjadi rasul yang rela berkorban bahkan menjadi martir yang rela mati karena keyakinan dan pelayanannya. Namun sayang, dikemudian hari para pengikutnya mengidolakan statusnya yang utama dan bukan pertobatan dan pengabdiannya.

Dalam kutipan ayat yang diucapkannya di atas, kita mengetahui bahwa seorang pendeta seharusnya adalah seorang gembala yang melayani domba-dombanya dengan sukarela bukan dengan paksaan. Sukarela bukan se’suka’nya sesuai ke’rela’an diri sendiri, tetapi sukarela sesuai kehendak Allah. Seperti apa yang diumpamakan oleh nabi Yesaya dan Yeremia, bahwa seorang pelayan Tuhan sepatutnya menjadi tanah liat yang siap dibentuk oleh penjunan yaitu Tuhan sesuai kehendak-Nya bagaimana bentuk tanah liat itu nantinya. Rasul Paulus mengatakan bahwa ‘Ikutlah teladanku seperti aku mengikut teladan Yesus’ dan bagaimana teladan Yesus? Ia mengatakan dalam doa-Nya kepada Bapa-Nya: “Jangan kehendak-Ku yang jadi tetapi kehendak-Mu-lah yang jadi.”

Rasul Petrus juga mengingatkan agar para pendeta tidak melayani untuk ‘mencari keuntungan.’ Ia sendiri memberikan contoh dalam kehidupannya, ia yang semula cukup sukses sebagai nelayan kawakan bahkan bersama para murid lainnya pernah dikaruniai ikan sebanyak dua perahu penuh oleh Yesus, tetapi tidak menjadikan berkat itu sebagai modal untuk mendirikan pabrik pengolahan ikan, tetapi meninggalkan semuanya dan mengikut Yesus bahkan mengorbankan dirinya sendiri sebagai martir. Petrus menasehati setiap gembala agar melayani dengan pengabdian, ‘kewajiban’ yang sudah meredup dari kamus pendeta masakini yang lebih banyak menuntut ‘hak.’

Para pendeta dihimbau agar jangan ber’raja’ di hati yang haus kekuasaan dan keinginan hati untuk memerintah jemaat, jemaat yang nota bene membiayai kehidupan pendeta itu, melainkan hendaknya menjadi gembala yang memberikan teladan yang baik seperti sang gembala Yesus. Kekuasaan atas pemerintahan jemaat biasanya dilakukan dengan congkak, tetapi rasul Petrus menekankan agar setiap gembala melayani dengan rendah hati.

            Tidak mudah melayani sesuai kehendak Allah karena lama kelamaan, khususnya pada masakini, kependetaan sudah menjadi ‘profesi,’ mata pencaharian yang menghasilkan untung besar bagi mereka yang belum bertobat dan tidak mengerti arti pelayanan sebenarnya. Sejarah gereja selama 2 milennium telah membuktikan hal itu, betapa tugas kependetaan sering dibelokkan kearah yang mementingkan diri dan saku para klerus, karena itu ayat yang diucapkan rasul Petrus di atas harus terus-menerus mengingatkan para pendeta khususnya dan para pelayan Tuhan pada umumnya, bahwa tugas kependetaan bukanlah profesi yang menjadi alat mencapai kekuasaan dan uang, tahta dan harta, tetapi suatu pengorbanan diri.

            Marilah kita mendoakan para pendeta yang terjerat keinginan dunia yang penuh gegat dan karat yang membinasakan itu, agar mereka mengarah kepada pelayanan harta surgawi yang tiada gegat dan karat bisa merusakkannya, dan marilah kita mendoakan para pendeta yang benar-benar melayani dengan ketulusan dan kejujuran agar mereka tetap setia dalam janjinya melayani Tuhan karena mereka diperkenan Tuhan.

Amin!

 

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org 

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]