RENUNGAN Februari  2009


PELAYANAN MAHASISWA

 

“Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Korintus 11:1)

Tahun lalu, penulis diundang untuk berceramah dalam rangka 30 tahun pelayanan persekutuan mahasiswa ‘Lahai Roi’ bertempat disebuah gereja ekumenis di Surabaya. Menarik menyaksikan bahwa perintis persekutuan mahasiswa itu juga sering diundang berkotbah di gereja itu. Ini menarik karena ada kasus sebaliknya di gereja ekumenis yang lain, ketika persekutuan mahasiswa ‘Perkantas’ (Persekutuan Kristen Antar Universitas) ingin meminjam ruangan di gereja itu, pendetanya menolak dengan alasan Perkantas itu bukan gereja.

Pelayanan mahasiswa itu memang unik, dan mulai berkembang di era 1960-an bertepatan dengan era informasi gelombang ketiga yang melanda seluruh dunia. Pada era itu di Indonesia khususnya, ada peristiwa lainnya yang mencetuskan bangkitnya gerakan ‘Para Church’ (harfiah = pendamping gereja) di Indonesia yaitu di tahun 1965 timbul ‘Gestok’ (Gerakan Satu Oktober, atau Gestapu = 30 September) dimana terjadi pemberontakan komunis yang menelan banyak korban.

Di tahun 1960-an itu, sebagian gereja ekumenis mulai dipimpin pendeta yang muda-muda yang beberapa diantaranya terpengaruh teologi liberal (yang menolak Yesus sebagai Tuhan & Juruselamat dan tidak percaya mujizat dan gejala supra-alami dalam Alkitab), hal ini sedikit banyak berdampak bagi gereja-gereja yang dipimpin pendeta-pendeta itu yang makin mandul dalam melayani aspek rohani jemaatnya, demikian juga banyak gereja menjadi suam.

Dalam kekosongan rohani era itu diseluruh dunia dan khususnya di Indonesia setelah Gestok, kita melihat kekosongan rohani itu dialami masyarakat Indonesia secara luas. Menghadapi kekosongan itu, pada umumnya gereja-gereja yang suam dan berorientasi pada rutinitas liturgis kurang mampu memberikan jawaban atas merebaknya frustasi sekuler itu, karena itu timbul tiga aliran besar ‘Para Church’ di Indonesia, yaitu: (1) Kebangunan Gerakan Kharismatik yang menekankan gejala-gejala supranatural dan mujizat; (2) Tumbuhnya Persekutuan-persekutuan Mahasiswa di kampus-kampus; dan (3) Berdirinya ratusan Yayasan Pekabaran Injil yang bercorak Injili dan Kharismatik.

Gereja-gereja pada umumnya kurang melihat dunia kampus sebagai ladang pelayanan dan mereka umumnya terjerat rutinitas pelayanan di gerejanya sendiri, padahal di kampuslah para mahasiswa yang juga jemaat mereka dipengaruhi berbagai filsafat dunia. Memang ada juga pelayanan kampus yaitu dikirimkannya pendeta untuk mengajar kuliah agama Kristen, tetapi sifatnya hanya mengulang katekisasi gaya gereja yang bersifat kognitif saja, dan secara nasional ada Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang bercorak ekumenis yang secara organisasi memang mampu melahirkan tokoh-tokoh organisasi yang sekarang banyak menjadi kader di parpol, namun dalam hal pelayanan rohani di kalangan mahasiswa, kedua bentuk pelayanan itu kurang berfungsi.

Jawa Barat merupakan palungan dimana umumnya persekutuan mahasiswa di Indonesia lahir. Waktu itu seorang utusan misi OMF (Overseas Missionary Fellowship) yaitu Dorothy Irene Marx mengadakan persekutuan ‘Open House’ di rumahnya sambil mengajar agama di ITB Bandung. Di IPB Bogor kemudian hadir John Chambers juga dari OMF, seorang doktor ahli tanah yang mengajar dan juga menjadi dosen agama disitu (kemudian merintis pelatihan ratusan Alumni Universitas di seluruh Indonesia melalui YPPAK). Utusan-utusan misi OMF melayani mahasiswa dan mendorong mereka melayani gereja masing-masing, dan dampak pelayanan mereka tidak disangkal sangat melekat dalam diri ribuan alumnus yang sekarang menjadi profesional dimana-mana.

Selain pelayanan dari misi OMF, hadir juga organisasi mahasiswa yang membentuk organisasi ‘Para Navigator’ (mantan ketua Indonesianya Badu Situmorang yang sarjana tata kota ITB pernah menjabat direktur pelayanan mahasiswa Navigator se Asia, dan salah satu stafnya sekarang menjabat Rektor UK Maranatha-Bandung), dan ‘Campus Crusade’ (yang kemudian menjadi Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia [LPMI] yang ketuanya Nus Reimas saat ini menjabat ketua Gabungan Gereja dan Persekutuan Injili). Perkantas lahir dari tiga orang sarjana yang belajar di Australia yang mengikuti persekutuan mahasiswa di sana, yaitu Jimmy Kuswadi, Jonatan Parapak, dan Soen Siregar, yang sepulang ke Jakarta merintis persekutuan mahasiswa yang kemudian menjadi cikal bakal Perkantas. Di tahun 1960-an itu juga seorang mahasiswi biologi ITB bernama Dian Anggraini terpanggil melayani Tuhan dan belajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara setelah lulus, dan kemudian menjadi dosen agama di Universitas Airlangga Surabaya, dan merintis persekutuan mahasiswa ‘Lahai Roi,’ dan kemudian bersama suaminya yang doktor dosen ITS melayani Para mahasiswa dan alumni.

Tidak dapat disangkal bahwa Persekutuan mahasiswa sudah menjadi bagian kekuatan pelayanan Kristen dan menjadi perpanjangan gereja di dunia universitas. Saat ini hampir semua jurusan/fakultas kampus-kampus umum di seluruh Indonesia memiliki salah satu bentuk persekutuan mahasiswa. Dibalik eksklusivitas organisasi persekutuan mahasiswa masing-masing, Para kadernya melayani di seluruh Indonesia, di kampus, di kantor, di perusahaan, dan di gereja-gereja. Dalam pelayanan penulis yang inter-denominasi dan melayani banyak gereja di seluruh Indonesia, terutama di gereja-gereja ekumenis, penulis menjumpai banyak majelis dan tokoh gereja yang merupakan hasil salah satu pelayanan mahasiswa dan banyak yang kemudian melanjutkan ke sekolah teologi. Diakui atau tidak, pelayanan mahasiswa sudah menjadi berkat bagi kekristenan dan gereja di Indonesia!

Pelayanan mahasiswa yang kemudian diperluas dengan pelayanan alumni berdampak lama dan luas jangkauannya karena merupakan pembinaan iman pribadi dalam konteks dunia kampus dan profesional dimana mereka berada. Bayangkan saja pelayanan dari Ibu Marx yang sekarang berumur 84 tahun itu, nyaris tidak ada profesional Kristen terutama di Jakarta yang tidak pernah merasakan pelayanannya. “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor.11:1) yang dicontohkan oleh rasul Paulus, itulah juga yang menjadi rahasia mengapa pelayanan mahasiswa di Indonesia itu begitu berdampak dalam dan luas. Kesaksian seorang mahasiswa senior/sarjana/dosen yang menjadi pengikut Yesus yang setia akan menjadi cermin untuk diteladani oleh para mahasiswa dan sarjana yang kemudian mengikuti jejak mereka menjadi pengikut Kristus pula.

10 tahun silam, ketika penulis dengan isteri mengikuti kebaktian di sebuah gereja di Bandung, kebetulan yang berkotbah adalah seorang pendeta undangan yang lulusan sekolah teologia di Indonesia dan magister di Amerika Serikat dan sekarang sering melayani KKR di gereja-gereja. Di tengah kotbahnya, ia bersaksi, bahwa 20 tahun yang lalu semasa menjadi mahasiswa, ia terlibat narkoba, dan kala itu ia tersentak ucapan seorang dosen Kristen yang berbicara dari hati-ke-hati kepadanya mengenai arti hidup yang menyebabkannya bertobat dari kecanduannya dan memutuskan menjadi hamba Tuhan. Tiba-tiba ia menunjuk penulis yang duduk di bangku belakang dan mengaku itulah dosen yang mengingatkannya 20 tahun sebelumnya.

Pada medio tahun 1970-an seusai menyelesaikan studi teologi di Malang, penulis menjabat Dekan Fakultas sekaligus Chaplain (pendeta mahasiswa) di Universitas Kristen Petra di Surabaya. Tidak disadari bahwa salah satu mahasiswi yang belajar disitu yang kemudian terus menapaki jalur S1, dan melanjutkan S2 dan S3 di Mancanegara, kemudian diangkat menjadi Profesor di alma maternya UK Petra. Dalam upacara pengangkatan sebagai guru besar di tahun 2007, ia mengusulkan penulis yang tinggal di Depok untuk diundang memberikan orasi rohani, ini terjadi 30 tahun setelah ia bersentuhan dengan persekutuan mahasiswa ketika masih menjadi mahasiswi! Malamnya, seorang profesional yang pernah di skors satu semester oleh rektor karena kebengalannya semasa mahasiswa di universitas yang sama dan berhasil diusahakan pembebasannya dari skors itu oleh penulis, berbincang-bincang di kamar hotel. Ia yang profesional dengan banyak proyek bangunan bertingkat banyak itu, kemudian juga masuk ke sekolah teologi dan mendapat gelar STh dan MTh. Sungguh pekerjaan Roh Kudus di dunia kampus luar biasa!

Tahun kemarin ketika melayani gereja di Kuala Lumpur, penulis bertemu jemaat asal Indonesia (yang setia mengikuti sepenuhnya seminar 5 hari) yang ahli perminyakan yang ketika belajar di ITB berkenalan dengan persekutuan mahasiswa. Ia kemudian mengajak penulis jalan-jalan digedung Petronas Tower dimana ia bekerja dan menceritakan bahwa ia baru ditawari bekerja oleh Perusahaan Minyak Arab Saudi. Di harian Natal tahun lalu, penulis menerima email ucapan Selamat Natal darinya yang menceritakan bahwa ia sekarang sudah bekerja di perusahaan minyak di Arab Saudi. Bayangkan, apa yang bisa dilakukan melalui kehadiran seorang sarjana berhati Injil yang bekerja sebagai profesional ex-patriat di dalam negara yang tidak membolehkan adanya gereja itu? Kesaksian hidup sebagai pengikut Kristus!

Para pelayan mahasiswa dan alumni tidak membutuhkan porto-folio jabatan gerejawi, rumah atau uang pensiun dari jemaat, dan juga tidak membutuhkan mimbar-mimbar gereja untuk melayani (fakta menunjukkan banyak juga yang diundang berbicara di mimbar-mimbar gereja), tetapi dunia sudah menyaksikan bahwa buah-buah pelayanan mereka luar biasa dan diperkenan Tuhan. Persekutuan mahasiswa tidak sepi menerima kritik karena sering cenderung bersifat eksklusif disebabkan sifat alami kemandirian mereka, namun dengan berkembangnya waktu mereka mulai terbuka pula untuk bekerja sama dengan gereja-gereja.

Sebaliknya, kita juga bersyukur dengan adanya banyak pendeta yang membuka diri dan menerima pelayanan persekutuan mahasiswa sebagai perpanjangan pelayanan gereja, dan marilah kita berdoa agar beberapa pendeta yang mengganggap persekutuan mahasiswa sebagai pesaing mereka agar mereka melihat pelayanan kampus sebagai ladang Tuhan dan tidak perlu mengkuatirkan eksistensi kursi kependetaan dimana mereka sudah merasa mapan dan nyaman. Seorang pendeta gereja ekumenis yang alergi terhadap persekutuan mahasiswa, ketika anaknya menjadi mahasiswa di kota lain, anak itu berkenalan dengan persekutuan mahasiswa di kampusnya. Setelah lulus anak itu masuk ke sekolah teologi untuk melayani lebih efektif lagi! Haleluyah!

Saudara/i, ladang dunia kampus sudah menguning, marilah kita ikut serta dalam pelayanan mahasiswa, baik sebagai penyiap lahan, penanam benih, penyiram pohon, atau penuai buahnya, karena Tuhan Yesuslah yang akan menumbuhkannya. Haleluyah Amin!

 

 

Salam Kasih dari Sekertariat www.yabina.org

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]