RENUNGAN Januari 2009


SUNSET POLICY

 

”Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” … Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius 22:17-21)

Hari Natal, 25 Desember 2008, membuat Mal-mal penuh sesak untuk berbelanja di akhir tahun untuk menghabiskan bonus Natal mereka. Dibalik sepinya jalan-jalan di dalam kota, di beberapa lokasi luar kota macet luar biasa. Jalan TOL Cikampek dilaporkan macet sampai 24 Km pada malam Natal, sedangkan kawasan puncak disebutkan dipadati sekitar 50.000 mobil di akhir tahun!

            Dibalik fenomena liburan dengan berjubelnya orang dan mobil yang kronis itu, ada juga kepadatan lain yang tidak ada hubungannya dengan Natal. Kantor-kantor KPP (Kantor Pelayanan Pajak) dan Bank-bank tertentu juga dipadati oleh ribuan pengunjung yang mau memanfaatkan ‘Sunset Policy’ dan meningkatnya kesadaran mereka untuk membayar pajak yang batasnya 31 Desember 2008.

            Sunset Policy adalah kebijakan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak untuk memberikan pembebasan denda kepada mereka yang alpa dalam membayar pajak mereka sebelum tahun 2008, dan bagi yang baru mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) di tahun 2008, juga diberikan keringan bebas denda. Seperti diketahui bahwa pembayaran pajak umumnya dicicil setiap bulan dengan SSP (Surat Setoran Pajak) bulanan dan diperhitungkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) dan SSP Tahunan, dan bila seseorang tidak membayarkan cicilan itu ia dikenakan denda 2% setiap bulannya.

            Ibarat Para mahasiswa yang bermental SKS (Sistem Kebut Semalam) yang maksudnya baru belajar semalam sebelum hari ujian, demikian juga dalam hal pajak orang-orang biasanya baru membayar pajaknya sampai batas waktu pembayaran terakhir pada tanggal 31 Maret untuk pembayaran pajak tahun sebelumnya, dan batas waktu untuk Sunset Policy adalah 31 Desember 2008 sejak dimulai pada tanggal 1 Januari 2008 dan digalakkan mulai bulan Juni 2008.

            Mengapa takut pajak? Banyak ketakutan timbul dari sikap tidak terpuji baik dari Wajib Pajak maupun dari Petugas Pajak. Sebelum ramai-ramai korupsi diberantas, sudah biasa kalau Para Pengusaha mau untung banyak dan hanya rela membayar pajak sekedarnya, alasannya banyak dana sudah dikeluarkan untuk pungli dan pemerasan kerah putih lainnya. Sebaliknya pajak juga sering digunakan oleh para Petugas Pajak untuk memeras para wajib pajak dengan prinsip ‘win-win solution’ dengan Para wajib pajak. Kekuatiran lainnya adalah karena dana pemerintah banyak dikorupsi sehingga timbul plesetan yang berbunyi: “membayar pajak itu menyuburkan korupsi.”

            Pemerintah berusaha untuk mengubah citra perpajakan yang suram itu dan mulai menggalakkan pemasukan pajak dengan cara ‘Sunset Policy’ yang dimaksudakan agar makin banyak orang membayar pajak mereka untuk memperkuat anggaran negara. Dan sampai akhir tahun 2008, Sunset Policy mampu mendongkrak pemasukan pajak sampai 10% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 30% dari wajib pajak (orang dewasa yang memiliki penghasilan). Apalagi, wajib pajak sekarang didorong dengan bebas fiskal keluar negeri dan bagi yang tidak memiliki NPWP bakal harus membayar biaya fiskal 2 setengah kali besaran sekarang.

            Usaha peningkatan pajak ini memang perlu diacungi jempol dan didukung, soalnya ternyata banyak juga orang Kristen dan lebih-lebih pendeta yang belum sadar pajak. Indikasi hal ini terlihat bahwa pada bulan-bulan menjelang berakhirnya Sunset Policy, di lingkungan gereja-gereja dan milis Kristen ramai dibicarakan soal pajak ini, baik melalui ceramah-ceramah dari pertugas pajak di depan warga jemaat maupun lalu lintas berita didunia maya yang membahas soal pajak ini.

            Penulis sendiri punya pengalaman menarik soal pajak ini dan mengapa banyak pendeta dan penginjil ogah membayarnya. Pada umumnya ada anggapan luas bahwa uang persembahan gereja itu tidak terkena pajak, jadi pendeta itu bebas pajak. Kesan ini kemudian berusaha diluruskan dalam Sunset Policy, bahwa setiap orang yang memiliki penghasilan adalah wajib pajak, apapun penghasilan itu, kecuali pemberian sukarela bukan sebagai imbalan jasa. Jadi dibedakan antara viatikum yang diterima sebagai hasil jasa karena menjalankan undangan kotbah dari gereja dan kalau ada jemaat yang memberikan amplop ketika pendetanya masuk rumah sakit.

            Penulis sendiri menjadi wajib pajak dan mendapat NPWP sejak tahun 1984, dimana ketika itu dalam Pelita IV digalakkan pemasukan pajak dari masyarakat. Kala itu sekalipun sudah belajar teologi dan melayani, namun karena juga merangkap sebagai pegawai negeri dan kemudian konsultan paruh waktu, penulis disadarkan bahwa punya kewajiban membayar pajak betapa kecilnyapun. (Sebagai Pegawai Negeri dan Konsultan, sebenarnya penghasilannya sudah ditarik pajak, kecuali kalau ada penghasilan diluar itu). Dan sejak itu sampai tahun 2009 sudah 25 tahun kewajiban membayar pajak dilakukan dengan setia.

            Sekalipun tidak termasuk seorang profesional bergaji besar, namun pembayaran pajak yang tidak seberapa besar itu dijalankan secara teratur, sehingga secara tidak langsung bisa ikut membangun negara ini secara riel (ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul). Malah ketakutan semula bahwa pembayar pajak itu bakal dipersulit jadinya sirna, karena selama 25 tahun membayar pajak, baru dua kali penulis didatangi petugas pajak. Itupun bukan karena kurang bayar tetapi karena kelebihan bayar. Biasanya wajib pajak membayar dengan mencicil setiap bulan dan kemudian diperhitungkan pada akhir tahun, dan biasanya ada dua opsi kelebihan bayar, yaitu: (1) Diserahkan kepada negara, dan (2) Diperhitungkan dalam perhitungan pajak tahun berikutnya.

            Dahulu penulis selalu mengambil opsi pertama, bahwa kelebihan bayar diserahkan kepada negara, namun opsi ini malah menjadi masalah, dan petugas datang ke rumah untuk men’check’ jangan-jangan dalam perhitungan SPT ada pajak yang tidak dibayarkan sehingga cicilannya jadi lebih. Pengalaman yang bukan menakutkan malah menjadi kesaksian, selanjutnya opsi ini dihilangkan.

            Pernah juga ketika pelayanan firman mulai lebih banyak dilakukan melalui YABINA ministry dan sudah agak lama berhenti sebagai pegawai negeri, penulis ditanya petugas pajak waktu menyerahkan laporan pajak tahunan. Ternyata penulis ketahuan selama ini membayar pajak lebih, sebab bagi pembimbing keagamaan maupun yang bergerak dalam organisasi sosial keagamaan ada potongan khusus yang diberikan bila menggunakan norma perhitungan, jadinya sejak tahun itu pajak penulis dipotong menjadi hanya 38% saja menurut tabel itu. Jadi sebelum itu penulis biasa membayar pajak dua setengah kali lebih besar dari seharusnya.

            Pemerintah menjalankan prinsip pajak  dengan cara ‘self assesment’ yaitu wajib pajak membayar dengan kesadaran sendiri mau mengaku berpenghasilan berapa, namun kalau mencolok dan ketahuan menipu tentu akan ditindak. Jadi sebenarnya ketakutan dalam membayar pajak seharusnya dihilangkan dari setiap warga negara yang baik terutama umat Kristen pada umumnya dan khususnya pendeta dan penginjilnya.

            Berita di akhir tahun 2008 ditengah padatnya Kantor Pelayanan Pajak dan Bank-Bank penarik pajak, calon wajib pajak terhibur dengan adanya kebijakan pemerintah yang mengundurkan masa batas waktu pemberlakuan Sunset Policy sampai 28 Februari 2009. Ini berarti masih ada dua bulan waktu untuk memperbaiki kealpaan perpajakan yang pernah dilakukan dan memulai hidup baru.

            Saudara/i yang kekasih. Sunset Policy merupakan peringatan pemerintah kepada warganya, namun dibalik itu sudahkah kita sebagai warganegara surga bertanggung jawab pula? Banyak gereja dan pendeta menganjurkan jemaatnya membayar ‘persepuluhan’ sebagai pajak kepada Allah. Dalam prakteknya persepuluhan demikian banyak disalah-gunakan oleh pemimpin-pemimpin agama dan tidak ada yang sampai ke kas surgawi secara langsung (Bacalah artikel ‘Persepuluhan’ dalam www.yabina.org).

Yang jelas Perjanjian Baru, berbeda dengan Perjanjian Lama, tidak mewajibkan umat Kristen membayar pajak kepada Allah, tetapi karena Allah telah mengasihi umatnya, maka hendaknya umat mengasihi Allah dengan sebulat-bulat hati dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Hukum kasih inilah yang menjadi prinsip pemberian kepada Allah, karena Yesus berkata:

“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).

Saudara/i, marilah kita mempersembahkan diri kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah karena itulah ibadat yang sejati (Rm. 12:1-2), dan marilah kita melakukannya dengan kesetaan, sampai masa terjadi ‘Sunset Zaman’ (akhir zaman) dimana matahari yang nyata akan digelapkan dan hari-hari akan benar-benar berlalu. . . . !

Salam Kasih dari Sekertariat www.yabina.org

 


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]