RENUNGAN Januari _3 2009
SINCIA - IMLEK
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia.” (Markus 7:6-8)
Senin, 26 Januari 2009, diseluruh dunia, orang-orang Cina/Tionghoa merayakan tahun baru lunar yang ke-2560, mengikuti ritual turun-temurun sejak masa kuno. Sejak dulu, secara turun-temurun orang-orang di Tiongkok/Chungkuo merayakan datangnya musim semi yang melambangkan kehidupan baru di tahun yang baru dalam penanggalan bulan karena para leluhur sejak masa kuno berorientasi pada kehidupan alam agraris. Mereka berkumpul dalam keluarga besar dan makan-minum sambil merayakan datangnya tahun yang baru dengan keberuntungan yang baru pula.
Sebenarnya kapan dimulainya penanggalan Cina/Tionghoa tidak ada yang tahu, namun karena lama-kelamaan perayaan Sincia/Imlek dikaitkan dengan pengajaran Kong Hu Cu mengenai hubungan kekeluargaan, penanggalan itu dikaitkan mulainya dengan tahun kelahiran Kong Hu Cu (551-479 SM). Tetapi, mengapa kemudian kedua belas jam dalam sehari dan bulan serta tahun, diberi simbolisme 12 hewan yang kita jumpai sekarang?
Banyak dongeng tersiar mengenai ke-12 hewan yang menandai jam, bulan dan tahun itu, Dongeng pertama, yaitu pada malam sebelum Tahun Baru, Buddha (563-483 SM) mengundang hewan-hewan untuk menikmati jamuan makan malam tahun baru di rumahnya, diceritakan bahwa yang pertama hadir adalah tikus, kemudian kerbau, disusul harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan terakhir datanglah babi.
Dongeng kedua menyebutkan bahwa ada pertengkaran antara hewan-hewan di bumi sehingga dewa Kaisar Giok mengadakan lomba menyeberangi sungai untuk menentukan urutan mereka. Tikus dan Kucing melompat ke atas kerbau karena mereka tidak bisa berenang, namun ketika mendekati tepi seberang, tikus menjegal kucing sehingga kucing tenggelam dan lalu tikus melompat ke tepian sebelum kerbau sampai kesana. Hewan-hewan lainnya menyusul sesuai urutan yang sama dengan diatas. Itulah sebabnya tikus dan kucing terus bertengkar sampai sekarang menurut dongeng itu karena kucing tidak diberi tempat dalam penanggalan itu (Dalam penanggalan Vietnam, kelinci diganti kucing).
Semula, perayaan tahun baru lebih bersifat alami dalam kaitan dengan kehdupan agraris, dan perayaan itu kemudian dikaitkan dengan kehidupan kekeluargaan dimana keluarga berkumpul pada hari itu. Namun, dalam perjalanan sejarah, dongeng-dongeng dan kepercayaan tahyul dan budaya mistik memasuki perayaan tahun baru, sehingga Sincia/Imlek memiliki kandungan alami dan juga supra-alami yang berbau penyembahan berhala, tahyul dan mistik. Sampai dimanakah umat yang mengenal Yesus Kristus bersikap dalam menghadapi dilema Sincia/Imlek ini?
Secara alami, tidak ada salahnya merayakan Sincia/Imlek, karena didunia ada dua sistem penanggalan yaitu yang berorientasi peredaran Matahari dan yang berorientasi peredaran Bulan, penanggalan Matahari dimulai pada tanggal 1 Januari menurut penanggalan Gregorian, sedangkan penanggalan Bulan di Tiongkok dikaitkan dengan awal datangnya musim semi dimana tumbuh-tumbuhan mulai kembali tumbuh setelah bumi ditelan salju. Biasanya tahun baru lunar dilakukan diakhir januari sampai bulan februari.
Tradisi berkumpulnya keluarga di harian Tahun Baru baik sekali, karena setidaknya setahun sekali keluarga besar yang sudah menyebar bisa menyempatkan diri berkumpul dan makan bersama. Jadi merayakan Sincia/Imlek dalam konteks ini baik sekali dan harus didukung oleh umat Kristen dan bisa menjadi kesempatan yang baik bagi kesaksian hidup seseorang yang telah menjadi percaya. Yang menjadi masalah adalah, bahwa Sincia/Imlek kemudian juga banyak dimasuki ritual berhala dan mistik, aspek terakhir inilah yang sebaiknya dihindari oleh umat Kristen Cina/Tionghoa.
Kepercayaan berhala bisa kita lihat bahwa seminggu sebelum tahun baru, dilakukan sembahyang Toapekong Dapur (Ciao Kun Kong) mengantarnya pergi ke surga melapor kepada dewa langit rahasia dapur keluarga yang mendiami rumah itu agar melaporkan yang baik-baik saja (hio dibakar agar berbau harum). Kepergian dewa dapur itu biasa diiringi dengan membakar mercon.
Pada malam tahun baru, dilakukan sembahyang tahun baru didepan meja sembahyang dengan sesajian babi, ayam dan bandeng (samseng) atau ditambah udang & kepiting (ngoseng). Pada tahun baru dilakukan kebiasaan tidak boleh menyapu dan berkata-kata kotor, karena dianggap rejeki akan tersapu. Pada kesempatan ini dilakukan kunjungan keluarga untuk saling memberi selamat dan bermaaf-maafan, sambil pasangan yang sudah menikah membagikan angpao (hadiah). Kandungan tahyul terlihat dari warna merah bungkus angpao dan pakaian dan hiasan serba merah yang melambangkan keberuntungan/rejeki, dan isi angpao tidak boleh merupakan kelipatan 4 karena menandakan kematian tetapi sebaiknya kelipatan angka 8 yang menandakan rejeki.
Setiap tahun yang dimasuki melambangkan hewan-hewan tertentu sehingga kelahiran seseorang dikaitkan dengan hewan lambang tahun itu (shio) dan sifat-sifatnya juga mengikuti hewan itu, ini menyebabkan orang menunda kelahiran agar masuk tahun yang baik, atau memandang rendah anak yang lahir di tahun yang sial. Pada hari keempat dewa dapur turun dan disambut dengan permainan Barongsay dengan Bi Lek Hud. Barongsay masuk ke kamar-kamar rumah untuk mengusir roh jahat. Pada tanggal 15 sesudah tahun baru dilakukan upacara Goan Siauw/Cap Go Meh dimana disajikan makanan lontong cap go meh. Selanjutnya tahun itu diisi dengan upacara-upacara tahyul, misalnya pada bulan ketujuh ada upacara Cioko dimana diberikan sesajian didepan rumah agar roh-roh jahat yang diberi cuti bebas sebulan di bulan itu tidak masuk ke rumah.
Jadi sama dengan tradisi pada umumnya yang selalu memiliki kandungan agama mistik (budaya tradisi religi), maka sikap kita bukannya menolak tradisi itu, tetapi bagaimana merayakan tradisi yang alamiah tanpa terseret pada penyembahan berhala dan tahyul mistik di dalamnya.
Tradisi budaya religi Cina/Tionghoa bersifat hedonistik dan individualistik, dimana rejeki dan keberuntungan dicari oleh masing-masing pribadi untuk dirinya sendiri dan kurang mempedulikan orang lain. Di sinilah umat Kristen bisa melakukan trasformasi ke arah kasih Kristus, dimana Yesus telah berkorban untuk menyelamatkan umat berdosa agar manusia bisa mewarisi hidup yang kekal. Budaya angpao yang bersifat ‘menerima’ perlu diubah menjadi budaya ‘memberi’ dengan kasih.
Kita tidak perlu percaya akan tahyul warna merah seakan-akan warna lainnya itu kalau digunakan bersifat merugikan atau bahkan mencelakakan, semua warna adalah sama dihadapan Allah sekalipun dalam kekristenan ada juga perlambangan warna yaitu putih melambangkan kesucian dan hitam melambangkan kejahatan, tetapi itu tidak berarti memakai pakaian putih menjadikan seseorang suci atau memakai pakaian hitam menjadikan seseorang menjadi jahat.
Bagi umat kristen baik hari dan bulan dan tahun semuanya baik dihadapan Allah, jadi kita tidak perlu mempercayai shio yang mengatur sifat-sifat manusia. Tuhan menyuruh Adam menguasai binatang dan memberi nama mereka, tetapi dalam penanggalan Cina/Tionghoa hewan-hewan itu kemudian dikultuskan seakan-akan sifatnya mempengaruhi sifat orang-orang yang dilahirkan pada tahun yang dilambangkan oleh hewan itu.
Umat kristen belajar bahwa keselamatan datang karena anugerah penebusan Kristus dan bukan karena usaha sendiri, tetapi Sincia/Imlek mengajar orang menyelamatkan diri sendiri melalui tahyul yang yang turun-temurun, melalui sesajen, pakaian berwarna merah, maupun tahyul menyapu rumah. Apalagi dalam Sincia/Imlek diminta bantuan memperbaiki nasib seseorang dengan persembahan makanan untuk Para dewa. Patung dewa-dapur bibirnya diolesi madu agar melaporkan yang manis-manis saja kepada Thian, demikian juga kepergiannya diiringi ledakan mercon agar Thian tidak mendengarkan laporan yang jelek. Hidangan kue keranjang yang lengket di mulut dan tenggorokan merupakan usaha manusia membungkam mulut dewa dapur yang berbicara jelek.
Adat-istiadat manusia tidak apa-apa selama itu bersifat alami dan tidak melawan perintah Allah, soalnya manusia sering mengikuti adat-istiadat turun-temurun dan melanggar perintah Allah. Padahal, dengan jelas Allah memerintahkan kita agar menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, agar menempatkan keselamatan kita di tangan anugerah Allah, dan agar tidak memberontak dengan menyembah ilah lain (dewa-dewi sesembahan masyarakat Cina/Tionghoa kuno). Dengan demikian kita dapat memasuki Sincia/Imlek dengan menyaksikan indahnya kehidupan Kristiani dan menjadikan momentum Sincia/Imlek untuk bersaksi kepada anggota keluarga mengenai kasih dan kebahagiaan dalam Kristus Yesus.
Salam Kasih dari Sekertariat www.yabina.org
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]