BETHLEHEM UNDER FIRE
Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan." Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya. (Lukas 2 : 10 14, LAI-TB, warna merah adalah penekanan penulis)
Pada tanggal 8 Januari 2010, penulis diundang untuk memimpin kotbah Natal keluarga besar kristen-katolik di perusahaan properti besar di Jakarta. Memang di bulan Januari umat Kristen masih ada yang merayakan Hari Natal untuk mengenang peristiwa di Bethlehem 2000 tahun yang lalu karena bulan Desember rupanya masih belum cukup menampung acara-acara Natal yang mendatangkan sukacita dan damai sejahtera itu sehingga masih ada saja yang merayakan kebahagiaan Natal pada bulan Januari.
Menarik menyaksikan tayangan TV berjudul Bethlehem Under Fire yang ditayangkan National Geographic baru-baru ini. Hanya hati terasa diiris ketika menyaksikan Bethlehem sekarang sudah tidak lagi mencerminkan ketidak takutan kesukaan pujian kepada Allah kemuliaan Allah dan damai sejahtera seperti yang disebutkan ayat pembuka diatas di hari Natal pertama, karena perang yang terus menerus melanda kota itu antara otoritas Israel dan milisi radikal Palestina.
Dahulu, orang Yahudi & Palestina penduduk kota Bethlehem, baik yang beragama Yahudi, Kristen maupun Islam, bila berbahasa Arab (sejak abad VII Bethlehem diduduki kerajaan-kerajaan Arab Islam dan penduduknya berbahasa Arab) mereka sama-sama menyebut, memuji dan memuliakan Allah Abraham/Ibrahim (Allah Arab adalah padanan Elohim Ibrani) dengan damai sekalipun memiliki aqidah/pengajaran yang berbeda mengenai Allah yang sama itu sesuai isi kitab suci masing-masing agama, dan mereka mengamalkannya dalam suasana persaudaraan. Namun sejak kemerdekaan Israel di tahun 1948 terlebih ketika terjadi perang 6 hari (1967) antara Israel dan negara-negara Arab, kondisi ini berubah drastis, karena perebutan kekuasaan atas kota Bethlehem dan kekayaannya yang melibatkan dua kelompok radikal Israel dan milisi Palestina, menyebabkan kota itu tercabik-cabik atas sentimen SARA yang berdarah dan berkepanjangan.
Kota Bethlehem sekarang bukan saja tercabik-cabik secara komunitas namun secara fisik juga tercabik-cabik dengan dibangunnya tembok pemisah oleh otoritas Israel yang membelah kota bersejarah Bethlehem dimana terletak gereja tertua dikota itu yang telah berumur 1700 tahun Gereja Kelahiran Kristus (The Church of the Nativity). Lebih tragis lagi kota Bethlehem ini sekarang menjadi semacam kota mati karena para peziarah kristen yang ke Israel terhalang tembok besar yang dibangun Israel sehingga sulit mengunjungi gereja kelahiran Kristus itu sedangkan bila mereka dapat masuk pun melalui berbagai pintu masuk lainnya, prosedurnya tidak mudah dan umumnya takut bila ketika mereka kesitu pecah konflik berdarah antara tentara Israel dan milisi radikal Palestina.
Tahun 2002 terjadi konflik besar di Bethlehem, dimana setelah banyak pembom bunuh diri milisi radikal Palestina melakukan teror di kota-kota Israel, tentara Israel menyerbu kota Bethlehem dimana banyak anggota milisi bertahan. Perang antara tentara Israel vs milisi radikal Palestina pecah dikota kelahiran Yesus itu dan ujung-ujungnya ketika milisi radikal Palestina terdesak karena kalah persenjataannya, sekitar 200 orang berlindung di gereja kelahiran Yesus Kristus itu.
Inilah momentum penting yang menunjukkan bagaimana Kristen dapat menjadi penengah dengan filosofi damai sejahtera dan kasih itu di antara dua kelompok radikal tentara Israel dan milisi Palestina, disatu sisi ada pihak yang mengemban filosofi mata-ganti-mata dipihak lain mengemban filosofi jihad.
Gereja kelahiran Kristus menghadapi dilema, bila mereka menerima kehadiran milisi, mereka bisa diserbu dan diduduki tentara Israel, namun bila mereka menolak memberi perlindungan, berarti milisi Palestina dibiarkan dibantai di luar gereja! Gereja itu cukup diberi hikmat oleh Roh Kudus, bahwa mereka menerima kehadiran milisi itu tetapi meminta agar tidak berperang dari dalam gereja, dan berusaha dengan tidak mengenal lelah dengan jalan diplomasi dengan meminta bantuan internasional untuk memecahkan krisis sensitif itu. Alhasil setelah beberapa hari dalam kondisi tegang yang luar biasa, akhirnya tercapai jalan damai, tentara Israel mundur dan milisi Palestina dibebaskan. Disinilah gereja Bethlehem ditempat dimana Kristus dulu dilahirkan kembali menjadi pemberita ketidak takutan kesukaan pujian kepada Allah kemuliaan Allah dan damai sejahtera.
Namun sayang, dibalik berita sukacita itu, ada berita dukacita! Ketika gereja kelahiran Kristus itu sudah bebas dari krisis konflik, ada tiga organisasi gereja yang memperbutkan hak pertama untuk memasuki gereja tua itu! Sungguh tragis, dibalik keberhasilan kesaksian external ternyata muncul kegagalan internal dimana antara organisasi-organisasi gereja kristen terjadi perebutan hak penguasaan atas gereja itu. Memang penyakit yang sering dihadapi otoritas gereja sepanjang masa adalah nafsu kekuasaan dan kekayaan (hak atas asset gereja dan potensi jemaat), padahal bagi jemaat umum dan umat kristen sendiri tidak ada masalah apakah mereka beribadat bersama-sama di gereja itu dengan liturgi yang berbeda-beda pula.
Ketika film The Da Vinci Code diputar di salah satu stasiun TV seputar hari Natal bulan Desember yang lalu, ada yang bertanya: Apakah yang bisa kita pelajari dibalik motivasi penulis Dan Brown dalam menghasilkan karya yang cenderung mengkritik gereja itu? Kita memang tahu dari film-film Dan Brown yang sudah dibuat seperti The Da Vinci Code dan Angels and Demons, bahwa sekalipun terlalu provokatif dan banyak diisi gambaran fiktif, Dan Brown ingin mengemukakan bahwa sebagai organisasi gereja, dibalik kotbah-kotbah mimbar yang disusun apik dan bernuansa damai sejahtera, sebenarnya secara internal banyak terjadi intrik-intrik dan perebutan kekuasaan dan asset gereja dikalangan para pejabat gerejawi tertentu.
Secara praktis hal itu memang bisa dilihat secara kasat mata di sekitar kita, seperti terjadi di Jakarta dimana ada sekolah Teologi yang diusir, dibalik itu ada gereja yang membangun gedung dengan theater mewahnya bahkan ada menara doa tertinggi di dunia yang mau menunjukkan supremasi organisai gereja tertentu tanpa sedikitpun memandang derita mereka yang terusir. Di balik banyaknya gereja-gereja dibakar, ada saja gereja kaya yang membangun gedung mewah dan bahkan ada deretan ruko dimana ada tiga gereja berderet tanpa saling berkenalan atau saling memberi maupun menerima, bahkan mereka bersaing memperebutkan pangsa jemaat yang sama. Banyak gereja masakini tidak menghadirkan kerajaan Allah melainkan menghadirkan kerajaan sendiri!
Mereka yang terlibat duduk sebagai pejabat gerejawi memang cenderung untuk mengidap superiority kompleks baik atas organisasinya maupun kelompoknya sendiri. Pernah ada dua anggota dari dua jemaat ingin menikah, dulunya kedua gereja itu bernanung dalam sinode yang sama kemudian berpisah secara organisasi. Pasangan ini memilih salah satu jemaat untuk melaksanakan upacara pernikahan, ternyata ada saja pendeta yang mempertanyakan kenapa tidak diberkati digerejanya tetapi mengalah pergi ke gereja lain? Alhasil waktu upacara berlangsung dua paduan suara dari dua gereja dimana kedua mempelai itu masing-masing menjadi anggotanya, sama-sama ingin meramaikan upacara penikahan gerejawi itu dengan paduan suara mereka. Kebetulan kedua paduan suara itu menyiapkan lagu yang sama dan keduanya sepakat bergabung dan dengan suara merdu bersama-sama menyanyikan lagu yang mengharukan kedua mempelai itu yangt sekarang menjadi satu keluarga. Peristiwa ini merupakan bukti bahwa bila di jemaat terjadi harmoni, sering kali di kalangan pejabat gerejawi tertentu timbul ke disharmonian yang menjadikan kekristenan terkotak-kotak ibarat paduan suara yang sumbang, padahal kalau mereka sehati bisa dihasilkan paduan suara yang menghasilkan suara merdu yang sejati seperti yang di dengar di Bethlehem ketika bayi Yesus dilahirkan dan seperti Bethlehem modern di tahun 2002 ditengah konflik berdarah milisi radikal Palestina dengan tentara Israel dimana gereja bisa menjadi institusi pendamai.
Marilah kita terus berdoa agar Roh Kudus memberi kita rasa ketidak takutan kesukaan pujian kepada Allah kemuliaan Allah dan damai sejahtera. Agar kita dapat menjadi surat-surat Kristus yang penuh kesaksian ditengah-tengah kelompok-kelompok radikal yang sering memaksakan kehendak mereka atas pihak lain seperti yang sudah pernah terjadi dalam kehidupan gereja kelahiran Kristus di Bethlehem itu.
Amin.