RENUNGAN Januari 2000
TRAGEDI AMBON
Tepat setahun yang lalu, sehari setelah usainya 'Jaringan Doa Nasional' menggelar 'Doa syafaat Nasional' selama sebulan di seluruh Indonesia, Ambon di harian Idulfitri, 19 Januari 1999, mengalami ledakan kerusuhan yang melibatkan pertumpahan darah antara penduduk yang beragama Kristen dan yang beragama Islam. Memang kerusuhan itu sudah secara sporadis terjadi sebelumnya di beberapa desa, tetapi secara besar-besaran baru meletus sebagai 'perang' pada tanggal itu dan sekalipun berkali-kali dilakukan usaha perdamaian termasuk menghidupkan tradisi damai 'pela gandong', kenyataannya selama setahun perang antara kelompok yang berbeda agama itu belum juga usai dan menghancurkan puluhan gereja dan mesjid dan ribuan toko dan rumah baik di kota Ambon di Maluku Selatan maupun merembet ke Maluku Utara ke pulau Halmahera, dan telah mengakibatkan ribuan orang meninggal dan luka-luka, dan puluhan ribu orang mengungsi. Sebuah tragedi berdarah yang ditengarai bernuansa SARA yang kental.
DAYA TARIK REMPAH-REMPAH
Karena nuansa SARA yang kental khususnya 'Agama' maka perang di Ambon telah menjadi perang emosi antara para partisan 'Islam' maupun 'Kristen' diseluruh Indonesia maupun mancanegara bahkan diramaikan pula oleh pemberitaan-pemberitaan pers maupun internet yang cenderung lebih dekat dengan emosi salah satu agama yang mereka beri simpati. Untuk menghayati apa yang berada di balik peristiwa berdarah yang tidak kunjung usai itu kita harus melihat sejarah jauh sebelumnya dimana Maluku yang dikenal sebagai 'emas hijau' karena kelimpahan produksi rempah-rempahnya terutama cengkih ternyata telah mengakibatkan derita berkepanjangan bagi rakyatnya, lebih-lebih dengan adanya penjajahan maupun datangnya misi agama bersamaan dengan para pedagang asing yang masuk ke situ.
Daya tarik 'seribu pulau' rempah-rempah ini sudah tercium jauh hari sebelumnya oleh para saudagar pelaut Cina sejak abad ke-VII dimana mereka kerap berkunjung ke kepulauan ini. Ketika Sriwijaya dari Sumatera berjaya Malukupun dikuasainya dan pada abad ke-XII dikuasai oleh kerajaan Majapahit dan perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh kerajaan Jawa. Tetapi sebelum itu daya tarik emas hijau itu sudah tercium sampai jauh ke Timur Tengah dan berkunjunglah saudagar-saudagar Arab, Persia dan Gujarat pada abad ke-XI, dan kemudian oleh pedagang-pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik.
Sejalan dengan perdagangan yang dimotori oleh orang-orang Arab, Persia, Gujarat, Aceh dan Malaka yang umumnya beragama Islam, penyebaran agama Islam terjadi dalam proses perdagangan, sehingga secara berangsur-angsur peng'Islam'an suku-suku kafir terjadi sejak abad ke-XI, dan pada masa pemerintahan Sultan Ternate Gapi Buta (1486-1500) sultan masuk Islam maka peng'Islam'an berjalan lebih cepat baik di Ternate maupun kemudian di pulau-pulau lainnya dan terutama menyebar di daerah-daerah pesisir. Pada abad terakhir ini lebih-lebih setelah berdirinya negara kesatuan datanglah pedagang-pedagang dari Bugis, Buton dan Makasar yang ikut menyebarkan agama Islam.
Maluku bukan hanya dikenal sebagai kepulauan 'seribu pulau' tetapi juga kepulauan 'seribu suku', soalnya begitu banyak suku-suku yang saling terisolir tinggal di sana yang umumnya masih menganut animisme. Karena itu, dapatlah dimaklumi kalau kemudian peng'Islam'an terjadi dari satu suku ke suku lainnya, dan umumnya penduduk Maluku terpisah-pisah dalam kampung / desa yang menganut agama tertentu.
KEDATANGAN PARA PENJAJAH
Daya tarik 'emas hijau' juga memikat negara-negara Eropah. Portugis masuk ke Maluku pada 1521 dan sejalan dengan itu terjadi peng'Katolik'an (1540-1605) karena adanya misi Roma Katolik yang ikut datang bersama tentara Portugis. Setelah beberapa tahun Portugis berjaya di kepulauan ini, datanglah tentara Inggeris ke Ternate (1577) dan Belanda ke Ambon dan Tidore pada tahun 1605 yang juga membawa misi Protestan sehingga terjadi juga peng'Kristen'an (protestan) disana, dan berkembanglah gereja-gereja Kristen dibawah gereja VOC selama lebih dari dua abad (1605-1815). Karena situasi inilah maka agama Kristen kemudian mendapat label yang kurang enak yaitu sebagai 'agama Belanda' atau 'agama Penjajah.'
Para penjajah ternyata saling berebut daerah dan rempah-rempah dengan cara apapun termasuk saling membantai dan terjadi perang dahsyat usir-mengusir antara Belanda dan Portugis, bahkan di tahun 1623 terjadi perang dahsyat antara Belanda dan Inggeris yang mendatangkan korban ribuan orang terbunuh, pembantaian ini dikenal sebagai 'Amboyna Massacre'. Perebutan kekuasaan antara Inggeris dan Belanda terjadi beberapa kali dan setelah diselingi pemerintahan Inggeris yang singkat (1814-1817) kekuasaan atas kepulauan Maluku jatuh kembali ke Belanda.
Dengan adanya banyak suku di Maluku maka sekarang distribusi penganut agama terjadi berdasarkan kampung/desa yang di zaman Belanda disebut sebagai 'Negorij' dan bila ada satu suku yang anggotanya berpihak pada agama yang berbeda, biasanya terjadi pemisahan menjadi 'desa Islam' dan 'desa Kristen.' Pembagian demikian bahkan diperkuat oleh politik 'devide et impera' Belanda dalam menghadapi penduduk pribumi khususnya yang masih di bawah kesultanan yang melawan pemerintahan penjajah. Dalam kondisi demikian, biasanya desa-desa Kristen lebih condong berpihak kepada Belanda sehingga banyak di antaranya mendapat kesempatan lebih baik dalam pendidikan, diangkat sebagai pegawai pemerintah, atau menjadi tentara, sedang desa-desa 'Islam' cenderung berpihak kepada kesultanan yang enggan berkooperasi dengan penjajah. Bibit-bibit eksklusivisme ini ternyata menjadi malapetaka di kemudian hari.
Gereja di Maluku kemudian hidup kembali setelah kedatangan usaha Pekabaran Injil NZG yang bekerjasama dengan Gereja Protestan (1815-1864) dan kemudian berdiri di bawah Gereja Protestan (1864-1935) sebelum kemudian dipimpin oleh orang-orang Maluku sendiri dalam Gereja Protestan Maluku (GPM). GPM dapat dikata adalah gereja Kristen yang mempunyai sejarah yang paling tua di Indonesia. Sejak itulah Gereja di Maluku dengan kekuatan SDM sendiri dan bantuan gereja Belanda melakukan pengembangan di Maluku.
Agama Kristen sudah berakar dibeberapa daerah Maluku, akan tetapi tunas-tunas yang baru bertumbuh itu sangat kurang terpelihara dan berkembang, sehingga kekristenan mereka tercampur dengan pengaruh agama asli yang animistis, adat-istiadat nenek moyang yang kuat serta tahyul-tahyul. Sejak lama hampir tidak ada pemeliharaan rohani di kalangan jemaat Kristen, bahkan sejak tahun 1801 tidak ada lagi pendeta Belanda yang melayani di sana sampai tahun 1816 dengan kedatangan pekabar Injil J. Kam yang dijuluki sebagai 'Rasul Maluku.' Sekalipun dijuluki sebagai rasul, sebenarnya bukan Kam yang merintis pembentukan gereja Maluku tetapi ialah yang melakukan reformasi keadaan gereja yang mengecewakan dan hampir runtuh itu.
Sinyalemen kekristenan sebagai agama 'Belanda' tidaklah salah karena memang hubungan gereja dengan pemerintah sangat erat sekali, para pendeta dan pembantunya diangkat sebagai pegawai pemerintah Belanda, bahkan ketika di tahun 1885 didirikan sekolah guru Injil di Ambon, guru-guru Injil itupun diangkat sebagai pegawai pemerintah. Baru pada tahun 1935 gereja Maluku berdiri sendiri sebagai Gereja Protestan Maluku (GPM). Namun dalam tata gereja yang dibuat yang masih sama dengan tata gereja Gereja Protestan yang berkiblat ke negeri Belanda, kekristenan masih menjadi gereja bangsa, anak-anak yang belum dibaptiskan maupun yang bukan anggota gereja diakui sebagai anggota gereja. Disini keanggotaan gereja menjadi identik dengan kebangsaan/kesukuan, jadi gereja Maluku bukan saja menjadi 'gereja bangsa' tetapi juga menjadi 'gereja pemerintah' dan situasi yang sifatnya pengaturan dari atas itu kemudian membuka peluang menjadi 'gereja pendeta.'
Tradisi ternyata sangat memainkan peranannya dalam gereja Maluku bahkan tradisi itu dianggap sebagai bagian dari tradisi Kristen sehingga ada julukan bahwa kekristenan sudah 'diambonisasikan' karenanya dalam gereja Maluku terjadi 'sinkretisasi' dimana tahyul dan kekafiran tercampur dalam kekristenan. Disatu sisi tradisi memang memberi perekat kuat untuk kesatuan sebagai gereja bangsa/suku tetapi tradisi juga menjadi penghalang perkembangan gereja.
Disamping hambatan dari tradisi, hambatan juga terjadi dari luar khususnya yang terjadi di Halmahera. Sejak ditinggalkan Portugis/Spanyol di tahun 1630 dan dikuasai Belanda memang jemaat Kristen di Halmahera kurang mendapat pemeliharaan sehingga merosot sekali dan baru pada tahun 1865 badan pekabaran Injil Belanda UZV mulai bekerja disini. Tetapi berbeda dengan di Ambon, di Halmahera kesulitan politik cukup besar karena pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang berkuasa atas suku-suku Halmahera, terutama Sultan Ternate yang memanfaatkan kekuasaan untuk meng'Islam'kan daerah itu mengingat bahwa loyalitas orang Kristen lebih tertuju pada penjajah, apalagi soal fanatisme agama ikut pula berperan. Orang Islam yang masuk Kristen mengalami hambatan keras, sebaliknya orang Kristen yang mau masuk Islam juga tidak direlakan oleh gereja bangsa. Bibit-bibit konflik SARA itu sudah terjadi sejak berabad-abad ternyata berlanjut sampai kini.
Kekristenan mulai meningkat kembali di akhir abad ke-XIX ketika pekabaran Injil dimulai di Tobelo dipantai timur Halmahera ketika pada tahun 1896 mereka berontak dan melawan sultan Ternate, dan ketika ada raja kafir yang dibaptis dua tahun kemudian maka segenap suku dibawah kekuasaannya kemudian di'kristen'kan, maka kembali terjadi 'kekristenan bangsa' dimana orang menjadi kristen karena mengikuti rajanya apalagi dengan kurangnya tenaga pekabar Injil sehingga langka adanya pemeliharaan rohani dapatlah dilihat bahwa kekristenan kembali berbentuk kekristenan tradisi yang sinkretis, apalagi dengan adanya para pekabar Injil dari Ambon maka kekristenan sinkretis yang sudah diambonisasikan itu kembali menjadi ciri jemaat di Tobelo.
KEMERDEKAAN RI
Dengan adanya sejarah kekristenan yang kurang menggembirakan itu Sejarah Indonesia memasuki kemerdekaan di tahun 1945. Kurang harmonisnya para Sultan dan negeri kesultanan mereka yang umumnya beragama Islam dengan pemerintah Belanda menyebabkan pihak ke Sultanan menjadi tulang punggung perlawanan ketika Indonesia berusaha memerdekakan diri, dan karena hubungan emosional ke'agama'an dapat dilihat bahwa kemudian umumnya orang-orang Maluku Kristen lebih memihak Belanda sekalipun ada juga yang memihak Indonesia. Itulah sebabnya ketika Indonesia merdeka kemudian ada kelompok Ambon-Kristen yang membentuk Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan perlawanan sekitar tahun 1950-1953 kepada Pemerintah RI dan ingin memisahkan diri dan ketika ditumpas kemudian berbasis di negeri Belanda.
Sebenarnya perbedaan agama tidak menjadi faktor yang utama di Maluku khususnya di Ambon karena umumnya sekalipun berbeda agama dan tinggal di desa terpisah, suku-suku Ambon umumnya masih mempunyai tali kekeluargaan dan persaudaraan yang meredam sikap permusuhan sehingga ada adat persatuan yang disebut sebagai 'Pela-Gandong', tetapi situasi ini berubah baik secara agama, politik maupun ekonomi ketika datang para pendatang dari suku-suku di luar Maluku dalam jumlah besar. Situasi yang kompleks dan heterogen inilah yang telah mewarnai kehidupan kebangsaan, politik maupun ekonomi di Maluku, apalagi dengan adanya program Transmigrasi yang mendatangkan para pendatang yang umumnya beragama Islam seperti dari Bugis, Makasar, Buton, Jawa dan Madura, maka tensi SARA makin potensial untuk meletus.
Situasi bertambah parah ketika di zaman kemerdekaan mereka yang beragama Islam mulai memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan sehingga mulailah terjadi perebutan pengaruh dalam bidang ketentaraan maupun kepegawaian negeri. Di bidang ekonomi kelompok Islam yang selama ini tersingkir di bawah pemerintahan Belanda sekarang mulai bangkit dan menguasai ekonomi dan tanah-tanah Ambon dan sekitarnya. Jadi konflik di Maluku dan Ambon khususnya bukan sekedar dipicu soal SARA tetapi lebih karena persoalan politis dan ekonomi yang merupakan warisan zaman kolonial, lebih-lebih orang-orang Maluku terutama Ambon terkenal bertemperamen keras. Temperamen ini bukan saja menjadi duri bagi hubungan yang beragama Kristen dan Islam tetapi bahkan Ambon pernah mengalami konflik berdarah yang melibatkan yang beragama Kristen Protestan dan yang Katolik yang menimbulkan korban ribuan orang. Watak keras dan agama tradisi membawa sebagian orang Ambon menjadi tentara dan preman.
KONFLIK TAHUN 1999
Bibit-bibit konflik yang sebenarnya tidak potensial karena melibatkan keluarga sendiri sekarang membesar karena datangnya para pendatang dari luar. Ketika di akhir tahun 1998 terjadi peristiwa 'Ketapang' yang disebabkan dicetuskan oleh perebutan areal parkir yang melibatkan preman yang banyak berasal dari Ambon yang merembet soal SARA dimana belasan gereja dibakar massa, maka pemerintahan DKI memulangkan ratusan preman yang berasal dari Ambon kembali ke Ambon dan tidak mustahil mereka ini punya potensi kuat menjadi provokator. Politik balas dendam inilah yang kelihatannya menjadi pemicu kerusuhan yang berkepanjangan yang kemudian menjurus pada isu SARA karena provokasi terjadi justru di harian Idul Fitri, 19 Januari 1999, yang jelas membangkitkan sentimen agama.
Kelihatannya konflik sukar diatasi karena campur tangan orang-orang di luar Ambon. Disatu segi beberapa kelompok Islam garis keras dari luar Ambon ikut memanasi situasi dengan mengobarkan fanatisme agama dan menjadikan konflik yang multidemensional penyebabnya itu sekedar 'perang jihad' antar agama, ini didukung pers yang bersifat partisan yang cenderung membesar-besarkan data korban dipihak yang dibelanya. Kita perlu menyadari bahwa sekarang di kalangan Islam ada sayap 'radikal' yang sekalipun sedikit pendukungnya yang terbukti dalam pemilu, tetapi mereka sangat vokal dan radikal, dan 'main hakim sendiri' seperti dalam kasus pembakaran gereja, pembumi hangusan 'Doulos' maupun tempat-tempat yang dianggapnya maksiat. Harus disadari bahwa mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan karena itu bila mendiskreditkan mereka janganlah sampai kita mendiskreditkan 'Islam' di Indonesia secara keseluruhan. Umat Kristen perlu berdialog dan bekerjasama dengan umat Islam yang moderat (seperti NU misalnya).
Dipihak lain, umat Kristen ada juga yang ikut memanaskan situasi dengan melontarkan berita-berita via e-mail yang cenderung bersikap partisan yaitu 'mengecilkan kesalahan sendiri' dan 'membesarkan kesalahan lawan', termasuk pers Barat yang cenderung pro-Belanda dan pro-Kristen. Kita harus sadar bahwa umat Kristen di Ambon tidak mungkin sedikit salahnya karena fakta menunjukkan bahwa jumlah pengungsi yang non-Kristen jauh lebih besar jumlahnya dari pengungsi yang non-Kristen. Kelompok garis keras dalam Kristen ini juga perlu kita peringatkan. Umat Kristen secara keseluruhan bukanlah umat yang radikal sebab di Indonesia selama ini sudah ada lebih dari 500 gereja dibakar tetapi tidak satupun jemaatnya yang melawan (kecuali di Ambon dan Timtim), tetapi bila kebetulan ada suku yang impulsif beragama Kristen tradisi tidak mustahil bisa dihasilkan orang 'Kristen' demikian yang sama radikalnya (ingat Irlandia dan Serbia). Karena itu, Pekabaran Injil tidak boleh hanya berputar sekitar ibadat dan pertobatan secara vertikalis tetapi harus terus bertumbuh untuk melakukan kehendak Bapa di Sorga.
Faktor politik juga kental disini, bukan saja peran RMS yang berbasis di negeri Belanda yang ikut berperan dan menggunakan momentum kemerdekaan Timtim sebagai harapan untuk memperjuangkan kemerdekaan RMS (Tempo 26 Desember 1999 mencatat komentar presiden RMS di negeri Belanda yang mengaku menyumbang dana untuk Ambon), juga pergolakan politik di pusat Pemerintahan di Jakarta ikut menjadikan 'perang Ambon' sebagai komoditi pula. Tidak dapat disangkal bahwa teori 'pengalihan perhatian' juga berperan di Ambon. Sudah diketahui umum bahwa ada provokator 'bayaran' yang berperan dalam kerusuhan-kerusuhan di Indonesia belakangan ini, seperti dalam penculikan mahasiswa, kerusuhan kota-kota sampai pembantaian para ulama Jatim oleh para 'ninja'. Tidak mustahil ada kekuatan demikian yang tidak rela diadili di Jakarta kemudian ikut meng'obok-obok' Ambon untuk mengalihkan perhatian hukum dari dirinya.
Keberpihakan aparat juga menjadi isu yang tidak mudah diatasi. Ikatan emosional dan SARA antara aparat yang kebetulan bertugas dengan situasi lapangan sangat berperan sehingga bila kebetulan ada tentara yang beragama 'Kristen' atau yang 'keluarganya' meninggal maka ada kecenderungan ia akan membela phak ini, sebaliknya juga bila ada tentara yang beragama 'Islam' dan melihat mesjid atau rumah orang-orang yang seagama dibakar, tentu kemungkinan besar ia akan ikut ber-empati kepada pihaknya itu, apalagi dengan adanya jargon 'Ukhuwah Islamiah sempit' yang sering menjadi komoditi politik. Kalau ada umat islam dibunuh di Palestina maka dibangkitkan emosi massa bahwa seluruh umat Islam Indonesia ikut menderita dan harus melawan Israel dan Kristen (padahal Jaser Arafat isterinya beragama Kristen), tetapi kalau ada umat Islam di Szechnya dibantai maka diam saja dan tetap berbaik hati dengan Rusia (yang menurut Alwi Shihab notabene komunis yang Atheis). Kita harus sadar bahwa memang Kosovo (yang Islam) dibantai oleh Serbia (yang Kristen) tetapi perlu disadari bahwa Serbia (yang Kristen) dihakimi oleh NATO yang dotabene mayoritas terdiri dari negara-negara yang secara tradisional Kristen.
Soal Transmigrasi juga adalah masalah peka yang ternyata menimbulkan ekses SARA dibanyak daerah pada masakini. Usaha transmigrasi yang idenya untuk pemerataan penduduk ternyata kemudian menjadi duri bagi daerah-daerah lokasi transmigrasi. Sudah umum bahwa para pendatang umumnya lebih ulet dibanding penduduk pribumi daerah yang sudah turun-temurun tinggal di suatu daerah, akibatnya ekonomi para pendatang itu cenderung lebih maju dibandingkan ekonomi penduduk pribumi dan ini menimbulkan kecemburuan sosial-ekonomi yang besar. Konflik dimana penduduk pribumi yang mayoritas merasa terpojokkan dan dirugikan kemudian menghasilkan ekses penolakan mereka pada warga pendatang, konflik ini sudah ikut menghasilkan pertumpahan darah dan pengungsian besar-besaran. Kita melihat bahwa dalam kerusuhan di Kalbar konflik demikian menyebabkan belasan ribu pendatang terpaksa mengungsi, demikian juga di Aceh dimana puluhan ribu pendatang sekalipun seagama bisa terusir dari lokasi transmigrasi. Belum lagi kalau kita lihat konflik berlatar belakang transmigrasi di Timtim, Irian maupun sekarang di Ambon.
Berdasarkan beberapa butir di atas, umat Kristen dihimbau untuk berhati-hati dalam memberikan pernyataan atau membantah pernyataan soal Ambon, agar maksud baiknya tidak malah membesarkan api yang membara (kalau salah menyiram bukan dengan air tetapi dengan bensin). Kita perlu mendoakan para pemimpin Kristen yang duduk di pemerintahan maupun di DPR agar mereka tidak berdiri di atas fanatisme golongan tetapi berani berdiri di atas kebenaran dan ikut berusaha dalam meneduhkan konflik, dan marilah kita berdoa agar kebenaran yang menang dan agar yang salah (baik dari yang Kristen maupun Islam) dapat diadili dan yang menjadi korban (baik dari Kristen maupun Islam) dapat ditolong lepas dari penderitaan mereka, agar 'dilihatnya kebajikanmu dan dipermuliakan Bapa yang di Sorga.' Namun 'doa' saja tidak cukup seperti 'doa nasional' yang seakan-akan menjadi doa pengantar kerusuhan yang melibatkan dosa orang Kristen sendiri. Umat Kristen sudah harus peka dan membuka wawasan untuk juga belajar masalah-masalah sosial, ekonomi, politik maupun hukum sebagai bagian dari kehidupan Kristennya sehingga menjadi utuh.
A m i n.
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]