RENUNGAN Februari 2000
TAHUN BARU IMLEK
Tahun baru Imlek (Sin Chia) bagi orang Tionghoa adalah bagian dari budaya leluhur, dan bagi masyarakat Tionghoa budaya bukan sekedar bagian dari produk interaksi sosial tradisi turun temurun tetapi dalam masyarakat premordial Tionghoa yang sangat kental mempercayai animisme dan pantheisme (penyembahan alam), maka tahun baru bukan sekedar ritual tahunan bulan (lunar) dan secara budaya saja tetapi budaya yang sekaligus menyatu dengan kepercayaan (agama) akan roh-roh nenek moyang, mahluk halus dan kehidupan sesudah mati (reinkarnasi) dan disebut budaya religi.
Upacara Tahun Baru berkisar pada penyembahan di depan meja sembahyang pada dewa Dapur atau Toa Pe Kong dapur (Ciao Kun Kong) yang dianggap sebagai penunggu rumah dan pemelihara dapur. Seminggu sebelum Imlek, sudah dilakukan upacara penyembahan dewa dapur karena dipercaya bahwa dewa dapur akan menghadap Thian (Penguasa Langit) untuk melaporkan keadaan keluarga yang dijaganya, karena itu dalam suasana ini biasa mulut patung dewa dapur diolesi madu dan dibakar hio wangi agar yang dilaporkan dewa dapur hanya yang manis-manis saja dan berbau harum. Bukan hanya itu, disediakan juga manisan pelakat gigi yaitu moci dan kue keranjang dengan maksud agar dimakan dewa dapur dan membuatnya sulit membuka mulut untuk melaporkan yang jelek, bahkan juga dibakar petasan agar dewa dapur cepat kembali dan pada saat melaporkan kepada Thian laporannya tidak terdengar karena ramainya petasan.
Khusus pada malam sebelum Imlek, pada tengah malam dibakar hio (dupa) berbau harum sebagai bagian upacara penyembahan dewa dan agar menyenangkan roh-roh nenek-moyang. Ini disebut 'Sembayang Tahun Baru' yang biasa dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja sembayang tempat menyimpan abu nenek moyang atau bagi yang tidak memelihara dapat membuat meja sembayang sementara di depan pintu. Sembayang ini juga disebut sebagai sembayang 'Sam Seng' atau sembayang pengorbanan 'tiga hewan' yaitu biasa ditiru ritus pengorbanan darah tiga hewan yaitu babi, ayam dan ikan bandeng. Dalam sembayang 'Ngo Seng' ditambahkan bebek dan kepiting.
Pada hari Imlek biasa dibagikan amplop merah berisi uang 'Ang Pao' yang melambangkan rejeki, jadi orang tua memberikan rejeki kepada yang muda. Warna merah dalam kepercaan Tionghoa melambangkan rejeki, dan pada hari Imlek selama tiga hari tidak diperbolehkan untuk menyapu rumah dan mengeluarkan kata-kata kotor (sesudahnya boleh?). Pada hari Imlek seluruh keluarga mengucapkan 'Gong Xi Fa Cai' yang artinya mengucapkan selamat dan bahagia.
Pada hari keempat setelah Imlek, dipasang petasan dalam jumlah banyak untuk menyambut turunnya dewa dapur dari langit dan selain disamput dengan petasan, orang-orang Tionghoa mengundang 'Barongsai' dan 'Bilek Hud' untuk maksud ke rumah mereka. Barongsai dipercaya sebagai dapat mengusir kuasa kegelapan yang ada dalam rumah mereka, karena itu biasanya barongsai diajak menari-nari memasuki setiap ruang yang ada di dalam rumah. Jauh sebelum barongsai dimainkan, barongsai sudah diberi sajian dan disembayangi dengan lilin dan pembakaran hio. Barongsai melambangkan binatang pujaan orang Tionghoa, simbiosa singa dan naga yang dianggap sebagai pembawa pertolongan, pengharapan serta keselamatan pada manusia dan rumah tangganya, dan digunakan sebagai perisai untuk mengusir roh-roh kurang baik (sha-chi). Menurut Xie Xuanjing dalam buku 'Filosofi Budaya' dikatakan bahwa "Mitologi naga adalah suatu kesempatan bagi manusia untuk menjadikan mahluk non-manusia sebagai obyek penyembahan."
Pada malam tanggal 14 dan 15 sesudah Imlek, dirayakan pesta 'Goan Siao yang di Indonesia lebih dikenal sebagai pesta 'Cap Go Meh' (hari ke lima belas).
Bagaimana umat Kristen melihat Imlek dalam terang firman Tuhan? Dalam hal Imlek, khususnya orang Tionghoa yang telah menjadi Kristen perlu membedakan antara 'merayakan' Imlek dan 'menghadiri' peringatan Imlek. Merayakan Imlek artinya kita terlibat langsung dalam upacara Imlek seperti misalnya sujud dan sembahyang dengan dupa di depan meja sembahyang pada Toa Pe Kong dapur dan tengah malam sebelum Imlek membakar hio (dupa) sebagai ekspresi penyembahan dewa dan menyenangkan roh-roh nenek-moyang dalam 'Sembayang Tahun Baru' yang dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja sembayang tempat menyimpan abu nenek moyang, apalagi kalau mengikuti sembayang 'Sam Seng' (sembayang pengorbanan 'tiga hewan') yang adalah ritus pengorbanan kafir.
Tidak ada larangan bahwa seorang Tionghoa yang menjadi Kristen tidak boleh 'Menghadiri peringatan Imlek' yang tentu berbeda dengan ikut merayakan upacaranya. Seseorang yang telah menjadi Kristen bisa saja hadir dalam pertemuan keluarga di hari Imlek karena disitu berkumpul anggota keluarga yang belum Kristen dan masih merayakan upacara Imlek, dan menjadi kesempatan reuni keluarga. Tentu seorang Kristen tidak perlu mengikuti upacaranya yang bisa mendukakan Roh Kudus di dalam kita. Soja kui didepan meja sembahyang jelas bukan kebiasaan Kristen demikian juga soja kui didepan orang tua perlu disudahi karena kita hanya menyembah Tuhan saja. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah bahwa bagi seorang Kristen Tionghoa ia sebenarnya dapat mengasihi orang tuanya sepanjang tahun, karena itu bila dilihat kasihnya itu oleh orang tua, bila ia tidak soja kui pada hari Imlek tentu tidak menjadi masalah. Kasih yang tulus dan menerus secara Kristiani lebih berarti daripada tata-cara budaya sembah setahun sekali.
Menghadirkan barongsai atau mengundang barongsai di lingkungan kita harus dibedakan dengan hanya melihat barongsai di TV misalnya. Kita harus menyadari bahwa bagi yang merayakan termasuk yang memainkan, Barongsai bukan sekedar tarian akrobatik tetapi merupakan tarian religi yang berbobot mistik dan okultis. Sumber-sumber ahli masalah budaya cina sendiri mengatakan bahwa:
"Dalam pemujaan dan dalam upacara-upacara magis yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan religi, banyak bentuk simbol dianggap mempunyai daya misterius yang mempengaruhi orang. Daya ini adalah daya magis … Simbol-simbol religi juga bisa ampuh karena simbol-simbol ini dalam dirinya mempunyai kemampuan untuk mengundang roh dan memerintah roh tersebut … Beberapa simbol memang benar mempunyai daya magis … Singa dipercaya sebagai lambang dan berkah dan juga untuk mengusir pergi pengaruh jahat dengan mendatangi rumah-rumah dan kantor-kantor. Tarian ini disertai dengan pukulan tambur dan gembreng serta mercon untuk mengusir roh jahat (Ong Hean Tat, Simbolisme Hewan Cina, hlm.5-7, 234). .
Jelas bahwa dalam iman Kristen tidak dipercaya adanya dewa-dewi dan penyembahan kepada roh nenek moyang bukan kehendak Tuhan, apalagi kalau manusia mengharapkan figur 'naga' sebagai simbol juruselamat, karena hanya ada satu juruselamat yaitu Tuhan sendiri yang menjelma menjadi manusia 'Yesus Kristus.' Karena itu, pertunjukan naga (liong) atau ekspresinya dalam bentuk 'barongsai' tidak lain adalah ekspresi 'penyembahan roh-roh' yang perlu dihadapi dengan kritis oleh umat Kristen, apalagi kalau menghadirkan Barongsai dalam lingkungan Kristen sebab kita tahu bahwa fungsi barongsai adalah 'mengusir' roh-roh kegelapan sedangkan kepercayaan itu sendiri bagi orang Kristen sebenarnya adalah 'kegelapan' juga. Kita tahu bahwa pertunjukan barongsai bukan sekedar seni tari atau bagian budaya saja sebab dalam tradisi Tionghoa, budaya dan agama menjadi satu karena merupakan budaya. Itulah sebabnya mempertunjukkan barongsai dalam lingkungan Kristen (di rumah, gereja atau kampus sekolah dan Universitas Kristen) merupakan penyangkalan dari hakekat iman Kristen yang diemban keluarga, jemaat, dan kampus Kristen dan dapat mendukakan 'Roh Kudus Tuhan.'
Bagaimana sebaiknya kita menghadapi tradisi budaya setelah kita percaya? Tradisi budaya ada yang baik tetapi ada yang berlawanan dengan iman Kristen. Rasul Paulus kepada umat yang telah menerima Kristus menasehati agar : "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kol.2:8).
Demikian juga Yesus mengkritik umat Yahudi dan berfirman : "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." (Mar.7:6-8).
Jadi, ada tradisi yang baik yang tetap dapat kita ikuti tetapi ada tradisi yang tidak perlu kita ikuti bila ternyata itu tidak sesuai dengan kehendak Allah
Dalam hubungan dengan dirayakannya kembali Imlek, kembali bangun 'semangat primordial tradisi-budaya' yang beranggapan bahwa 'Tiongkok adalah Negara Tengah' dan 'Orang Tionghoa adalah bangsa pilihan dewa' sehingga negara-negara lain dan orang-orangnya dianggap sebagai pinggiran. Sebagai konsekwensinya tradisi-budaya Tionghoa dianggap sempurna dan terbaik. Faktanya banyak sekali tradisi-budaya yang justru menghancurkan ke'tionghoa'an itu sendiri sehingga pemerintahan radikal 'Komunis' merasa perlu menggelar 'revolusi kebudayaan'. Mereka yang pernah berkunjung ke Tiongkok akan sadar bahwa kemelaratan dan keterbelakangan mayoritas rakyat banyak terjadi karena ikatan tradisi-budaya yang membelenggu.
Dalam masyarakat Tiongkok sampai saat ini, banyak sekali bayi perempuan dibunuh karena kepercayaan bahwa perempuan adalah Yin yang inferior dari Yang dan karena itu pula kaki para perempuan dulu dipingit agar tidak kabur. Banyak pembangunan terhalang karena keyakinan tradisi Fengshui dan banyak perkawinan hancur karena prasangka 'shio'. Tradisi 'angpao' kepada sesama dan juga kepada para dewa dan roh nenek-moyang untuk menyenangkan agar tidak mengganggu kehidupan sendiri dan falsafah 'jalan tengah' telah menyuburkan praktek 'sogok menyogok' yang benar-benar merusak tatanan sosial-budaya dan HAM di Tiongkok (ini jelas membuat para pengusaha Tionghoa lebih luwes dan sukses). Memang harus diakui ada beberapa etik tradisi-budaya Tionghoa yang kelihatannya mendorong persatuan di kalangan pengusaha tertentu, tetapi harus disadari bahwa banyak etik tradisi-budaya Tionghoa yang menumbuhkan dominasi raja terhadap rakyatnya, suami terhadap isterinya, nenek-moyang yang telah mati diberi sesajen dan kuburannya dibangun mahal tetapi tetangga miskin diacuhkan, bahkan untuk mempertahankan suatu dinasti raja ratusan ribu rakyat dikorbankan untuk membangun 'The Great Wall'. Banyak pengusaha Tionghoa ditipu mitranya di Tiongkok ketika mereka mencoba untuk berdagang dengan mereka.
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kebangunan 'empat-macan Asia' didorong tradisi-budaya Tionghoa karena negara-negara itu umumnya menganutnya. Argumentasi ini lemah karena sudah ribuan tahun etik tradisi-budaya ini digelar tetapi umumnya masyarakatnya melarat, 'uang' dan 'hokkie' sangat dipuja sehingga menimbulkan jurang kaya-miskin bahkan orang tua atau suhu bisa dihianati dan dibunuh anak atau murid demi 'uang'. Tradisi budaya Tionghoa harus diakui banyak juga mengandung intrik-intrik, sogok menyogok dan tahyul (ini terlihat jelas dalam cerita silat). Baru setelah membuka diri datangnya 'etik Barat' maka empat-macan Asia itu bangun.
Orang Tionghoa yang telah menjadi Kristen diharapkan dapat menjadi 'garam' bagi sesamanya orang Tionghoa yang masih terikat praktek-praktek tradisi-budaya yang tidak benar apalagi tidak menurut Kristus. Misalnya dalam menghadapi tradisi 'angpao' yang dibungkus 'kertas merah' yang melambangkan rejeki (berkat) dimana orang tua memberikannya kepada anak cucunya. Bagi anak-cucu yang beriman Kristen perlu budaya ini diterangi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa 'Terlebih berkat memberi daripada menerima' dengan kata lain anak dibiasakan untuk memberi kepada orang tuanya bukan hanya pada hari raya tetapi setiap saat diperlukan atau ada yang bisa diberikan sebagai ungkapan kasih seorang anak, sehingga orang-orang tua tradisional akan melihat 'kebajikan kita dan dipermuliakan Bapa di sorga.' Hidup kita harus menjadi 'berkat' dan bukan minta diberkati dengan angpao.
Menghadiri orang tua di hari Imlek dapat menjadi momentum untuk kesaksian Iman Kristen, bahwa seseorang yang telah percaya Yesus tidak ikut-ikutan menyembah nenek-moyang. Yang perlu diperhatikan dan dikasihi adalah orang tua selagi masih hidup bukan setelah mati disembahyangi. Demikian juga perilaku anak Kristen yang teguh dapat menjadi kesaksian yang baik bagi orang tua bila mereka dapat melihat bahwa 'sekalipun kita tidak mengikuti upacara Imlek' kita 'mengasihi orang tua sepanjang waktu bahkan rela memelihara mereka.'
"Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur … Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan Allah, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia." (Kol.2:6-10).
Salam kasih dari Herlianto
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]