RENUNGAN April 2000


PLURALISME AGAMA & DIALOG

Masyarakat primitip cenderung hidup dalam situasi terisolasikan, eksklusip dan tertutup, dalam hal demikian perjumpaan agama yang dianutnya dengan agama-agama lain nyaris tidak terjadi. Dalam masyarakat yang kemudian berkembang dengan lalu-lintas orang yang melebihi batas negara mau tidak mau menempatkan seseorang dalam perjumpaan dengan orang-orang yang beragama lain.

Sudah sejak lama terjadi perjumpaan antara agama-agama. Dalam catatan agama Yahudi, ketika Abraham memasuki negeri Kanaan, monotheisme yang dipercayainya diperhadapkan dengan agama politheisme Kanaan. Demikian juga kita melihat dalam kasus raja Salomo yang memiliki sampai seribu isteri dan selir dari berbagai-bagai bangsa dan beragama non-Yahudi terjadilah perjumpaan antar agama. Rasul Paulus di Atena bertemu dengan praktek agama-agama lain, sedangkan pada awal pendiriannya tidak kurang agama Islam menghadapi agama Yahudi, Kristen, dan Penyembahan Berhala.

Ketika umat Israel ditawan ke Babil terjadi perjumpaan dengan agama dan bangsa Babil dan Parsi, tetapi pertemuan kebangsaan dan keagamaan yang majemuk (plural) makin nyata ketika bangsa-bangsa saling berekspansi dan agama-agama saling menjalankan misinya. Ketika bangsa Aria dari Persia memasuki India terjadi perjumpaan antara agama Hindu primitip dengan agama Veda dan ketika bangsa Arab memasuki India Islam bertemu dengan Hinduisme, demikian juga ketika Buddhisme masuk ke negara-nEgara tetangganya terjadi perjumpaan dengan agama-agama asli di sana seperti di Tibet dengan agama Bon, Cina dengan Taoisme, dan Jepang dengan Shintoisme.

Marco Polo membawa berita ke Barat bahwa di tempat-tempat yang dikunjungi termasuk Cina dan Indonesia, ia menjumpai banyak masyarakat dengan agama-agama baru. Situasi ini mendorong timbulnya di kalangan orang-orang Eropah yang umumnya beragama Kristen di abad-abad XVI-XIX, gerakan misi yang luar biasa terjadi ketika abad kolonialisme menjadi tunggangan misi Kristen dimana para misionari Kristen berjumpa dengan agama-agama lokal, dan kala itu proselitisme menjadi agenda utama mereka.

Situasi ini lebih mencuat ketika dunia mengalami modernisasi di abad ke-XX dimana perjumpaan antar bangsa-bangsa dan antar agama-agama makin sering terjadi dan sifatnya kompleks dan majemuk maka terbukalah era Pluralisme khususnya Budaya dan Agama yang tidak terhindarkan yang jelas menghasilkan dampak perbenturan peradaban (clash of civilization) yang sering menghasilkan situasi yang tidak damai.

Bangkitnya semangat nasionalisme pada abad XX di negara-negara yang dijajah mendorong disetarakannya budaya dan agama negara-negara itu dengan budaya dan agama para penjajah. Bahkan lebih dari itu, menurut Samuel Huntington dalam bukunya 'The Clash of Civilization' disebut bahwa penolakan terhadap westernisasi bahkan sering menimbulkan sikap permusuhan dan penolakan terhadap budaya dan agama para penjajah negara-negara Eropah dan kembalinya orang-orang pada premordialisme budaya dan agama pribumi.

REAKSI TERHADAP PLURALISME AGAMA

Ciri perbedaan antara Pluralisme masa kini dibandingkan dengan kolonialisme pada masa lalu ialah bahwa bila kolonialisme menempatkan budaya dan agama kolonial dari para pendatang sebagai yang lebih superior dibandingkan budaya dan agama pribumi yang dianggap inferior, maka Pluralisme menghadirkan perjumpaan dimana setiap budaya dan agama bertemu dalam suasana sederajat dalam suasana demokratis. Sebagai reaksi terhadap Pluralisme yang menekan, setidaknya ada tiga macam reaksi yang timbul, yaitu: (1) Fundamentalisme yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme yaitu usaha mentobatkan pengikut agama lain; (3) Sinkretisme yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur-adukkan kedua keyakinan agama itu

1. Fundamentalisme.

Fundamentalisme adalah suatu reaksi yang menutup diri yang ingin memurnikan ajaran agama dan menolak berhubungan dengan pihak luar, sikap ini sering berakibat kemandegan rohani, eksklusifisme yang menjurus pada sifat absolut/mutlak, bahkan bisa menjurus pada sikap militanisme;

2. Proselitisme.

Proselitisme terjadi dalam perjumpaan dengan agama-agama lain dimana agama seseorang 'dipaksa' atau 'terpaksa' berpindah pada keagamaan yang ditemuinya atau sebaliknya. Disini terjadi trans-budayanisasi atau trans-agamanisasi, dimana agama sendiri ditinggalkan dan mengikuti sepenuhnya agama pihak lain atau sebaliknya. Contoh proselitisme dapat dilihat dengan dihembuskannya isu kristenisasi atau islamisasi;

3. Sinkretisme.

Sinkretisme berusaha untuk mencari hal-hal baik dari agama lain untuk dapat diikuti bersama dengan agama sendiri. Reaksi ini memang lebih bersifat inklusif, dan kerukunan agama berkembang tetapi berkembang kearah yang relatif dan tidak jelas karena identitas semula dan identitas agama lain dicampur-adukkan. Memang harus diakui bahwa sifat sinkretisme membawa ke situasi yang lebih akur dan menghindari konflik. Adakalanya seseorang memetik kebaikan dari agama lain dan memasukkan pada agamanya sendiri dan tetap menganut agama sendiri, tetapi ada kalanya kedua agama itu diikuti bersama dan melebur.

Ketiga reaksi terhadap Pluralisme ini jelas tidak mungkin bisa dihindarkan, karena kita tidak lagi dapat menghindari perjumpaan dengan bangsa, budaya dan agama yang lain dalam alam modern ini, dan ketiga alternatif itu biasa merupakan reaksi yang wajar terjadi bilamana ada perjumpaan antara bangsa, budaya dan agama yang berbeda. Di samping ketiga bentuk reaksi terhadap Pluralisme ini yang sering dianggap menimbulkan masalah, khususnya Fundamentalisme dan Proselitisme, ada juga reaksi appresiasi dalam menghadapi Pluralisme yang tidak terbendung itu. Disini Pluralisme dianggap sebagai kesempatan untuk maju bersama.

APPRESIASI ATAS PLURALISME AGAMA

Sejak tengah kedua abad-XX mulai ada penglihatan baru menghadapi Pluralisme yang jelas tidak lagi bisa dibendung maupun dihindari itu, dan mulailah orang melihat Pluralisme sebagai sesuatu yang baik sehingga diberi beberapa pengertian yang lebih positip. Sikap ini menghasilkan reaksi ke-empat, yaitu:

4. Inklusivisme.

Inklusivisme berusaha menggapai kesatuan antara agama-agama. Berbeda dengan eksklusivisme, disini ada usaha untuk menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu, dan berbeda dengan Sinkretisme yang mencampur-adukkan agama-agama, disini agama-agama diperas menjadi satu saja.

Beberapa pandangan tentang Pluralisme dapat dilihat seperti berikut:

"pluralisme adalah suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda." (Daniel Breslauer).

"pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris" (Jacob Agus).

Bersamaan dengan berkembangnya ilmu Perbandingan/Sejarah Agama dan makin terbukanya literatur agama-agama yang bisa dipelajari semua orang di universitas, maka terbukalah Pluralisme secara demokratis.

Di lingkungan Teologi Orthodoks gereja Timur yang bersifat mistik memang pluralisme agama sudah lama disenangi. Di kalangan Roma Katolik sebagai gereja Barat yang lebih mementingkan perbuatan, Konsili Vatikan-II (1962-63) telah menumbuhkan sikap yang lebih terbuka pada agama-agama lain, dan di kalangan Kristen Protestan sejak tahun 1970-an Dewan Gereja-Gereja Dunia (WCC) mulai merasakan perlunya membuka dialog dengan agama-agama lain. Gayung ini disambut baik beberapa tokoh agama-agama yang lain.

Ada beberapa pendapat dasar yang berkembang dikalangan pelopor dialog antar-agama di kalangan Kristen:

"agama bersifat relatif dan sejarah agama bersifat evolusi sebagai suatu gerakan manusiawi yang universal menuju kesempurnaan ... wahyu dilihat sebagai suatu gerak menuju Yang Mutlak yang tidak pernah dapat dicapai secara sempurna" (Ernst Troeltsch).

"Semua agama hendaknya dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia ... para misionaris Kristen harus mengambil bagian dalam perjumpaan Yang Ilahi-manusia dalam agama lain dengan maksud untuk membantu perkembangannya yang evolusioner" (Wilfred Cantwell Smith).

"kebenaran yang dikemukakan baik oleh ajaran Kristen di satu pihak maupun ajaran Hindu di lain pihak adalah universal dan akhirnya sering dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya keduanya merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor-faktor budaya, mengenai suatu kebenaran yang lebih universal" (Raimundo Panikkar).

"dialog adalah upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga" (Stanley Samartha).

"keyakinan bahwa Roh Kudus hadir dimana-mana ... dialog yang kritis dimaksudkan untuk merasuk ke dalam diri sendiri dan ke dalam penghayatan agama sendiri ... Tuhan adalah dasar keberadaan (the ground of all being)" (Paul Tillich).

PARADIGMA BARU DALAM DIALOG

Dari pemikiran para tokoh perintis 'dialog agama' itu, kita dapat melihat adanya beberapa 'paradigma baru dalam dialog' yang bisa disebut sebagai 'Inklusivisme' yaitu:

1. Relativisme Agama

Agama dianggap berjalan secara evolusioner (evolusi agama) dari keberadaannya yang asli bersumber pada penyembahan akan 'kekuatan' dasar semesta dan berkembang menurut kemajuan konsepsi manusia dalam merumuskannya secara partikular. Pandangan ini misalnya dianut tokoh-tokoh seperti Ernst Troelsch dan para tokoh 'evolusi agama' seperti pelopornya Edward B. Taylor. Mirip dengan ini adalah:

2. Logika bersama mengenai 'Yang SATU dan Yang Banyak'.

Dari perspektif filsafat atau teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara tampaknya merupakan cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan fakta pluralisme keagamaan, ini biasa disebut sebagai pendekatan yang 'theosentris'. Pandangan ini didasarkan gagasan 'Veda' Hinduisme mengenai hakekat 'Yang SATU' yang disebut dengan banyak nama. Pandangan mana biasa disebut sebagai 'universalisme' atau 'monisme.' Monisme adalah faham yang mengakui adanya dasar keberadaan alam semesta yang 'SATU' yang tidak berpribadi. Faham ini bisa kita lihat dari pemikiran tokoh-tokoh seperti Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Wilfred Cantwell Smith misalnya. Dalam buku 'God Has Many Names' karya John Hick kita dapat menjumpai pengertian yang sama. Agama Kristen hanya dianggap salah satu yang partikular saja dari yang universal.

3. Pemikiran Kembali mengenai Kristologi (De-Kristologisasi).

Sekalipun menyamakan agama Kristen dengan agama-agama lain yang merupakan upaya manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah, Karl Barth menyebut Kristologi yang masih unik dan eksklusif dimana hanya melalui wahyu Yesus Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Karl Rahner, seorang teolog Katolik menegaskan keeksklusififan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal dan menganggap pengikut agama-agama lain sebagai 'orang-orang Kristen anonim'. Pemikiran ini kemudian berkembang hingga di kalangan teolog ada pendapat bahwa Yesus bukan 'dianggap sebagai Kristus yang unik' (dekristologisasi) tetapi sebagai salah satu dari wahyu yang banyak itu (avatar).Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh Wilfred Cantwell Smith, pandangan Smith ini disambut oleh teolog-teolog modern yang menolak Yesus sebagai Kristus termasuk juga para penganut 'Jesus Seminar.'

4. Faham Mistik mengenai kesatuan manusia dengan sumbernya (mistifisasi).

Dalam pengertian Zen Buddhisme dimengerti penyatuan manusia dengan jati dirinya yang bisa disamakan dengan 'Yang Satu' dalam Hinduisme. Paul Tillich mengajak manusia lebih lanjut dari 'theocentris' kearah 'allah di atas allah' yang disebutnya sebagai 'dasar keberadaan' (the ground of all being). Mirip dengan ini adalah pandangan W.C. Smith dalam bukunya 'The Faith of Other Men' yang menyebut konsep 'Kristus di dalamku' yang diucapkan Paulus identik dengan konsep mistik tentang 'Atman' dalam mistisisme/pantheisme.

PROSELITISME DALAM BENTUK YANG BARU?

Tidak dapat disangkal bahwa Pluralisme dengan Dialognya telah membawa angin segar dalam perjumpamaan agama-agama, tetapi apakah 'Dialog kerukunan agama' yang selama ini dipromosikan merupakan alternatif terbaik?

Dialog yang motivasinya baik itu ternyata sarat dipengaruhi paradigma relativisme agama yang merupakan reduksionisme yang mencoba membesarkan kesamaan dan mengabaikan perbedaan dan bahwa ada perbedaan yang azali yang mustahil di pertemukan.

Setidaknya ada tiga faham yang tidak mudah untuk dipertemukan hakekatnya yaitu yang bersifat: (1) Theisme (Tuhan yang berpribadi yang transenden dan memberi wahyu seperti dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam), (2) Monisme (yang tidak menerima Tuhan yang transenden melainkan dasar keberadaan yang imanen seperti dalam agama-agama Hindu dan Tao); dan (3) non-Theisme (tidak mempercayai tuhan yang 'ada' dan transenden seperti dalam Buddhisme ). Dialog agama umumnya mengabaikan perbedaan ini demi tujuan kerukunan. Tepat seperti yang diucapkan oleh Harold Coward, bahwa:

"Masalah yang belum terselesaikan untuk semua pendekatan ini ialah penolakan penganut Budha dan Advaita Vedanta terhadap Allah sebagai realitas penghabisan. Para teolog Kristen, pun para teolog yang paling terbuka terhadap agama Budha dan agama Hindu, tampaknya hampir dengan sengaja menutup mata terhadap masalah ini." (Pluralisme tantangan bagi agama-agama, h.86)

Dari paradigma yang belum ketemu tentang hakekat 'yang SATU' tentu agak sulit bagi kita bila mencoba untuk menjadikannya sebagai 'kebenaran universal' dan semua agama dianggap 'jalan-jalan partikular.' Menutup mata terhadap kebenaran hakekat ini tidak akan memecahkan masalah sekalipun kelihatannya menarik sebagai fatamorgana. Kita harus jujur bahwa motivasi yang mengajak 'dialog demi kerukunan agama' adalah suatu usaha yang baik dan berguna tetapi kita perlu menghindarkan sikap reduksionisme yang menutup mata terhadap realita sebenarnya demi kesatuan itu sendiri, sebab kita dapat terjebak kembali pada sikap eksklusifisme yang sebenarnya ditolak oleh semangat 'dialog antar agama' itu. Sebagai contoh 'Proselitisme' seseorang agar masuk atau pindah ke agama lain ditolak oleh kalangan dialog, tetapi dengan mengarahkan paradigma dialog menuju prinsip keyakinan yang bersifat 'Monisme' sebenarnya para pedialog kembali melakukan 'proselitisme' gaya baru yaitu 'Proselitisme' agar seseorang (yang beragama Theisme) berpindah ke agama lain (yang monisme dan/atau non-theis). Ini bukanlah sikap 'inklusif' tetapi 'iman agama inklusif' atau 'inklusivisme.'

Yang perlu dihayati adalah sekalipun memang 'keyakinan eksklusif bisa menyebabkan sikap eksklusif' kita perlu membedakan antara 'keyakinan yang eksklusif' dengan 'sikap eksklusif' yang cenderung tidak bernuansa damai. Demikian juga kita harus membedakan 'sikap yang inklusif (terbuka)' dengan 'iman inklusif' (inklusivisme). Banyak contoh dijumpai bahwa para tokoh 'dialog inklusif' terbuka keyakinannya tetapi bersikap eksklusif menghadapi orang-orang seagama yang berbeda faham dengannya. Agaknya 'inklusivisme sebagai agama' tidak realistis sebab bagaimana seseorang bisa menganggap dirinya inklusif yang berbaikan dengan orang-orang dari kandang yang lain tetapi tetap bersikap eksklusif terhadap orang-orang dikandangnya sendiri? Fakta di kalangan dialog menunjukkan banyak yang menolak 'iman eksklusif agama sendiri' tetapi menerima 'iman eksklusif agama lain' (monisme).

Sebaliknya banyak juga contoh penganut-penganut agama yang 'eksklusif' dalam keyakinannya tetapi mempunyai sikap yang inklusif (terbuka) dalam menjalin dialog dengan sesamanya yang beragama lain. Jadi, yang menjadi soal disini bukan mengubah keyakinan dari 'eksklusivisme' menjadi 'inklusivisme' yang sebenarnya juga 'tidak inklusif' yang tidak realistis mengingat bahwa perkembangan dunia budaya/religi seperti yang disinyalir Samuel Huntington dalam bukunya 'The Clash of Civilization' bahwa kecenderungan reaksi terhadap westernisasi sekarang justru mendorong bangsa-bangsa dunia ketiga menjadi kembali berkeyakinan premordial yang 'eksklusif' sekalipun tetap menerima 'modernisasi' secara 'inklusif' (terbuka).

Pluralisme agama perlu bertitik tolak pada paradigma agama apa adanya (yang eksklusif) tanpa berusaha untuk mengabaikan perbedaan menuju pada suatu faham universalisme yang sebenarnya juga eksklusif, karena faktanya faham ini hanya dianut makanan sekelompok kecil elit akademisi agama sedangkan mayoritas pemeluk agama itu tetap berfaham eksklusif. Tidak salah pula kalau seseorang memiliki misi atau dakwah yang eksklusif dan ingin membagikan kekayaan itu kepada sesamanya sebagai kesaksian hidup. Tetapi, yang perlu terus menerus diusahakan dan dibudayakan adalah bagaimana 'keyakinan eksklusif' itu bisa didialogkan dengan 'sikap yang inklusif' yang lebih sejuk dan damai. Dengan demikian, diharapkan pertentangan agama dapat diselesaikan ditingkat 'grass root' yang 'riel' tanpa kita berpusing diri 'mengubah paradigma keyakinan' itu demi mencapai dialog kerukunan antar pemeluk agama.

Usaha kerukunan agama di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1972 dimana Menteri Agama kala itu H.A. Mukti Ali mencanangkan dialog antar umat beragama sebagai bagian kebijakan Departemen Agama R.I.. Dalam hubungan dengan hubungan antar umat beragama memang ditekankan 'kerukunan antar umat berbeda agama' dan 'kerukunan antar umat seagama', keduanya memang potensial menyebabkan hubungan antar umat beragama menjadi tidak serasi, karena itu sikap inklusif perlu terus diupayakan bersama, baik 'sikap inklusif antar umat berbeda agama' maupun 'sikap inklusif antar umat seagama' agar benar-benar Dialog dalam Pluralisme Agama di Indonesia benar-benar terwujud bukan sebagai sekedar retorika tetapi sebagai suatu pola kehidupan beragama yang nyata. Semoga!


A m i n !


Salam kasih dari Herlianto


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]