RENUNGAN APRIL 1998


PERAYAAN GEREJAWI

Di kalangan Kristen kita mengenal hari-hari Perayaan Gerejawi, dan di antaranya, yang penting adalah dua perayaan yaitu Natal dan Paskah.

Sebagai bagian dari upacara ibadat Kristen, tidak dapat dihindari bahwa baik perayaan hari Natal maupun perayaan hari Paskah bercampur baur dengan praktek-praktek tradisi dari para penganutnya sehingga perayaan-perayaan itu berkembang dalam kehidupan jemaat.

PERAYAAN NATAL

Sebenarnya dari arti katanya, "Natal" hanya berarti "kelahiran" (Dies Natalis = hari kelahiran alias hari ulang tahun). Tetapi, perayaan Natal yang dilakukan umat Kristen mempunyai arti lebih dalam yaitu merayakan "hari kelahiran Yesus" dan maknanya yang lebih dalam lagi adalah kehadiran Shalom Allah dalam bentuk kelahiran Yesus Kristus sebagai Juruselamat yang mendatangkan damai sejahtera di bumi. Kehidupan Yesus sebagai Tuhan yang menjadi manusia yang menyertai kita (Immanuel) tidak dapat dilepaskan dari saat kelahiran, pembaptisan, pelayanan, penyaliban, kebangkitan, sampai kenaikanNya ke surga. Sekalipun demikian, sebagai perayaan, memang Natal berkembang dalam tradisi gereja dan bukan merupakan ajaran yang Tuhan Yesus berikan kepada manusia dan harus diakui bahwa jemaat perdana memang tidak terkesan merayakan Natal.

Memang sebagai pesta pada hari tertentu, jemaat perdana tidak merayakan Natal, soalnya jemaat perdana begitu terpukau oleh kehadiran Yesus dan penyertaan Kuasa Roh Kudus sehingga saat itu kelahirannya tidak dikenang secara khusus. Kehidupan jemaat pasca Kenaikan Ke Surga lebih didominasikan oleh peringatan mingguan dari kebangkitan Yesus pada hari pertama tiap minggu dan bahkan peringatan akan perjamuan malam dilakukan setiap hari (Kisah 2:46)! Tetapi perlu disadari bahwa bagi jemaat perdana kelahiran Yesus sudah menjadi keyakinan kuat sebagai pemenuhan nubuatan para Nabi tentang Messias yang lahir dari anak dara (Kejadian 3:16; Yesaya 7:14; 9:5,6; 11:1; Mikha 5:1-4).

Sekalipun demikian, jemaat yang sesudah itu tentu tidak salah kalau mengenang Natal itu karena hal itu perlu! Jemaat pertama tidak memerlukan hal ini karena mereka sudah menghayatinya dengan kuat! Perlu disadari bahwa jemaat perdana juga tidak merayakan Paskah, karena waktu itu paskah dirayakan setiap minggu yaitu pada hari pertama dalam minggu (Yohanes 20:19,26; Kisah 20:7; 1 Korintus 16:2) karena Kristus bangkit pada hari minggu, baru kemudian ada perayaan tahunan menggantikan perayaan "Paskah Israel" (exodus) dengan "Paskah Kristen" (kebangkitan).

Natal memang tidak dirayakan oleh jemaat mula-mula. Tetapi berangsur-angsur di gereja Timur dan kemudian di gereja Barat, pada abad ke-3 kelahiran Yesus dirayakan pada malam tanggal 5 Januari dan tanggal 6 Januari digunakan untuk mengenang saat pembaptisannya. Data tertulis yang memuat liturgi perayaan kelahiran Kristus itu dapat dilihat dalam papirus pada abad ke-IV. Pada tahun 274 di Roma tanggal 25 Desember dimulai perayaan kelahiran matahari karena diakhir musim salju tanggal itu matahari mulai kembali penampakan sinarnya dengan kuat.

Ternyata sukar bagi orang Roma yang kemudian menjadi Kristen meninggalkan perayaan itu, karena itu para pemimpin gereja waktu itu mengalihkan perhatian mereka akan perayaan itu menjadi perayaan Matahari Kebenaran yang kemudian menggantinya menjadi Natal dan meresmikannya di Roma tahun 336, dan menjadikan tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan kelahiran Kristus. Hal ini diperkenalkan oleh Kaisar Konstantin yang memilih tanggal itu sebagai pengganti tanggal 5-6 Januari. Perayaan Natal kemudian di lakukan di Anthiokia pada tahun 375 dan pada tahun 380 dirayakan di Konstantinopel, dan tahun 430 di Alexandria dan kemudian di tempat-tempat lain dimana kekristenan sudah menanamkan akarnya.

Dari data sejarah itu dapatlah diketahui bahwa Natal bukanlah dimulai sebagai hari matahari karena semula diadakan pada tanggal 5-6 Januari, tetapi yang benar adalah usaha dari pemimpin gereja Barat (Roma) untuk mengubah tanggal itu menjadi tanggal 25 Desember untuk mengalihkan perhatian umat Kristen dari kepercayaan lama menuju kelahiran Kristus. Pada saat yang sama orang-orang kafir yang tidak bertobat masih tetap merayakan tanggal 25 Desember sebagai hari Matahari, dan selanjutnya praktek perayaan Natal umat Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan perayaan Matahari sekalipun harus diakui bahwa di kalangan orang Kristen Roma waktu itu tentu masih ada yang merayakannya keduanya bersamaan secara sinkretistik. Orang-orang Kristen kemudian tidak ada yang punya kesan tentang perayaan Matahari.

Bila demikian bagaimana dengan adanya denominasi Kristen yang tidak merayakan Natal? Bila mereka tidak merayakannya sebagai pesta tentu baik-baik saja, tetapi janganlah hal itu menghilangkan kesempatan untuk mengenang kelahiran Yesus, karena keyakinan akan Yesus tidak dapat dilepaskan dari kelahiranNya sebagai pemenuhan nubuatan para Nabi, Allah yang menjadi manusia Yesus, Kelahiran Dara, dan makna peristiwa di Betlehem dimana damai hadir di bumi yang dirasakan baik oleh yang kaya maupun oleh yang miskin dan peristiwa ini cukup jelas terekam dalam kitab Injil (Mat.1:18-2:12 dan Luk.1-2).

Yesus yang lahir di kandang yang hina perlu dijadikan contoh kerendah-hatian Kristiani yang melayani dan tidak minta dilayani. Paskah tanpa Natal tidak ada artinya, karena kita tidak mengerti dimensi ilahi dari Paskah itu bila kita tidak mengerti makna Natal. Bila tidak setuju dengan tanggal 25 Desember dapat saja perayaan itu diadakan pada hari-hari lain, tetapi untuk menghindarkan kekacauan dimana kalau setiap gereja memilih tanggalnya secara bebas, bisa jadi tiap hari sepanjang tahun kita diundang merayakan Natal, karena itu ada baiknya dibatasi pada bulan Desember atau Januari agar terjadi keseragaman.

Kita mengetahui bahwa Aliran Saksi Yehuwa dalam literatur mereka bukan saja tidak merayakan Natal tetapi sangat membencinya, soalnya mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa "Allah menjadi daging dan beserta kita dalam Yesus Kristus". Merayakan Natal berarti menerima "Yesus sebagai Kristus dan Tuhan"! Damai Sejahtera Natal diperlukan oleh semua denominasi dan lebih-lebih bagi Saksi Yehuwa, Immanuel! Merayakan esensi Natal dengan mengucap syukur lebih diperkenan Allah daripada membenci Natal dengan tidak ada damai dihati!

Perayaan Natal yang dirayakan untuk mengenang esensinya, sebenarnya telah terbukti dapat menyatukan banyak denominasi gereja, bahkan banyak gereja yang tidak pernah bertemu justru bertemu saat perayaan Natal bersama. Yang menjadi masalah adalah apakah perayaan Natal itu membawa orang kembali kepada Shalom untuk menyatukan gereja-gereja di dalam Tuhan Yesus atau hanya sekedar pesta rutin yang diadakan secara tahunan. Memang harus diakui bahwa ada gereja-gereja tertentu yang menjadikan momentum Natal untuk jor-joran dan pesta-pesta menunjukkan kemeriahannya yang berlawanan dengan semangat Betlehem, dalam hal ini tentu perayaan demikian lebih merupakan ketidak taatan yang lebih mendukakan daripada menyenangkan Tuhan?

Makna Natal adalah kesederhanaan, yang "low cost" tetapi "high reach", artinya Natal merupakan kejadian dimana Tuhan yang kaya merelakan diri menjadi manusia miskin, tinggal dikandang binatang, tetapi menghasilkan rasa damai bagi banyak orang, bagi gembala sampai orang Majus. Makna inilah yang harus dihayati dan di amalkan, karena itu kita perlu menyadari apakah perayaan-perayaan Natal yang berupa pesta mahal ini menjalankan misi Tuhan yang "low cost but high reach" atau hanya merupakan semangat cinta diri dan gengsi untuk kesenangan pribadi dan kelompok sendiri.

Semangat Natal juga dapat diterjemahkan dengan cara meningkatkan pelayanan sosial dan menghadirkan keadilan dan kebenaran Allah sebagai puncak akhir tahun, artinya pelayanan sosial sebagai penge-jawantahan iman Kristen harus dilakukan setiap saat dan saat Natal bisa lebih ditingkatkan. Misalnya pembagian hadiah untuk anak-anak Sekolah Minggu bisa digantikan dengan mengajar anak-anak untuk membawa hadiah sendiri untuk bisa diberikan kepada mereka yang membutuhkan, karena "terlebih berkat memberi daripada menerima", demikian juga tukar menukar hadiah di kalangan pemuda/dewasa bisa digantikan dengan mengumpulkan hadiah untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Dari pada diisi pesta hiburan dengan hadiah-hadiah dan konsumsi yang menggunakan uang jemaat, lebih baik jemaat didorong untuk mengingat kembali kesederhanaan Natal dan menjadikan kelebihan uangnya untuk membagikan sukacita dan damai Allah kepada sesama kita yang membutuhkan. Ini perlu diberi contoh oleh Pendeta dan Majelis Jemaat sendiri. Setidaknya dengan tidak merayakan Natal secara pesta kita tidak menunjukkan kehidupan yang eksklusip, elitis dan mencolok ditengah kemiskinan yang lagi disorot secara nasional.

Bila kita menghayati makna Natal dan misi Kristus dengan benar, kita dapat mengambil banyak langkah menuju perbaikan diri individu dan masyarakat. Dengan menjalankan moralitas yang sesuai kehendak Allah dalam Alkitab kita menghadirkan Natal dalam kehidupan moral masyarakat; menggunakan dana Natal yang besar itu untuk modal-modal usaha kecil dapat menolong membuka lapangan kerja yang baru dan menanggulangi kemiskinan. Dalam situasi masyarakat yang sebagian besar masih menderita, kehidupan dan perayaan bermewah-mewah merupakan ketidak adilan dan ketidak benaran yang harus ditiadakan sebab kenyataannya perayaan pesta Natal sering justru mengaburkan makna esensi Natal yang sebenarnya.

Kita perlu mengembalikan harapan kita sejalan dengan harapan Yesus Kristus agar gereja-gereja maupun orang-orang Kristen menjauhi penyalah gunaan perayaan Natal dan menyadari kembali makna Natal yang benar yaitu menghadirkan "Shalom" Allah untuk bisa dirasakan oleh semua orang dan menghayati apa yang dikatakan Firman Tuhan mengenai Natal, karena "Allah telah melawat umatNya sebagai manusia Yesus Kristus".

"Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasehat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. Kecemburuan TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini." (Yesaya 9:5-6).

"Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh pengenalan dan takut akan TUHAN; ya, kesenangannya ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang. Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran; ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik. Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan, seperti ikat pinggang terikat pada pinggang." (Yesaya 11:1-5).

"Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan namaNya adalah kudus. Dan rahmatNya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya dan mencerai-beraikan orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa." (Lukas 1:46-53).

PERAYAAN PASKAH

Berbeda dengan proses perayaan Natal, perayaan Paskah lebih merupakan penerusan tradisi "merayakan Paskah" yang dilakukan oleh umat Yahudi tetapi dengan makna Perjanjian Baru, yaitu bila Paskah merupakan peringatan "pembebasan umat Israel dari penjajahan (jasmani) Mesir" maka sekarang umat Kristen merayakan Paskah sebagai simbolisme "pembebasan umat Israel dari penjajahan (rohani) dosa".

Perayaan Paskah umat Yahudi memang berasal dari keluarnya umat Israel dari tanah Mesir dimana pada saat itu diadakan upacara "roti tak beragi" dan "persembahan anak sulung" dengan "upacara korban domba Paskah", dan merupakan perintah Tuhan agar di kenang oleh Musa dan bani Israel:

"Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selama-lamanya. ... kamu harus tetap merayakan hari raya makan roti yang tidak beragi, sebab tepat pada hari ini juga Aku membawa pasukan-pasukanmu keluar dari tanah Mesir ... Pergilah, ambillah kambing domba untuk kaummu dan sembelihlah anak domba Paskah." (Kel.12:14,17,21).

Paskah sendiri berarti "keluaran" (passover) yang menggambarkan keluaran bani Israel dari perbudakan di tanah Mesir, upacara mana diiringi dengan pengorbanan domba Paskah.

Peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Yesus bukan saja mempunyai makna keluaran yang sama dengan Paskah Yahudi, tetapi dilakukan pada saat sekitar perayaan Paskah Yahudi. Upacara perjamuan makan "roti tidak beragi" yang diadakan pada hari jumat malam kemudian menjadi "Upacara Perjamuan Malam" yang dilakukan oleh Yesus dan para rasulnya.

"Pada hari pertama dari hari raya Roti Tidak Beragi datanglah murid-murid Yesus kepadaNya dan berkata: "Di mana Engkau kehendaki kami mempersiapkan perjamuan Paskah bagiMu" ... Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata "Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: " minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darahKu, darah perjanjian , yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa." (Mat.26:17, 26-28).

Upacara perjamuan itu kemudian dijadikan peringatan "Jumat Agung" dalam kalender Kristen, sekalipun demikian upacara makan roti perjamuan itu juga dirayakan setiap umat bertemu dalam persekutuan. Upacara makan roti perjamuan itu menyiapkan penebusan Yesus dimana kemudian Ia menjadi "Domba Paskah", disalib dan pada hari pertama dalam minggu itu yaitu hari minggu, ia Bangkit dari orang mati. Hari pertama dalam minggu inilah yang kemudian diperingati menjadi hari-hari pertemuan Kristen secara teratur:

"... pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat." (Yoh.20:1,19,26; Kis.20:7;I-Kor.16:2;Wah.1:10).

Perayaan mingguan mengenang kebangkitan Yesus inilah yang membuktikan dengan jelas bahwa peristiwa kebangkitan Yesus terjadi dalam sejarah, dalam ruang dan waktu, sebab perayaan "Sabat" yang begitu ketat diikuti oleh umat Yahudi dalam praktek umat Kristen (terutama Yahudi Kristen) telah bergeser menjadi "Hari Tuhan" yaitu kenangan akan hari kebangkitan Yesus.

Sejarah gereja menunjukkan bahwa upacara "Hari Tuhan Mingguan" itu sejak awal tahun sejarah dirayakan lebih khusus bertepatan dengan hari Paskah Yahudi, hanya sekarang diadakannya pada hari Minggu sesudah Sabat Yahudi yang didahului dengan Paskah pada hari Jumat. Itulah sebabnya kemudian dikenal "Hari Paskah" dalam tradisi Kristen yang memperingati "Hari Kebangkitan Tuhan Yesus dalam menebus dosa umat manusia".

Semula di kalangan mereka yang lebih berorientasi Paskah Yahudi, Paskah dirayakan pada hari Sabtu tanggal 14 bulan Nisan sesuai dengan hari perayaan Paskah Yahudi. kelompok ini disebut sebagai "Quartodecimanism" (=14). Pada masa para Rasul hari Paskah dengan pengertian Perjanjian Baru telah dirayakan pada hari Minggu atau hari pertama dalam minggu, dan sesudahnya menjadi bagian dari upacara Kristen disamping perayaan "hari Pentakosta dan Kenaikan Ke Sorga" dan diresmikan pada Konsili Nikea di tahun AD-325. Perayaan Paskah Kristen dirayakan selama tiga hari berturut-turut dimulai dengan "Jumat Agung" yang diisi dengan Perjamuan Kudus, dan kenangan akan kematian Yesus dan ditutup pada hari minggu berikutnya dimana dirayakan "Hari Tuhan" mengenang "Kebangkitan Yesus".

NATAL DAN PASKAH

Ada di kalangan Kristen yang sangat mementingkan perayaan Natal dan mengabaikan perayaan Paskah, bahkan gereja Roma Katolik di Indonesia pernah mengusulkan agar hari Jumat Agung tidak dianggap hari libur tetapi digantikan dengan hari "Maria Masuk Ke Sorga" pada tanggal 15 Agustus, ini pernah dilakukan di Indonesia tetapi kemudian dikembalikan lagi yaitu bahwa Jumat Agung tetap libur dan hari Maria dihapuskan.

Bila kita membandingkan perayaan Natal dan Paskah jelas terlihat bahwa perayaan Paskah adalah perayaan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh orang Kristen. Paskah adalah perayaan sentral umat Kristen jadi harus dilakukan, sedangkan perayaan Natal bisa saja tidak dilaksanakan lebih-lebih bila hal ini dapat menjadi syak bagi umat Kristen, tetapi jangan sebaliknya.

Sekalipun demikian, Paskah juga jangan dirayakan merosot dari makna sebenarnnya. Di kalangan sekolah minggu tradisi Paskah biasa diisi dengan mencari telur Paskah. Sekalipun telur dianggap melambangkan kelahiran baru tetapi tidak perlu diberi arti yang lebih dalam lagi.

Setidaknya perayaan Paskah tidak boleh dikeluarkan dari kalender Gereja sebagai peringatan pusat ajaran Kristen yaitu "Yesus yang telah bangkit", kemudian disusul dengan perayaan Natal dimana kita mengenang "Immanuel", Allah yang hadir dalam diri manusia. Selanjutnya hari raya Pentakosta kita mengenang turunnya Roh Kudus dan awal berdirinya gereja, dan Kenaikan ke Sorga sebagai peringatan akan janji Tuhan Yesus dimana ia akan datang kembali.


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]