RENUNGAN MEI 1998
CINTA RUPIAH
"Mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, dan menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (I-Timotius 6:9-10).
Dalam setahun terakhir sejak pertengahan tahun 1997, kita di Indonesia menghadapi krisis keuangan dan sistem perbankkan yang amburadul. Bila di tengah tahun 1997 itu kurs nilai tukar dollar masih sekitar duaribu limaratusan maka pada bulan Januari yang lalu sempat mencapai angka fantastis sebesar enam kali lipat, dan sekalipun pada saat ini kondisi uang rupiah sudah membaik yaitu sekitar kurang dari empat kali lipat angka itu, kondisinya tetap diluar kemampuan para pengusaha yang mempunyai hutang dalam dolar.
Kondisi perbankkan sebagai urat nadi yang menyalurkan jalannya aliran uang ternyata juga mengalami kemelut yang menimbulkan kemerosotan kepercayaan rakyat. Sejak adanya 16 bank yang dilikuidasi di bulan Nopember 1997 dan disusul pembekuan tujuh bank lainnya disamping tujuh lainnya yang diambil alih kepengurusannya oleh BPPN, masih tertinggal empat puluh bank lainnya dalam deretan bank-bank yang masih diawasi kesehatannya.
Yang jelas, kondisi demikian telah menimbulkan krisis ekonomi yang bukan saja menimpai para pengusaha tetapi lebih lagi dirasakan oleh rakyat banyak, sebab dampak krisis moneter telah menimpa harga-harga kebutuhan pokok seperti Sembako dan meningkatkan inflasi yang tidak terkirakan sebelumnya.
CINTA UANG
Salah satu gejala di seputar krisis moneter yang sudah menjadi nama keren 'krismon' itu adalah gejala merata yang diikuti banyak orang dengan cara menjadikan uang sebagai komoditi, banyak orang tiba-tiba saja menjadi pedagang valas dan memburu dolar. Cinta akan mata uang dolar Amerika menggebu-gebu ibarat cinta pertama dan gebrakan demikian bukan menjadikan suasana moneter dan ekonomi lebih nyaman tetapi malah menimbulkan kenaikan nilai tukar dolar yang berakibat melambungnya komoditi impor termasuk obat-obatan dan bahan-bahan kebutuhan pokok yang sangat diperlukan oleh rakyat banyak.
Di tengah ramainya rasa 'cinta dolar' yang tidak sehat itulah maka timbul gebrakan baru berupa kampanye 'cinta rupiah' dengan maksud agar masyarakat tidak memburu dolar tetapi lebih mencintai uang negara sendiri dengan harapan agar dengan berkurangnya orang memborong dolar, nilai tukar dolar dapat menjadi turun dan ekonomi nasional membaik. Dilihat dari kacamata ini kelihatannya memang cinta rupiah lebih baik dari cinta dolar, ini khususnya bila dilihat dampaknya bagi perekonomian nasional, tetapi apakah cinta uang itu benar di mata Tuhan?
Uang dolar yang menjadi dambaan banyak orang dalam beberapa bulan terakhir ini telah menjadi dewa baru yang dalam istilah Alkitab disebut sebagai 'mamon'. Dalam lembar mata uang dolar Amerika sebenarnya ada kalimat yang dalam artinya berbunyi 'In God We Trust'. Faktanya, sekarang di Indonesia kalimat itu telah bergeser menjadi 'In Dollar We Trust' dan kini dipopulerkan 'In Rupiah We Trust' alias 'Cina Rupiah'. Bahkan, dengan naiknya sukubunga Deposito, sekarang manusia Indonesia lebih percaya ke pada uang 'rupiah'nya untuk disimpan di bank dengan bunga empat persen sebulan daripada mempercayakan dirinya kepada Tuhan.
AKAR KEJAHATAN
Ayat Alkitab yang ada di awal renungan ini justru menyebut bahwa baik cinta dolar maupun cinta rupiah bukanlah kehendak Tuhan. Cinta akan uang bukanlah jalan agama, bahkan dalam suratnya kepada Timotius itu rasul Paulus mengemukakan bahwa justru karena 'ingin kaya' manusia sering terjatuh dalam berbagai pencobaan, jerat, dan nafsu yang hampa dan yang mencelakakan yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Dan, lebih dari itu cinta akan uang bukan saja merupakan 'akar kejahatan' tetapi malah disebut oleh rasul Paulus bahwa 'oleh memburu uanglah banyak orang telah menyimpang dari iman.'
Uang sebenarnya adalah alat pembayaran dan produksi bukan untuk memperkaya diri tetapi untuk mensejahterakan rakyat. Uang sebenarnya adalah alat untuk 'mencintai sesama manusia seperti mencintai diri sendiri,' tetapi uang telah berubah menjadi tujuan untuk 'mencintai diri sendiri' dan mengorbankan 'cinta kepada sesama.' Bukankah dengan memburu dan memborong dolar seseorang telah ikut mengacaukan ekonomi dan menaikkan harga-harga yang merugikan masyarakat banyak? dan bukankah dengan mencintai uang dengan memburu bunga besar seseorang lupa bahwa uang itu sepatutnya dipakai untuk menyatakan kasih kepada sesama manusia?
Karena cinta akan uang dan memburu kekayaanlah maka seseorang melakukan pungli dan menciptakan ekonomi biaya tinggi, karena cinta akan uanglah seseorang melakukan korupsi, bahkan tujuan kolusi tidak lain adalah memburu harta demi kepentingan sendiri atau kelompok. Cinta akan uang membuat seseorang melakukan manipulasi jabatan, dan nepotisme yang dilakukan jelas bermotivasikan 'cinta uang' untuk kepentingan keluarga sendiri.
Berdasarkan kenyataan itu, umat Kristen perlu dengar-dengaran akan Firman Tuhan yang tidak merestui umatnya 'cinta uang' dengan memborong dolar atau menimbun rupiahnya di bank, melainkan agar umat kristen 'cinta sesama' dengan cara menggunakan kelebihan uangnya demi menolong mensejahterakan sesama manusia, karena rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius juga mengemukakan suatu peringatan:
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup sebenarnya." (I-Timotius 6:17-19).
A m i n !
[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]