RENUNGAN AGUSTUS 1998

 

PENJARAHAN SEKSUAL

Apakah seorang pencuri tidak akan dihina, apabila ia mencuri untuk memuaskan nafsunya karena lapar? Dan kalau ia tertangkap, haruslah ia membayar kembali tujuh kali lipat, segenap harta isi rumahnya harus diserahkan. Siapa melakukan zinah tidak berakal budi; orang yang berbuat demikian merusak diri. Siksa dan cemooh diperolehnya, malunya tidak terhapuskan." (Amsal 6:30-33)

PENJARAHAN pada akhir-akhir ini makin banyak terjadi, dan sejak tahun 1994, setidaknya ada kerusuhan-kerusuhan dalam skala kota diseluruh Indonesia yang menimpa tidak kurang 50 kota-kota di Indonesia. Di kota-kota itu, kerusuhan selalu menimpa obyek-obyek ekonomi, pemerintahan dan ibadat yang dirusak, dijarah maupun dibakar.

Dalam peristiwa huru-hara di Jakarta pada bulan Mei 1998 jelas terlihat bahwa telah terjadi penjarahan massal yang cukup mengejutkan, bagaimana manusia Indonesia yang banyak dikenal sebagai bangsa yang ramah itu tiba-tiba menjadi beringas dan brutal. Tidak kurang dari 1000 orang meninggal dalam penjarahan mal-mal dan pasaraya di kota Jakarta, belum termasuk di kota-kota lainnya.

Yang mengejutkan bahwa dalam proses penjarahan di bulan Mei itu, telah terjadi pula penjarahan kehormatan/seksual wanita pula. Ini terjadi baik di Jakarta (152 orang) maupun di kota-kota Solo, Surabaya dan Medan (16 orang). Sungguh mengejutkan bahwa kriminalitas telah berkembang sedemikian rupa dan mencapai penjarahan kehormatan wanita yang harus segera dihentikan atau bila tidak diusut tuntas dapat menjadi preseden untuk terus terjadi dimasa mendatang.

PENJARAHAN BARANG

Bila orang-orang melakukan penjarahan barang karena lapar, mungkin hal itu bisa dimengerti sekalipun tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun penjarahan dan pencurian bukanlah cara sesuai hukum yang baik. Sayang soal pencurian dan penjarahan di kota-kota selama ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas sehingga pencurian dan penjarahan barang itu makin menjadi-jadi.

Yang dijarah bukan lagi sembako untuk memenuhi rasa lapar, tetapi barang-barang kenikmatan seperti televisi atau lemari es. Bahkan tidak bisa dimengerti kalau kita melihat di layar berita TV adanya orang yang menjarah perangkat komputer dan membawanya sambil berjalan santai didepan aparat keamanan yang tenang-tenang saja mengamati perilaku demikian.

Sikap toleransi aparat keamanan pada para penjarah ternyata menimbulkan keberanian para pencoleng dan penjahat untuk mencuri dan menjarah barang-barang lebih besar lagi secara berkelompok. Ada kelompok yang beramai-ramai menjarah tambak udang, ada yang menjarah kebon kopi atau jati, adapula yang menjarah lapangan golf sampai peternakan Tapos, dan lebih lagi ada kelompok terorganisir sekarang berani menjarah truk-truk container. Jelas perbuatan jarah-menjarah ini menambah derita rakyat karena ekonomi makin ambur adul.

Sudah tiba saatnya penjarahan barang harus dihukum secara setimpal, baik penjarahan yang telah terjadi sekarang ini maupun yang terjadi dimasa lalu seperti penjarahan uang negara dengan korupsi, penjarahan tanah rakyat untuk rumah mewah, lapangan golf atau pembangunan pasaraya. Bagaimanapun firman Tuhan menyebut bahwa mencuri adalah salah dan penjarahan perlu dihentikan secara hukum, sebab bila tidak kita sudah melihat sekarang bahwa jarah-menjarah kelihatannya sudah mulai menjadi mode umum masakini yang sukar dihentikan.

Pengamsal dalam ayat di atas mengatakan bahwa pencuri harus ditangkap dan harus membayar tujuh kali lipat dan isi rumahnya disita, suatu hukuman yang membuat jera sehingga orang tidak akan melakukan lagi pencurian dan penjarahan dan orang lainpun tidak akan tertarik untuk meniru hal itu bila resiko hukumannya besar.

Hukum harus ditegakkan, dan sekalipun hukum Indonesia tidak mengancam dengan hukuman seperti ayat di atas, setidaknya ada hukum yang bila diberlakukan dapat membuat orang jera dan tidak berbuat lagi. Bila pencurian dan penjarahan barang masih bisa ditebus dengan mengembalikan barang yang dicuri dan dijarah maka bagaimana kita dapat mengembalikan kehormatan seksual yang dicuri dan dijarah?

PENJARAHAN SEKSUAL

Penjarahan seksual atau kehormatan wanita sekalipun sudah sering terjadi dimasa lalu terjadi secara masal pada peristiwa kerusuhan perkotaan di Jakarta, Solo, Surabaya dan Medan pada bulan Mei 1998. Dan bukan saja penjarahan seksual itu terjadi secara massal dan perorangan tetapi dilakukan secara beramai-ramai (group rape). Suatu tindakan yang benar-benar sudah diluar batas kemanusiaan.

Sudah sering kita melihat kasus-kasus penjarahan seksual atau perkosaan yang menimpa masyarakat Indonesia. Hanya sayang selama ini malapetaka itu tidak pernah ditangani secara hukum dengan tuntas. Bukankah kasus penjarahan seksual bahkan sampai pembunuhan sadis dialami oleh Marsinah di Surabaya? Kasus itu masih di peti-eskan hingga saat ini. Kasus-kasus perkosaan ramai-ramai yang terjadi di Aceh maupun Timtim juga kelihatannya masih menggantung dan tidak terselesaikan.

Banyak TKW Indonesia baik yang bekerja di Arab Saudi maupun di Singapura beberapa kali mengalami pelecehan dan penjarahan seksual bahkan pembunuhan dan selama ini pemerintah kurang menanggapi hal itu secara serius atau menuntut pertanggungan jawab secara hukum pada para pelaku di luar negeri itu. Akibat dari sikap yang berlarut-larut dalam penanganan penjarahan kehormatan wanita itu kita melihat terjadinya penjarahan seksual yang sangat luas terjadi di bulan Mei 1998.

Adalah tepat kalau dan perlu didukung bila semua pihak dan kemudian ditanggapi oleh pemerintah mulai secara secara resmi membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap peristiwa yang memalukan bangsa Indonesia di forum Internasional itu, dan bila ada yang ditangkap agar diberikan hukuman setimpal sesuai undang-undang yang berlaku.

Penjarah barang dapat membayar kembali apa yang dijarah, tetapi apa yang bisa dikembalikan oleh penjarah seksual, apalagi kalau yang dijarah adalah kehormatan seorang gadis? Pengamsal dalam ayat pendahulu di atas mengatakan bahwa pencuri dapat mengembalikan barang-barang curian atau hartanya disita, tetapi perjinahan lebih-lebih perkosaan sudah jelas tidak bisa dibayar dengan harga berapapun. Malunya tidak terhapuskan!

Sebagai umat beragama kita harus berdoa agar korban-korban perkosaan baik yang di Aceh, Timtim, Singapura maupun Arab Saudi dan pula yang terjadi pada bulan Mei 1998 mendapat hiburan dan kompensasi lainnya dan mengusutan tuntas pelakunya tanpa pandang bulu dan memberikan hukuman yang setimpal, sebab bila kali ini tidak memuaskan umum, sudah jelas bahwa dalam masa-masa mendatang akan terjadi kerusuhan-kerusuhan perkotaan yang akan diwarnai dengan perkosaan ramai-ramai. Siapakah korban yang akan menyusul? Semoga tidak ada lagi!

A m i n !


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]