RENUNGAN OKTOBER 1998

 

KASUS BANYUWANGI

" & oleh hasutan imam-imam kepala dan tua-tua, orang banyak bertekad untuk meminta supaya Barabas dibebaskan dan Yesus dihukum mati. Wali negeri menjawab dan berkata kepada mereka: "Siapa di antara kedua orang itu yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu?" Kata mereka: "Barabas." Kata Pilatus kepada mereka: "Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Yesus, yang disebut Kristus?" Mereka semua berseru: "Ia harus disalibkan!" Katanya: "Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan?" Namun mereka makin keras berteriak: "Ia harus disalibkan!" (Matius 27:20-23).

Banyuwangi berarti "air yang harum" tetapi belakangan ini kita lihat bahwa Banyuwangi ternyata tidak sama dengan arti namanya, sebab di kota diujung timur pulau Jawa ini telah terjadi penghakiman liar di luar kehakiman dan mendatangkan korban seratus lebih orang dibunuh, apakah karena ia di cap sebagai tukang santet tetapi juga mengenai mereka yang sebenarnya adalah alim-ulama, bahkan orang ketiga yang tidak jelas tuduhannya bisa dibantai karena dicap sebagai "Ninja". Benarkah perilaku main hakim sendiri seperti di atas yang jelas telah mendatangkan ketakutan di kalangan masyarakat umum?

Ayat-ayat Alkitab di atas menggambarkan situasi yang mirip yang terjadi sampai disalibkannya Yesus. Dalam pengadilan Yesus, kelihatannya pihak kehakiman tidak tegas dan tidak dapat memutuskan suatu perkara dengan adil dan cenderung mencuci tangan, akibatnya peran menghakimi beralih ke tangan rakyat dan kita sudah tahu bahwa keputusan massa benar-benar tidak benar, dimana penjahat besar kambuhan bernama "Barabas" minta dibebaskan dan "Yesus" sang juruselamat malah disalibkan! Drama penyaliban orang benar itu telah menyebabkan orang Yahudi sepanjang sejarah mengalami penderitaan yang tidak kunjung usai karena kesalah mereka sendiri tetapi mereka tetap tidak mau bertobat.

Kita melihat dari kasus di atas, bahwa ketika kuasa penghakiman diserahkan kepada massa, maka kebenaran dan keadilan sudah tidak lagi menjadi ukuran, tetapi emosi, sentimen, stigmatisasi, dendam dan balas dendam menjadi ukuran untuk menghakimi seseorang. Subyektivitas mengambil alih obyektivitas dan masyarakat hidup tanpa hukum.

Dalam kasus Banyuwangi, memang sangat disayangkan bahwa peran kehakiman dalam hal ini pengadilan dan aparat keamanan sekalipun bukannya tidak bereaksi tetapi terlalu lamban, maka kita melihat bahwa akhirnya massa-lah yang menjadi hakim sehingga pembantaian itu menjalar meluas ke propinsi Jawa Timur bahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Barat pula. Apakah massa itu berupa kelompok liar atau terlatih, mereka bisa bebas menjatuhkan hukuman mati di luar pengadilan dan dihabisinyalah tukang-tukang santet. Kemudian bila penghakiman oleh massa itu lambat ditangani dan dibiarkan, maka banyak alim-ulama ikut menjadi sasaran pembunuhan.

Ada kemungkinan korban kedua ini dilakukan oleh kelompok pembunuh yang sama yang disebut sebagai "Ninja" tetapi bisa juga dilakukan oleh kelompok Santet yang memang tidak sejalan dengan kaum alim-ulama. Yang jelas situasi menjadi kacau dan mencekam dan mendatangkan ketakutan rakyat. Apa yang terjadi kemudian bila rakyat dibiarkan menjadi hakim sendiri? Sekarang kelompok-kelompok rakyatlah yang menjadi hakim dengan bukan saja membantai para "Ninja" yang tertangkap basah, tetapi juga orang-orang gila atau tidak bersalah yang di-cap sebagai "Ninja" dan makin kacaulah masyarakat seperti domba yang tidak bergembala.

Kita melihat bahwa bagaimanapun peran penghakiman harus berada ditangan penegak hukum, dan jangan sekali-kali diletakkan ditangan rakyat. Tetapi, para penegak hukum perlu benar-benar berjalan secara adil dan benar dan berada di atas hukum. Kita melihat bahwa dalam kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, ketika penegak hukum tidak berfungsi selayaknya, maka rakyatlah yang akan menjadi hakim. Tetapi, dalam kasus kerusuhan di Situbondo, penegak hukum sudah berlaku benar dan adil tetapi massa-lah yang ingin mengadili, akibatnya yang terjadi adalah gedung pengadilan dibakar, dan kemarahan massa kemudian dialihkan ke obyek-obyek ibadat agama lain dan toko-toko dijarah. Siapakah yang dirugikan? Ternyata semua termasuk rakyat umum yang tidak ikut akan menderita!

Dalam kasus di Aceh kita melihat bahwa aparat tertentu tidak bertindak di atas hukum dan melakukan tindakan keliru yang mengakibatkan sebagian rakyat berontak dan melakukan perlawanan yang sama kerasnya. Dari konflik perilaku aparat dan rakyat di luar hukum itulah banyak rakyat tak berdosa ikut diperkosa, diculik, dirampas hartanya bahkan dibunuh.

Dalam kasus kerusuhan yang memuncak di bulan Mei 1998 di Jakarta, massalah yang menjadi hakim dan terjadi pembantaian harta dan banyak obyek-obyek ekonomi milik etnis tertentu. Memang kemarahan terpendam yang dialamatkan pada para konglomerat yang ber KKN sudah mencapai puncaknya, tetapi sebagian besar orang dari etnis tertentu yang tidak ikut bersalah justru ikut menjadi korban dan lebih dari itu masyarakat miskin harus menerima akibatnya berupa kesulitan ekonomi dan kenaikan harga-harga Sembako yang jelas menyengsarakan.

Di Indonesia bagian Timur sering kemarahan massa menghakimi sesamanya. Ketika ada pendatang yang ikut Misa dan salah memperlakukan "hostia" ia bisa dibantai massa yang fanatik, dan ktika ketidak adilan sosial-ekonomi terjadi dengan masuknya para pendatang maka massa marah dan membakar toko dan pasar bahkan mengusir para pendatang yang terdiri kebanyakan dari mereka yang datang dari Jatim dan Sulsel.

Kasus Banyuwangi sudah menjadi pengalaman kita bahwa bila massa dibiarkan menjadi hakim maka balas membalas akan terus terjadi dan kembali rakyat banyaklah yang akan menderita. Tetapi, pengadilan haruslah bersih dan adil dan dengan kebenaran dan keadilan itulah mereka menjadi pelaku-pelaku hukum yang diharapkan menjadi pengayom rakyat.

Pelajaran dari penyaliban Yesus di atas dan kasus Banyuwangi seharusnya menjadikan semua orang terlebih lagi umat Kristen untuk menegakkan kebenaran dalam segala bidang dan menegakkan kembali hukum di Indonesia termasuk aparat-aparat hukumnya seperti pengadilan dan para Hakim, agar janganlah setiap masalah sampai dihakimi oleh massa tetapi biarlah kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan dibumi Indonesia melalui aparat hukumnya.

Bila pengakiman rakyat dibiarkan terus, kita akan menghadapi disintegrasi bangsa dan penghakiman massa yang tidak henti-hentinya dan membawa negara kepada kehancuran, karena itu tidak ada cara lain bagi kita agar kita kembali kepada Tuhan dan menjalankan segala kehendaknya!

A m i n!


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]