RENUNGAN JANUARI 1999

 

DESENTRALISASI

Istilah desentralisasi sebenarnya sudah lama dikenal dan dipopulerkan tetapi baru akhir-akhir ini mencuat kembali di Indonesia sebagai isu aktual.

Soalnya, sekalipun prinsip desentralisasi pemerintahan sudah dicanangkan sedini tahun 1974 (UU No.5), selama orde baru ada yang salah dalam pengelolaan negara dimana prinsip ini dihianati dan digantikan dengan prinsip sentralisasi. Sentralisasi kekuasaan di pusat Jakarta telah membuat situasi politik kacau dan pincang dan kini mengakibatkan bangkitnya kerinduan desentralisasi kekuasaan. Rasa kedaerahan, bangunnya kembali ide negara serikat, pelaksanaan referendum bahkan keinginan propinsi tertentu untuk memisahkan diri makin marak sebagai reaksi.

Sentralisasi yang menina bobokan ekonomi kongglomerat ternyata sudah terbukti membuat negara bangkrut dengan hutang-hutang, itulah sebabnya sekarang ada dorongan kuat dipraktekkannya ekonomi kerakyatan dimana terjadi desentralisasi bantuan permodalan pemerintahan kepada para pedagang kecil. Sejak lama Mubyarto berusaha mendongkrak ekonomi kerakyatan melalui program-program IDT dan pengentasan kemiskinan, dan kini Adi Sasono ingin mendampingi koperasi-koperasi rakyat untuk menggantikan ekonomi konglomerasi yang boros, bahkan sekarang pemerintah sendiri dengan bantuan badan-badan keuangan internasional merasa perlunya digelar jaringan pengaman sosial (social safety net) secara besar-besaran demi pemerataan.

Penata layanan sosial-ekonomi yang selama ini menganut monopoli sentralistis yang terbukti bobrok itu dan yang dikerjakan perusahaan-perusahaan besar yang sedikit sekarang banyak dipercayakan secara desentralistis pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak.

Dalam bidang pembangunan kota sentralisasi pembangunan ternyata terbukti kropos. Pembangunan gedung-gedung tinggi yang mahal ternyata penuh hutang dan KKN, pembangunan mal-mal dan supermarket ternyata mengorbankan usaha kecil dan pedagang kakilima yang sebaliknya malah dikejar-kejar. Dalam kerusuhan-kerusuhan perkotaan rata-rata mal-mal dan supermarket dijarah dan dibakar amuk massa, bahkan pembangunan mal Matahari di Tasikmalaya jelas menggusur para pedagang kecil yang menjadi ciri kota Tasik hingga mal itu menjadi target amuk massa dan sudah dua malnya dibakar di kota industri rakyat tradisional itu. Pembangunan superblok yang dimiliki segelintir jutawan menggusur orang-orang kampung dan rakyat kecil yang jutaan. Kerusuhan perkotaan belakangan ini jelas merupakan pembalasan dendam rakyat tergusur yang ditujukan pada orang-orang yang menguasai dan memonopoli ekonomi kota.

Kita sekarang sudah menyadari bahwa prinsip sentralisasi bukanlah alternatip yang baik dan itu terbukti dengan kuatnya dorongan reformasi untuk mengambil jalan prinsip desentralisasi dalam segala bidang. Bagaimana dengan prinsip yang diberitakan Alkitab?

DESENTRALISASI DALAM ALKITAB

Dalam penciptaan, Allah menciptakan manusia untuk menempati Taman Eden dan agar beranak cucu memenuhi bumi (bukan memenuhi taman Eden), karena ingin menjadi seperti Allah keduanya diusir dari taman Eden. Lamech anak Kain dan poligam pertama itu mempelopori sentralisasi penduduk dengan membangun kota, dan menara babil merupakan simbol sentralisasi dan arogansi manusia untuk mengambil nama bagi diri sendiri. Ini ditolak Tuhan dan manusia di cerai beraikan.

Abraham dipanggil keluar untuk merantau dan menjadi berkat bagi bangsa lain dan ketika keluarga Yakub membeku dan sarat konflik, Yusuf diutus ke Mesir, dan ketika orang Israel sudah keenakan tinggal di kota-kota Mesir, Musa membawa mereka kembali ke Israel. Pelayanan Musa yang sentralistis perlu direvisi oleh mertuanya agar didesentralisasikan dengan mengangkat wakil-wakil untuk membantu pelayanannya secara bertingkat. Prinsip kepemimpinan di bawah para Hakim dan Nabi adalah desentralisasi tetapi umat Israel ingin mempunyai raja yang berkuasa penuh secara sentral.

Rupanya sentralisasi membuka peluang besar arogansi yang berpusat manusia dan mengakibatkan umat lebih berkonsentrasi di kota Yerusalem dengan gedung Bait Allah yang megah dan dikultuskan tetapi tidak mengubah hati umat Israel. Kemarahan Allah membuat Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan dan umat Israel disebar (diaspora) dan kemudian beribadat dalam sinagoga-sinagoga yang banyak yang tersebar.

Kelahiran Yesus merupakan simbol desentralisasi. Ia dilahirkan dikandang yang sederhana tetapi misinya membahagiakan umat di banyak tempat. Pelayanan Yesus dilakukan bukan berpusat gedung tetapi didesentralisasikan melalui manusia kepada para murid, sebanyak duabelas - tujuh puluh seratus duapuluh - dan beribu-ribu murid meneruskan misinya tanpa kantor pusat. Ketika Yesus dimuliakan di atas gunung, murid-muridnya ingin membangun rumah untuk Yesus tetapi Yesus menolak dan dalam ajarannya Yesus tidak mengungkapkan pelayanannya sebagai pohon besar tetapi pokok anggur yang berbuah lebat. Yesus mengutus muridnya untuk melayani dan bukan dilayani dan pergi ke seluruh bumi memberitakan Injil, dan agar umat melakukan kehendak Allah.

Rasul Paulus dengan jelas juga menekankan perlunya desentralisasi kesejahteraan dalam kehidupan Kristen ketika ia mengatakan "Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka & agar ada keseimbangan & Orang yang mengumpulkan banyak tidak berkelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak berkekurangan." (2-Kor.8:13-15).

Kita sering menyanyi di persekutuan-persekutuan Kristen Dia makin bertambah & biar aku makin berkurang. Tetapi, apakah yang sering terjadi dalam sejarah gereja?

DESENTRALISASI DALAM SEJARAH GEREJA

Dalam sejarah, gereja selalu mendua, disatu segi gereja cenderung menyebar kemana-mana, tetapi disegi lain arogansi menara babil untuk meninggikan nama sendiri selalu menggoda dan mendatangkan polusi bagi misi Kristen. Abad-abad kegelapan menandakan dibangunnya gedung-gedung gereja besar, mewah dan megah bahkan pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma mencetuskan reformasi Luther. Gereja-gereja besar demikian di Eropah sekarang pengunjungnya sedikit dan tidak berkuasa mengubah kehidupan umat, bahkan banyak gereja sekarang dijual dan berubah menjadi kuil Budha atau Mesjid. Di Den Haag ada gereja yang dibeli Probosutedjo dan menjadi Mesjid orang-orang Indonesia.

Arogansi sentralisasi kekuasaan dan modal gereja dalam gedung-gedung gereja itu tidak pelak dikritik oleh Gandhi yang mengatakan: saya menghormati Yesus, sayang dibelakangnya bersembunyi para kolonialis dan kapitalis. Memang gereja sering dicap segambar dengan arogansi kolonial dan kemewahan kapitalis. Itulah sebabnya Wesley meninggalkan gereja Anglican yang mewah tetapi tertidur dan berkotbah di ruang-ruang umum, tetapi gereja Metodis yang diwariskannya banyak yang terjerat arogansi yang sama dan mendirikan gedung-gedung mewah pula sehingga William Booth meninggalkannya dan menjadi Bala Keselamatan yang membawa shalom nyata pada rakyat miskin.

Masakini kecenderungan membangun gereja-gereja Mega juga menghinggapi umat Kristen di Indonesia meniru megachurch di Amerika dan Korea. Lebih-lebih di kalangan yang mengajarkan kemakmuran membangun gereja mewah dianggap sebagai bukti gereja yang diberkati. Sentralisasi uang jemaat demikian banyak menghambat desentralisasi harta, kesejahteraan dan misi gereja dan biasanya rentan perpecahan dan praktek KKN. Beberapa gereja besar di Jakarta sekarang dalam kasus pengadilan karena kasus ruilslag yang sarat KKN, dan ada sinoda yang mempunyai beberapa gereja mega bahkan ada pendetanya yang menyumbang mesjid sebesar satu milyar memiliki gereja-gereja anggota yang miskin-miskin yang banyak diantaranya meminta bantuan keuangan dari Yayasan Bina Awam (yang nota bene tidak memiliki gedung).

Roh menara babil yang mengubah konsep kerajaan Allah (yang desentralistis) menjadi kerajaan sendiri (yang sentralistis) tidak lepas menghinggapi kalangan yang mengaku setia pada Injil dan yang mengatas namakan Roh Tuhan. Bahkan dikala Indonesia sedang menggebu-gebu memerangi kemiskinan dan melakukan jaring pengaman sosial dan dikala banyak umat Kristen Indonesia menghadapi penderitaan dan gerejanya dibakar massa, jaringan doa yang mempopulerkan doa keseluruh Indonesia malah terjerat dengan tega-teganya di tengah krisis meminta-minta jemaat sumbangan untuk membeli gedung kantor baru bermilyar rupiah. Suatu arogansi membangun kerajaan sendiri tetapi miskin sense of crisis di tengah masyarakat Indonesia yang menderita yang sekarang banyak dihinggapi kelaparan, kemiskinan dan pengangguran yang meningkat.

Tepatlah kritik Nabi Yesaya pada mereka yang mengkultuskan ritus ibadat lebih dari pertobatan yang menekankan sentralisasi lebih dari desentralisai dan mengingatkan perlunya menghayati firman Allah secara benar dibalik hingar bingar ritus agama, dan menyerukan agar:

"Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang yang miskin dan yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri." (Yes.58:6-7).

Karena itu saudara-saudara kita perlu setia kepada panggilan kita semula dan ikut dalam melaksanakan prinsip desentralisasi dalam pelayanan dan kasih kita kepada sesama, tetapi perlu disadari bahwa hal ini tidak mudah, karena kekristenan yang sudah melembaga cenderung didukung oleh penguasa dan pengusaha yang pada dasarnya bermoral sentralisasi sehingga usaha desentralisasi perlu diperjuangkan dengan tekun dalam setiap bentuk pelayanan. Injil jangan dijadikan komoditas retorik tetapi perlu diejawantahkan sebagai shalom yang nyata di tengah-tengah masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup baik secara imani maupun secara sosial dan jasmani! Amin!


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]