RENUNGAN AGUSTUS 1999


Belakangan ini istilah 'Feminisme' mulai mencuat di Indonesia sejalan dengan gerakan Reformasi yang sudah bergulir. Dari 'Suara Ibu Peduli' yang membela kaum ibu yang jadi korban krisis ekonomi, kaum buruh perempuan khususnya pembelaan atas 'buruh wanita Marsinah' suara itu bergulir terus, bahkan KIPP dalam rangka Pemilu tidak lupa menganalisis partai-partai mana yang membela kaum wanita. Semua ini menunjukkan adanya riak-riak Feminisme yang mulai menampakkan kehadirannya di Indonesia.

MENGAPA ADA FEMINISME?

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus 'tunduk kepada suami!' (Efs.5:22) dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.

Dari latar belakang demikianlah di Eropah berkembang gerakan untuk 'menaikkan derajat kaum perempuan' tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul 'Vindication of the Right of Woman' yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku 'The Feminine Mystique' yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama 'National Organization for Woman' (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya 'Equal Pay Right' (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan 'Equal Right Act' (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah 'Student for a Democratic Society' (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok 'feminisme radikal' dengan membentuk 'Women's Liberation Workshop' yang lebih dikenal dengan singkatan 'Women's Lib.' Women's Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya 'Miss America Pegeant' di Atlantic City yang mereka anggap sebagai 'pelecehan terhadap kaum wanita' dan 'komersialisasi tubuh perempuan.' Gema 'pembebasan kaum perempuan' ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Melihat etikad baik kaum perempuan ini sebenarnya gerakan ini semestianya mendapat dukungan bukan saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian banyak kritik diajukan kepada mereka?

SASARAN KRITIK

Sebenarnya bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok feminisme radikal yang bersembunyi di balik 'women's liberation' telah melakukan usaha-usaha yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan sikapnya yang kurang menerima tuntutan 'Women's Lib' itu karena mereka kemudian banyak mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari 'agama patriachy' atau 'agama kaum laki-laki.'

Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak, perumahan maupun pendidikan harus diperjuangkan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi kaum perempuan juga harus sadar bahwa secara kodrati mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga, itulah sebabnya adalah salah kaprah kalau kemudian hanya karena kaum perempuan mau bekerja lalu kaum laki-laki harus tinggal di rumah memelihara anak-nak dan memasak. Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.

Bila semula gerakan kaum perempuan 'feminisme' itu lebih mengarah pada perbaikan nasib hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal 'Women's Lib' telah mendorongnya untuk mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme menjadi suatu 'agama baru.'

Sebenarnya halangan yang dihadapi 'feminisme' bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga. Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang 'diperlakukan demikian,' atau bahkan ikut mengembangkan perilaku 'maskulinisme' dimana laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari 'pelecehan seksual' banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan 'Miss' ini dan 'Miss" itu, akibatnya usaha menghentikan yang dianggap 'pelecehan'itu terhalang oleh sikap sebagian kaum perempuan sendiri yang justru 'senang berbuat begitu.'

Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai 'penguasa masyarakat,' (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian. Dalam agama-agama sering terjadi 'pelacuran kuil' dimana banyak gadis-gadis harus mau menjadi 'pengantin' para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh 'Children of God' dan 'Kelompok David Koresy', dan di kalangan Islam fundamentalis banyak dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum laki-laki di masyarakat!

Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women's Lib) adalah bahwa mereka dalam obsesinya kemudian 'mau menghilangkan semua perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-laki.' Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki diperbolehkan ikut menikmati 'cuti haid dan hamil' padahal mereka tidak pernah haid dan tidak mungkin hamil. Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra atau partner tetapi sebagai 'saingan' (rival) bahkan 'musuh ' (enemy)!' Sikap feminisme yang dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya 'sangat eksklusif' itulah yang kemudian mendapat kritikan luas.

Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap 'pelecehan seksual;' mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti 'Women's Lib' mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme, bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini karena ada kelompok radikal yang 'menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga' dan menganggap 'perkawinan' sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap 'hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!'

Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa teolog-perempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai 'History' diganti dengan 'Herstory' dan lebih radikal lagi agar semua kata 'Bapa' untuk menyebut Allah dalam Alkitab harus diganti dengan kata 'Ibu.' Ibadat dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi menyebut 'Allah Bapa tetapi Allah Ibu' atau the 'Mother Goddess,' bahkan lambang salib perlu diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga menjadi lambang kaum perempuan.

Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga kelangsungan keturunan yang 'takut akan Tuhan' (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan 'paruh waktu' lebih-lebih selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi 'penolong' bagi isteri dalam tugas ini.

Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan sendiri tidak mengakui 'pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi' dan menganggapnya lebih inferior daripada misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara atau pengusaha, dalam sikap ini kita dapat melihat sampai dimana kuku feminisme radikal sudah pelan-pelan menusuk daging.

Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika Serikat, isterinya 'Raisa' bersama 'Barbara', isteri presiden Amerika Serikat George Bush, diundang untuk berbicara disuatu 'Universitas perempuan yang terkenal.' Ketika keduanya berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan 'women's lib' meneriakkan yel-yel bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian berkomentar bahwa 'memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu profesi luhur yang tiada taranya!'

SEBUAH INTROSPEKSI

Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap 'Women's Lib' khususnya dan 'Feminisme' umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya 'feminisme' itu timbul sebagai reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan. Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng 'atas namakan' agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.

Dalam menyikapi 'feminisme' sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak menolaknya secara total, sebab sebagai 'gerakan persamaan hak' harus disadari bahwa usaha gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk radikal melewati batas kodrati sebagai 'gerakan pembebasan kaum perempuan' seperti yang secara fanatik diperjuangkan oleh 'Women's Lib.'

Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki, keberadaan 'sejarah Alkitab' harus diterima sebagai 'History' dan data-data para patriach (bapa-bapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai 'penolong' yang sejodoh yang sekaligus menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.

Kita harus sadar bahwa arti 'penolong' bukanlah berarti 'budak' tetapi sebagai 'mitra' atau 'tulang rusuk yang melengkapi tubuh.' Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak melanggar kodrat manusia. Kita harus sadar bahwa kotbah-kotbah yang sering menyalahgunakan ayat-ayat Efesus fasal 5 tentang 'hubungan suami dan isteri' (yang juga dilakukan oleh banyak penginjil perempuan) harus diletakkan dalam konteks bahwa 'suami harus mengasihi isterinya' (Efs.5:25). Tunduk dalam ayat-22 bukan sembarang tunduk (seperti kepada penjajah atau majikan) tetapi seperti kepada Tuhan (Kristus), dan 'kasih' bukanlah sekedar cinta tetapi dalam pengertian 'kasih Kristus' yang 'rela berkorban demi jemaat' (Efs.5:25) dan seperti 'laki-laki mengasihi' dirinya sendiri' (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa 'berkorban' itu jauh lebih besar dan sulit dilakukan daripada 'tuntuk' bukan?

Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat 'patriachy' sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya. Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut 'feminisme' tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum laki-laki agar 'persamaan' (equality) tidak kemudian menjurus pada 'kebebasan' (liberation) yang tidak bertanggung jawab.

Indonesia sebagai negara yang mempunyai budaya feodal memang menempatkan kaum perempuan di dapur, dan sekalipun ibu kita 'Kartini' sudah membela hak-hak kaum perempuan dan menaikkan masa depan kehidupan mereka agar lebih cerah, kelihatannya tempat kaum perempuan masih belum cukup cerah. Situasi di Indonesia memang sudah lebih baik dengan adanya menteri-menteri perempuan dan kini sudah banyak orang yang mengharapkan diterimanya presiden perempuan, tetapi kelihatannya masa depan kaum perempuan di Indonesia masih terus harus diperjuangkan, bukan saja oleh kaum perempuan sendiri melainkan juga oleh kaum laki-laki. ***

A m i n !


[ YBA Home Page | Renungan sebelumnya]