RENUNGAN-3 2003
[_private/r_list.htm]Mendoakan Perang
“Maka kata Yesus kepadanya: Masukkan pedang itu kembali ke sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.” (Matius 26:52).
Kita dikejutkan bahwa belum lama ini Amerika Serikat menyerbu Irak, dan sejak itu surat-surat kabar dan majalah, bahkan TV ramai meliput adegan perang yang membuat banyak orang tidak enak hati, sedih, simpati atas korban yang berguguran, namun sukar untuk bisa memberikan bantuan secara nyata untuk menghentikan perang yang bagaimanapun selalu menimbulkan korban.
Bagaimanapun orang mengetahui bahwa pada zaman ini perang tidak memecahkan masalah, soalnya perang adalah tindakan memaksakan diri satu pihak atas pihak lain, dan dalam keadaan ini sekalipun salah satu pihak akhirnya menang, dendam di hati yang kalah akan membara dan akan menghasilkan balas membalas yang berkepanjangan, apakah itu berupa teror atau lainnya.
Perang di Palestina yang dalam dasawarsa terakhir sudah makin membaik dan menuju perdamaian, dirusak oleh hadirnya tokoh-tokoh garis keras dari kedua belah pihak. Di satu pihak hadirnya politikus garis keras di jajaran pemerintah Israel menjadikan perdamaian menjauh dan pejuang garis keras di Palestina juga makin memperparah permusuhan dengan bom-bom bunuh diri mereka. Kehadiran tokoh-tokoh garis keras malah menajamkan permusuhan, demikan juga kita sudah melihat bahwa kehadiran bom-bom bunuh diri bukan meredam permusuhan malah meluaskan perang.
Perang di Irak juga menjadi contoh betapa ketamakan manusia yang sedikit mengorbankan rakyat banyak. Ketika Irak menyerbu Kuwait dan menularkan semangat partainya ke negara-negara tetangga, negara-negara tetanggannya yang nota bene sesama Arab akhirnya malah ikut memeranginya dan dalam perang kali ini juga berpihak secara diam-diam melawan Irak. Amerika Serikat dengan segala alasan ketamakan menguasai politik global dan minyak juga akhirnya bertindak memulai perang, suatu tindakan yang tidak terpuji dan yang menghasilkan duka lara di kalangan rakyat Irak.
Di kalangan agama setidaknya ada tiga golongan reaksi menghadapi perang, (1) ada yang panas hati dan berpihak kepada yang diserang bahkan membawa alasan-alasan agama untuk mendukung, ada juga (2) reaksi tetapi bukan untuk mendukung tetapi membela sikap yang menyerang. Kedua pihak ini tidak membantu memecahkan masalah yang sebenarnya.
Reaksi ketiga (3) adalah sikap yang netral yaitu menolak perang dan tidak menyalahkan salah satu pihak atau lebih baik mengingatkan kedua pihak. Dalam perang di Irak, kedua pihak mempunyai kesalahan yang membuat pihak lainnya melawan. Sikap ketiga yang netral inilah yang harus kita dukung untuk meredakan perang. Kita harus menyalahkan kesalahan pihak manapun dan kita harus membela kebenaran pihak manapun, dengan demikian agama bukan dijadikan pembenaran untuk membela golongan tetapi membela kebenaran, karena Tuhan adalah Tuhan atas semua manusia, bukan milik golongan, dan Tuhan menghendaki semua golongan menjalankan kebenaran-Nya dan menyalahkan semua golongan yang tidak mentaatinya.
Adakalanya ada pihak-pihak yang mau menjadikan perang sebagai pembenaran untuk membela agama, baik di Amerika Serikat ada kelompok-kelompok agama yang membela perang presidennya, namun Dewan Gereja di Amerika Serikat dan banyak kelompok agama lainnya menentang sikap perang presiden mereka. Demikian juga sekalipun banyak demo yang mengatasnamakan agama yang membela Irak, jelas banyak juga kalangan seagama dengan Irak yang tidak peduli dengan serangan ke Irak. Negara-negara tetangga Irak tidak satupun yang membela Irak, sekalipun banyak penduduknya menolak perang itu.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa perang ini bukan masalah agama, namun kebetulan melibatkan sebuah negara yang menjadi korban yang mayoritas penduduknya menganut agama tertentu. Kita bersyukur bahwa sekalipun ada yang secara radikal ingin berperang melawan penyerbu, mayoritas penduduk Indonesia menolak perang dengan damai, soalnya kalau kita menolak pedang dengan pedang, apakah yang akan diperoleh? Luka-luka! Karena itu usaha keras yang perlu dilakukan adalah untuk menyarungkan pedang kedua belah pihak, terutama yang memulai perang!
Umat beragama perlu melawan nafsu perang, ketamakan untuk menguasai harta orang lain, dan kesombongan untuk meninggikan diri di atas orang lain. Panggilan untuk manusia adalah agar manusia berusaha dengan segala cara untuk menghentikan perang.
Memang ada kalanya di kalangan agama tertentu menganut etika situasi dengan konsep ‘Just-War’ mereka, jelas ini tidak sesuai dengan ajaran Yesus sendiri dimana hukuman adalah hak Allah dan tugas manusia adalah ‘menyarungkan pedang’. Bagaimana manusia bisa menjadi alat penghukum Allah kalau manusia beragama sendiri memiliki dosa juga? Yesus berkata “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh.8:7) Tetapi Yesus juga berkata kepada perempuan itu: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh.8:11).
Sekalipun tidak mungkin ikut serta dalam perundingan-perundingan yang ditingkat duniapun para ahli perunding gagal untuk menghentikan perang, kita sudah melihat bahwa demo-demo yang bagaimanapun ternyata juga tidak berhasil menghentikan perang yang sudah terjadi, mungkin kita dapat menjalankan alternatif yang lain.
Marilah kita memperbanyak doa agar Tuhan sendiri yang menyatakan mujizatnya untuk menghentikan perang dengan menyadarkan semua pihak, terutama yang memulai perang, dan agar Tuhan berkenan menolong mereka yang berkorban yang umumnya diderita masyarakat umum dan bukan politikus yang ikut berperang. Selain itu, kita dapat mengumpulkan dana yang ditujukan untuk membantu korban-korban perang agar penderitaan mereka menjadi lebih ringan, sambil memberikan dukungan kepada wakil-wakil kita di PBB agar melalui forum itu perang dihentikan.
Ya Tuhan, datanglah kerajaan-Mu dan jadilah Kehendak-Mu di bumi ini!
(artikel untuk Gema Gereja harian Pikiran Rakyat Bandung, tanggal 5 April 2003)
Salam kasih dari Herlianto & YABINA ministry