Saksi Bagi Kristus April_ 2010



04 - SABAT dan MINGGU
 


 



“Dalam Perjanjian Lama diajarkan ritual Sabat, yaitu perhentian pada hari ketujuh (Sabtu) dari semua pekerjaan. Namun, adat-istiadat Yahudi lama kelamaan tidak lagi mengerti hakekat Sabat yang memberi kelegaan/pembebasan/istirahat tetapi kemudian menjadikan Sabat sebagai syariat yang memberatkan umat. Yesus datang menjadi Tuhan atas Sabat dan untuk menggenapkan hari kelegaan/perhentian yang sebenarnya.”


Pengaruh
tradisi Yudaisme atas kekristenan pada aliran-aliran kultus abad-XIX adalah pemeliharaan hari Sabat (sabtu) dan pemulihan ritual Taurat (a.l. merayakan hari-hari raya Yahudi dan soal makanan halal-haram).

 

Sejak PL, Sabat sebagai hukum keempat (Kel. 20:11) terus dijalankan secara ketat oleh orang Yahudi, bukan sekedar sebagai peringatan tentang hari tertentu dimana seseorang mengalami istirahat/perhentian setelah seminggu bekerja, namun dalam ibadat kemudian hal ini membeku menjadi ritual syariat yang mengkramatkan hari sabtu yang membatasi dan membebani kehidupan manusia. Demi Sabat orang tidak boleh berjalan jauh sekalipun itu untuk tugas mulia, dan demi Sabat seseorang tidak mungkin menolong ternaknya yang terperosok di jurang kalau jaraknya melebihi syariat Taurat yang sudah digariskan. Pokoknya Sabat berbeda dari artinya semula sebagai hari yang membebaskan, sekarang berubah menjadi hari yang membelenggu umat.

Sejak Yesus melayani, Ia masih beribadah di hari Sabat (Luk.4:16,31), tetapi bukan sebagai pengikut ritual taurat yahudi tetapi karena itu adalah hari dimana Ia bisa bertemu umat yang berkumpul di rumah ibadat. Selanjutnya pandangannya mengenai hari Sabat mulai kelihatannya berubah kepada arti Sabat yang sebenarnya, Ia  menjelaskan bahwa Daud melanggar syariat Sabat lahiriah demi Sabat Rohani dan sosial yaitu pembebasan kehidupan riel kepada para pengikutnya (Luk.6:4-5). Bahkan Yesus sering menyembuhkan orang dihari Sabat yang oleh orang Farisi dianggap melanggar Sabat, suatu yang mereka anggap sebagai dipersalahkan dalam ibadat hukum Taurat (Luk 6:6-11;13:14). Dalam konteks ini Yesus berkata kepada mereka yang menentangnya:

“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Markus 2:27-28).

Ada juga yang menyalah-tafsirkan ayat itu seakan-akan Yesus menunjukkan perintah untuk memelihara Sabat, padahal konteks ayat itu menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu membantah pengertian orang Farisi mengenai bagaimana memelihara Sabat! Inti Sabat sebenarnya adalah satu hari yang mendatangkan damai sejahtera dan kelegaan kepada manusia setelah seseorang mengalami beban pekerjaan selama 6 hari lamanya. Yesus mengatakan kepada mereka yang lelah dan menanggung beratnya kehidupan kerja disekelilingnya:

“marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kata ‘kelegaan’ adalah terjemahan kata yunani ‘katapausis’ yang sebenarnya merupakan terjemahan kata Ibrani ‘Sabat’ (Kel. 20:11) seperti yang bisa dijumpai dalam Septuaginta (terjemahan Yunani dari Tanakh Ibrani).

Sikap Yesus terhadap hari Sabat secara konsekwen dinyatakan dengan kebangkitannya bukan pada hari Sabat hari ketujuh tetapi ‘pada hari pertama dalam minggu’ (Mat.28:1). Ini menarik karena kemenangannya atas maut dan ke’tuhan’annya tidak dinyatakan pada hari ‘Sabat Sabtu’ tetapi pada ‘hari Minggu’ karena Ia telah menjadi dan mendatangkan Sabat Yobel bagi manusia.

Kita mengetahui bahwa dalam tradisi Israel, setelah 7 kali 7 tahun (= 49 tahun), maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Jobel dimana terjadi pembebasan total bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan. Dalam hitungan hari, setelah 7 kali 7 hari (= 49 hari), hari pentakosta (= hari ke-50) biasanya dirayakan juga (Im.23:15-21; Ul.16:9-11). Hari ke-50 adalah hari Minggu, satu hari setelah sabtu sabat ke-7.

Demikian juga pada hari kebangkitan-Nya itu, Yesus mendatangi para murid yang berkumpul dan menghadirkan “damai sejahtera dan sukacita” (Yoh.20:19-23). Seminggu kemudian pada hari minggu berikutnya ketika para murid kembali berkumpul, para murid mengatakan kepada Thomas bahwa: “kami melihat Tuhan” dan ketika Thomas sendiri melihatnya keluarlah pengakuan “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh.20:24-29), pengakuan jemaat awal yang menegaskan bahwa ‘Yesus adalah Tuhan’ yang identik dengan pengakuan kepada Yahweh sendiri (Mzm.35:23-24). Dari sinilah timbul istilah ‘Hari Tuhan’ (kuriake Hemera) untuk menyebut hari pertama dalam minggu dimana Yesus menyatakan diri sepenuhnya sebagai ‘Tuhan’. Rasul Yohanes melihat penglihatan pada ‘hari Tuhan’ (Why.1:10) dan ‘hari Tuhan’ juga akan menunjukkan hari kedatangan-Nya yang keduakali kelak untuk menghakimi manusia (Kis.2:20; 2 Ptr.3:10). Istilah ‘hari Tuhan’ dalam PB tidak ditujukan kepada Yahweh melainkan kepada Tuhan Yesus.

Setelah ‘bangkit pada hari minggu’ Yesus menyatakan diri pada para murid pada ‘hari minggu’ berikutnya dimana mereka berkumpul mengenang kebangkitan Yesus untuk makan roti dan doa (band. Kis.20:7). Demikian juga pada hari minggu mengenang kebangkitan-Nya Ia mengaruniakan ‘Roh Kudus’ kepada murid-murid-Nya (Yoh.20:22), dan Roh Kudus dicurahkan kepada umat manusia pada ‘hari Minggu’ yaitu pada hari ‘Pentakosta’ (hari ke-50 setelah Sabat Paskah). Hari Pentakosta dianggap sebagai kelahiran gereja Kristen. Gereja Kristen lahir pada hari Minggu, hari mengenang kebangkitan Yesus yang menandakan kemenangannya atas dosa dan maut.

Semua ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus Kristus memang menghendaki kita menjadikan ‘hari Minggu’ sebagai ‘hari Tuhan’ dimana kita mengenang Sabat, bukan dalam pengertian Sabat Yahudi yang berupa ritual yang memberatkan umat, namun dalam pengertian ‘Tahun Rahmat Tuhan’, Sabat Akbar (Yobel) yang dikenang sebagai membebaskan umat manusia dari segala penderitaan mereka.

Perlu disadari bahwa hari Minggu bukanlah hari Sabat dalam pengertian ritual tradisi Yahudi, dan sekalipun para murid kemudian masih menghadiri perayaan hari Sabat di Bait Allah / Sinagoga, mereka melihat Sabat sebagai menunjuk Yesus yang menjadi Sabat bagi manusia. Kemudian, para murid berangsur-angsur meninggalkan pertemuan Sabat di rumah ibadat Yahudi dan berkumpul memecahkan roti di hari minggu di rumah-rumah mereka (Kis.2:42;20:7; 1Kor.16:2). Persekutuan demikianlah yang kemudian menjadi hari persekutuan rutin bagi para murid Yesus sebagai hari kenangan mingguan hari kebangkitan Yesus, kebiasaan mana dilakukan sedini hari kebangkitan Yesus (Yoh.20:1,19) dan Pentakosta (Kis.2).

Semula para murid Yesus yang berasal dari bangsa Yahudi masih melakukan pertemuan di hari Sabat sebagai bagian tradisi sosial-budaya Yahudi dan tidak memisahkan diri dari persekutuan dengan bangsa Yahudi, namun karena Sabat adalah khas terkait dengan perjanjian kepada Musa yang berkaitan dengan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan tidak ada dalam perjanjian kepada Nuh untuk umat manusia, maka karena Sabat ditujukan kepada umat Israel sebagai bagian ritual Taurat, umat Kristen yang berasal dari orang asing umumnya tidak ikut beribadat di hari Sabat, apalagi di rumah ibadat Yahudi (sinagoge).

Karena perkembangan kekristenan yang cukup pesat dan dianggap menjadi duri dalam agama Yahudi, kemudian ada peraturan yang dikeluarkan pimpinan agama Yahudi tentang Birkat Ha-Minim (doa melawan penyesat), yang melarang semua pengikut Kristus berada di Bait Allah / Sinagoge pada hari Sabat, peraturan ini menyebabkan umat Kristen yang orang Yahudi kemudian berkumpul di rumah-rumah di hari minggu karena mereka sekarang dilarang menghadiri pertemuan Sabat di hari sabtu di Sinagoge.

Perlu diingat kembali, benar bahwa dalam hidupnya Yesus sering menghadiri pertemuan di hari Sabat namun itu bukan untuk merayakan hari Sabat sesuai tradisi Yahudi (sehingga Ia disalahkan oleh orang Farisi sebagai melanggar Sabat) melainkan karena disitulah Ia bisa bertemu umat yahudi yang berkumpul dimana Ia bisa bersaksi tentang firman Tuhan terutama untuk menyatakan bahwa Ia adalah Tuhan sendiri penggenap Sabat Yobel (Luk.4:18-19), karena kalau Ia masuk ke sinagoga dihari lain tentu tidak ada yang berkumpul, tetapi setelah kebangkitan-Nya dari antara orang mati ketika para pengikut-Nya makin banyak, Ia tidak berkumpul di hari Sabat menemui umat agama Yahudi melainkan menjumpai murid-murid-Nya pada hari minggu dan menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang Bangkit kepada mereka:

“Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" Dan sesudah berkata demikian, Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan. …  Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!".” (Yohanes 20:19-20,28)

Kematian dan kebangkitan Yesus telah menggenapi pembebasan umat manusia dari dosa sehingga umat kristen tidak lagi perlu menambahinya dengan usaha baik manusia termasuk menjalankan ritual Sabat. Demikian juga ketika Rasul Paulus melayani di luar Israel, ia menemui orang-orang Yahudi di sinagoge pada hari Sabat tetapi bukan untuk merayakan Sabat tetapi untuk berkomunikasi sambil menyatakan kuasa Allah (Kis.16:13-18), dan ia menemui umat kristen di hari minggu dan mengingatkan jemaat di Galatia agar tidak lagi menekankan upacara hari-hari raya Yahudi melainkan mengenal Allah yang benar yang telah membebaskan umat-Nya dari perhambaan Taurat Yahudi (Gal.4:1-11, terutama ayat.10-11).

“Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Galatia 2:16).

Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Paulus juga menulis:

“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.” (Kolose 2:16-17)

Bapa-Bapa gereja sesudah rasul Yohanes meninggal (akhir abad pertama) juga menguatkan bahwa perkumpulan di hari minggu sudah dipraktekkan secara luas di kalangan Kristen. Kita sudah melihat bahwa umat Kristen menyebut hari minggu sebagai ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why.1:10), sebagai hari ‘Tuhan Yesus’, yang bangkit pada hari pertama dalam minggu.

Ada yang menafsirkan bahwa ‘hari Tuhan’ itu bukan menunjuk pada hari minggu tetapi menunjuk pada ‘hari penghakiman Tuhan terakhir,’ namun konteks Wahyu 1:10 menunjukkan bahwa hari dimana Yohanes menerima wahyu itu disebut ‘kuriake hemera,’ padahal biasanya dalam LXX, untuk menunjuk kepada ‘hari Tuhan’ yang maksudnya sebagai hari penghakiman terakhir, LXX menggunakan istilah berbeda, yaitu ‘he hemera tou kyriou.’ Hari Tuhan, selagi mencakup nafas perhentian Sabat yang lama sekaligus mengungkapkan pembaharuan dalam Roh Kudus, dan bukannya dalam huruf-huruf yang lama (Rm.7:6). Hari Minggu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti ‘Tuhan,’ yang kemudian dijadikan kosa kata Indonesia menjadi hari ‘Minggu.’

Dalam Didache 14 (kitab pengajaran Ke-12 Rasul dari abad awal) dengan eksplisit disebutkan bahwa ‘kuriake hemera’ adalah hari minggu. Ignatius (115 M, Epistle to the Magnesian) mengatakan:

“Jangan kita memelihara lagi hari Sabat, melainkan merayakan Hari Yesus Kristus, pada hari mana hidup kita bangkit dari kematian oleh Dia.”

Justinus Martir (165 M) mengatakan bahwa:

“pada hari pertama itu dengan mengubah gelap menjadi terang Tuhan menjadikan dunia, dan karena Yesus Kristus, Juru-selamat kita, pada hari itupun, yaitu hari pertama dalam pekan, bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada murid-murid-Nya.”

Melito, uskup Sardis (190 M) menulis thesisnya berjudul ‘Hari Tuhan’ yang maksudnya ‘hari Minggu.’ Sedangkan bapa gereja lainnya, yaitu Tertulianus (200 M) mengatakan bahwa:

“hari Tuhan, yaitu hari kebangkitannya, kita bukan hanya meninggalkan kebiasaan berlutut, tetapi juga menanggalkan segala kesusahan dan segala yang menindas kita serta bangkit bekerja.”

Demikian juga Clemens dari Alexandria (220 M) mengatakan bahwa:

“hari pertama dari tiap-tiap pekan telah menjadi hari perhentian, karena kebangkitan (Tuhan Yesus) dari kematian.” 

Dari data-data di atas kita dapat melihat bahwa kebiasaan berkumpul pada hari Minggu oleh umat Kristen di rumah-rumah menggantikan berkumpul di hari Sabat Sabtu Yahudi di rumah ibadat, disamping jemaat di Israel sejak hari kebangkitan Tuhan Yesus dan Kisah Para Rasul, ternyata sudah menjadi praktek jemaat kristen sejak abad pertama baik di Afrika Utara, Eropah maupun Asia Kecil, jauh sebelum kekaisaran Konstantin pada abad-IV meresmikan hari minggu dengan mengeluarkan edik sebagai hari istirahat negara. Mendukung kenyataan yang telah berjalan tiga abad lamanya itu, pada tahun 321 M, kaisar Konstantin mengeluarkan edik yang menentukan hari minggu sebagai hari istirahat negara dan meliburkan/menutup gedung-gedung pemerintahan pada hari itu, sehingga para pegawai dapat pemerintah dapat mengalami kelegaan setelah enam hari bekerja keras. Edik ini bukan merupakan produk ketentuan yang baru lahir, melainkan meresmikan kebiasaan di kalangan umat kristen yang sudah berjalan tiga abad lamanya.

Pengertiannya yang dikandung dalam edik di sini adalah bahwa masyarakat harus berhenti/libur dari pekerjaan sehari-hari dan menghadiri pertemuan ibadat di hari minggu. Hari minggu tidak pernah dianggap sebagai hari Sabat (seperti dimengerti dalam agama Yahudi). Baik Roma Katolik maupun Orthodox tidak menganggap ibadat hari Minggu sebagai penerusan Sabat Yahudi. Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin juga menekankan hari Minggu sebagai hari istirahat dan hari berbakti bagi umat Kristen, dan mereka juga menolak mengkaitkan hari Minggu dengan hari Sabat Yahudi.

Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari istirahat dan berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai perbuatan baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan hari Minggu adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita mengenang dan merayakan hari kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah memerdekakan mereka dari perhambaan kerja, karena Ia adalah Tuhan yang telah bangkit! ***

Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org


 


 SBK Sebelumnya