Diskusi September 2006

Form untuk mengirim pertanyaan


 

LIBERALISME DI BELANDA, sebuah diskusi
 

Artikel ‘Liberalisme di Belanda’ ternyata mendapat banyak sambutan positif karena bisa dijadikan cermin bagi banyak orang, namun ada juga beberapa tanggapan yang diajukan. Berikut diskusinya:

(Tanggapan-1) Disebutkan bahwa: "Eropah kini menjadi makin sekuler, dan negara yang paling sekuler adalah Belanda. ... Menurut Prof Jongeneel ... penduduk Amsterdam, yang 200 tahun yang lalu hampir seluruhnya beragama Kristen (99%), sekarang tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja.” Padahal, menurut CBS (Centraal Bureau voor de Statistiek). Belanda tahun 2002 komposisi penduduk beragama sbb : 31 % masih memegang roma katolik; 21 % kristen protestan ( 14 hervomd dan 7 gereformeerd); dan 5 % islam. Sisanya 40 % tidak beragama. dan data Desember 2003 masih menemukan 6 dari 10 orang di Belanda masih menjadi anggota salah satu denominasi gereja. Terakhir IFES Nederland selalu mengirimkan kontingen terbesar untuk konfrence2 se-Eropa. Mengapa angka jauh berbeda?

(Jawaban-1) Kita harus bisa membedakan antara kesimpulan data sampel lokal Amsterdam dan sampel Nasional Belanda, karena keduanya berbeda lingkup dan variabelnya. Jongeneel memasukkan dalam variabel kristen, yang dibaptis dan ke gereja di Amsterdam (10%), sedangkan CBS memasukkan variabel semua yang tercatat sebagai anggota gereja di Belanda, jadi tentu berbeda dan lebih besar. Sekalipun begitu, di Belanda ada kawasan Bible Belts yang tentu angka-angka persentasi Kristen di sana lebih besar dari angka nasional.  Wikipedia dibawah Protestant Church in the Netherlands (sesudah penggabungan NHK, GKN, dan ELK pada 1 Mei 2004) menyebut PKN hanya memiliki 17 % anggota sesudah Roma Katolik, inipun mengakomodir kebiasaan NHK yang memasukkan dalam daftar mereka yang belum dibaptis tetapi memiliki orang tua yang anggota NHK (dan termasuk yang terdaftar tetapi tidak ke gereja). Apalagi kalau kita melihat posisi politik CBS sebagai badan pemerintah yang cenderung mencantumkan data global yang berpihak ke pemerintah. Wikipedia pun dibawah Amsterdam (municipality) menunjukkan data yang diupdate tanggal 8 Agustus 2006, hanya 19% di kota itu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kristen (9% RK, 3% NHK, 2% Lutheran, dan 1% GKN). Kalau satu dari dua orang Amsterdam yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kristen saja yang masih ke gereja sudah bagus (sama dengan angka Jongeneel).

Tragis memang bahwa 6 dari 10 orang di Belanda masih disebut menjadi anggota gereja tapi sebagian besar sudah tidak ke gereja lagi. Soal IFES tidak ada relevansinya dengan persentasi kekristenan di Belanda, itu cuma menunjukkan bahwa para mahasiswa Belanda anggota IFES ekonominya baik sehingga bisa mengirim banyak orang ramai-ramai ikut konperensi se-Eropah, tetapi kalau mau dikaitkan juga tidak apa-apa karena IFES yang non-formal justru menunjukkan kehidupan Injili ditengah kemerosotan gereja formal Belanda (IFES = International Fellowship of Evangelical Students). Jongeneel yang profesor missiologi Utrech Universiteit tentu punya dasar kuat menyebut angka-angka itu sehingga ia diundang PGI untuk membahasnya dalam forum pendeta se Jakarta dan diliput oleh Berita Oikumene.

(T-2) Pernyataan: “Dari pengalaman di Belanda itu, kita bisa melihat bahwa liberalisme cenderung membuat gereja kosong, tetapi konservatisme membuat gereja tetap bertahan mengarungi ombak jaman. Apakah tidak gegabah menyebut bahwa dari tulisan yang hanya 1 halaman ini sudah dapat disimpulkan bahwa penyebab gereja kosong adalah pengaruh Liberalisme, dan pengaruh konservative bertahan terhadap jaman? Sekarang bagaimana dengan di Amerika?, bukankah Amerika lebih konservativ dari Belanda. Bagaimana dengan populasi agama Kristen disana?. Mari kita baca laporan survey dari ARIS (American Religious Identification Survey ), ... Di laporan tsb dikatakan populasi agama Kristen menurun dari 85 % di tahun 90 menjadi 76 % di tahun 2001. Turun hampir 10 % kurang lebih 20 juta jiwa ( asumsi penduduk Amerika 200 juta orang ) bandingkan dengan penduduk Belanda saat ini hanya 16 juta jiwa. Laporan tersebut menyebutkan lagi jumlah orang yang tidak beragama mengalami kenaikkan yang pesat dari 15 % ditahun 1990 menjadi sekitar 30 % ditahun 2001 (atau 60 juta jiwa ). Lalu USA today menyatakan orang yang pergi ke Gereja Khatolik berkurang dari 44 % di tahun  1987 sedang di tahun 2005 hanya menjadi 33 %. Apakah penurunan ini terjadi hanya semata-mata karena pengaruh paham Liberalisme? Sebagai perbandingan antara apa yang dilaporkan ARIS bisa dilihat gereja2 konservativ juga mengalami penurunan jumlah jemaat.

(J-2) Bertahannya konservativisme di Amerika Serikat bisa dibaca dalam buku klasik karya Dean M. Kelley berjudul “Why Conservative Churches Are Growing?” (1995). Buku yang semula ditulis tahun 1972 itu setelah 30 tahun lebih isinya masih dihargai orang karena menunjuk kebenaran realita kekristenan di Amerika. Menarik membaca ucapan Kelly dalam prakata buku itu yang merupakan rumusan singkat kesimpulannya, bahwa adanya: “the decline in the ecumenical “mainline” denominations ... the theologically  conservative religious groups have made amazing gains in recent years.”  Dean M Kelley bukan orang kemarin dalam ekumenisme, ketika menulis itu ia adalah direktur Civil & Religious Liberty dari National Council of Churches di Amerika. Konservatisme (yang tidak kaku) adalah realita yang tak terbantahkan yang tetap menjaga iman kristiani karena mengajarkan arti hidup yang mencakup aspek transenden yang sebenarnya dicari manusia dalam gereja. Fakta ini memang kurang enak didengar telinga para pendeta dan birokrat gereja mapan yang sudah tidak lagi yakin apa yang dipercayai oleh mereka. Ini diucapkan oleh sosiolog agama terkenal Andrew Greeley tentang buku Kelly:

“Extremely pertinent. Meaning is what religion is all about and any church that loses its primary function of providing meaning is going to be in deep trouble. Kelley’s book will be required but not pleasant reading for those church bureaucrats and ministers who aren’t sure they believe in anything any more.”

Dave Shiflett dalam buku 'Exodus: Why Americans Are Fleeing Liberal Churches for Conservative Christianity' (2005) mengutip hasil penelitian Glenmary Research Center yang hasilnya dituangkan dalam buku 'Religious Conggregations and Membership Study 2000' (2002), menghasilkan kesimpulan yang sama dengan Kelley sesuai judul buku itu.

(T-3) Referensi buku kelley cukup baik, namun terlalu usang untuk menjelaskan fenomena kontemporer, selain itu pendekatan kelley ada kekurangannya dalam beberapa aspek, khususnya penekanan yg berlebihan pada aspek ajaran (yg konservatif) sebagai penentu satu2nya pertumbuhan. pendekatan kelley sudah ditolak banyak sosiolog dan peneliti agama di amrik. pendekatan paling mutakhir sekarang adalah dipakainya beberapa kristeria dan tolok-ukur untuk menilai jemaat2 lokal. Ada dua buku yg membahas hal itu, yaitu:

(1) Joseph Tamney. "The Resilience of Conservative Religion: The Case of Popular, Conservative, Protestant Congregations. Cambridge: Cambridge University Press, 2002." Dia meneliti berbagai gereja dengan berbagai latar belakang dan berhasil menolak tesis kelley dengan memperlihatkan bahwa berbagai gereja tersebut bertumbuh karena alasan2 yg berbeda satu dengan yang lain, singkatnya, masing-masing memiliki model ekselensinya sendiri. Dia merangkum menjadi empat model: spirited church, truth church, caring church, open church. artinta model kelley hanya satu dari keempat model tersebut.

(2) Paul Wilkes, "Excellent Protestant Congregations: The Guide to Best Places and Practices. Westminster John Knox Press, April 2001." Dalam buku ini Wilkes berhasil menunjukkan banyak gereja yang bertumbuh pesat. Ternyata masing-masing punya "point of excellence"-nya sendiri--terkait dengan multidimensionalitas gereja.

(J-3) Sebenarnya tanggapan itu juga memiliki kekurangan karena kalau disatu sisi ditolak dikotomi antara yang liberal vs konservatif, tanpa sadar dilakukan dikotomi antara metodologi penelitian kuantitatif vs kualitatif, seakan-akan yang kualitatif itu lebih baik. Dalam dunia penelitian, pendekatan kuantitatif dan kualitatif keduanya termasuk pendekatan yang valid yang masing-masing memberikan sumbangan bagi penelitian walau masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Idealnya memang keduanya digunakan bersama. Studi Kelley termasuk penelitian kuantitatif yang tetap bermanfaat dan digunakan lebih luas daripada yang kualitatif sampai saat ini. Kelly termasuk salah satu dari pelopor studi sosiologi agama ditengah pesimisme agama ditahun 1960-an dengan gencarnya sekularisme (dengan anaknya liberalisme) melanda dunia dan agama. Pesimisme akan masa depan kekristenan yang diungkapkan John Robinson (Honest to God, 1963) dan Harvey Cox (The Secular City, 1965, 10 tahun sesudahnya Cox mengaku kepada Newsweek bahwa prediksinya keliru).

Memang penelitian kuantitatif tidak sepi kritik, tetapi ia merupakan salah satu instrument dalam melihat kecenderungan umum yang terjadi dalam masyarakat, studi Kelley itu masih bertahan dan dibaca sampai sekarang, bahkan 23 tahun sejak ditulis, ditulis ulang dengan new preface (1995). Di tahun 2000 penelitian kuantitatif digunakan juga oleh Glenmary Research Center yang hasilnya dituangkan dalam buku 'Religious Conggregations and Membership Study 2000' (2002) yang menunjukkan kecenderungan yang sama dengan studi Kelley. Dave Shiflett yang menulis 'Exodus: Why Americans Are Fleeing Liberal Churches for Conservative Christianity' (2005) masih mengapprais metodologi kedua penelitian kuantitatif itu.

Penelitian kuantitatif punya keuntungan bahwa ia bisa mencakup populasi yang luas. Kelley dalam kapasitasnya sebagai salah satu direktur di NCC punya akses langsung ke data semua gereja di Amerika Serikat secara nasional. Glenmary Research Center melakukan studi di seluruh 50 state.
Jadi penelitian kuantitatif dapat memberikan gambaran umum dengan berdasarkan data umum yang luas. Memang keterbatasan penelitian kuantitatif adalah karena hanya menggunakan indicator dan variable yang terbatas jadi kurang mendalam dalam detailnya. Lalu bagaimana dengan metodologi penelitian kualitatif yang digunakan Wilkes dan Tamney?

Hasilnya memang lebih dalam karena menggunakan indicator dan variable yang lebih bervariasi, namun memiliki keterbatasan juga. Penelitian kualitatif membatasi jumlah populasi yang bisa dijangkau. Wilkes hanya bisa meneliti lebih mendetail 9 gereja yang fenomenal dan 300 gereja secara umum, namun hanya bisa mencakup gereja-gereja di 38 state, itupun bias karena yang ia pilih lebih banyak berlatar belakang latin di gereja Selatan (Southern) dan Barat (Western) saja dan mengabaikan gereja-gereja di Utara-Timur (Northeastern) Amrik. Jadi sekalipun bagus dalam mencakup realita yang lebih comprehensive, tapi terbatas dalam populasi responden. Kelemahan lain dari metoda kualitatif seperti dalam penelitian Wilkes adalah bahwa sebagian besar kesimpulan dari populasi responden yang terbatas itu hanya sedikit relevansinya bagi kebanyakan gereja. Penelitian Tamney kelihatannya memang lebih baik dari Kelley dan Wilkes karena ditulis setelah buku keduanya ada, dan karena ia merepresentasikan sintesa ide-ide teori sekularisasi dan kompetisi pemasaran dalam pertumbuhan gereja di Amrik, namun kelemahannya juga terbatasnya populasi responden yang dijangkaunya tidak mewakili mayoritas populasi responden..

Jadi, mana yang lebih baik?
Rasanya keduanya punya kebaikan dan kekurangan, karena keduanya punya arena dan skopus sendiri-sendiri, tapi kalau kedua metodologi itu digabung tentu akan lebih komprehensip hasilnya. Itu mustahil dilakukan sekaligus dalam penelitian karena penelitian demikian akan mahal sekali dan makan waktu lama. Pendekatan yang lebih praktis biasanya adalah dengan cara melakukan penelitian kuantitatif secara umum (nasional) dan kemudian hasilnya diuji dengan melakukan sampling (percontohan) atau studi kasus (case study) secara khusus yang diteliti secara k
ualitatif untuk melengkapi hasil penelitian kuantitatif.

 

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org


 


Form untuk mengirim pertanyaan | Diskusi Sebelumnya