Diskusi Desember_ 2008
Form untuk mengirim pertanyaan
IBRANI
(Tanggapan 1) Dalam Perjanjian Baru, tidak mungkin ‘bahasa Ibrani’ (hebraisti/hebraidi dialekto) diartikan ‘Aramik’, karena dalam Perjanjian Lama dan juga Septuaginta dibedakan antara bahasa ‘Ibrani’ dan ‘Aramik’ seperti dalam 2Raj. 18:26 (band. Yes. 36:11) karena dalam Targum kata’Ioudaisti’ diterjemahkan ‘Ibrai’ jadi ‘Ioudaisti’ menunjuk ‘bahasa Ibrani.’ Dalam tulisan yang lebih muda yaitu Septuaginta, sudah digunakan kata ‘hebraisti’ yang maksudnya bahasa Ibrani (Pengantar Sirakh), demikian juga digunakan kata ‘hebraidi’ yang maksudnya juga bahasa Ibrani (4Mak. 12:7;16:15). (Diskusi 1) Tanggapan di atas didasarkan keyakinan a-priori bahwa bahasa Ibrani itu bersifat kekal dari dahulu sampai sekarang dan selama itu tidak mengalami perubahan apa-apa, padahal sejarah menunjukkan bahwa bahasa Ibrani itu berkembang secara labil. Perlu disadari, sekalipun kita ingin membuktikan bahwa kata ‘bahasa Ibrani’ sudah digunakan sejak lama, ini tidak membuktikan bahwa maksud yang dikandungnya sama. Kita sudah mengetahui bahwa bahasa yang digunakan orang Ibrani itu awalnya berkembang dari bahasa Aram dan dipengaruhi secara berat oleh bahasa Kanaan ketika Abraham hijrah ke Kanaan, sehingga bahasa mereka mula-mula disebut ‘bahasa Kanaan’ (Yes.19:18), kemudian disebut ‘bahasa Yehuda’ (2Raj.18:26; Yes.36:11) yang sudah berkembang berbeda dengan Kanaan, dan kemudian dalam Perjanjian Baru disebut ‘lidah/logat Ibrani’ (hebraisti/hebraidi dialekto). Tahap-tahap itu menunjukkan evolusi bahasa Ibrani, dimana semula dapat dikatakan sebagai bahasa kanaan dialek israel yang menggunakan aksara kanaan, baru kemudian dialek itu membedakan diri lebih jauh dari asalnya Kanaan dan disebut bahasa Yehuda. Bahasa Ibrani baru disebut pada masa Miznah (sejak abad-III SM) dimana bahasa orang Ibrani itu bentuk tulisan dan terlebih lisannya banyak dipengaruhi bahasa Aram. Untuk lebih jelasnya marilah kita mendengarkan kata otoritas Yahudi sendiri. Dalam Jewish Encyclopedia disebutkan bahwa: “Bahasa Ibrani lebih cocok disebut sebagai dialek Israel dari bahasa Kanaan, cabang bahasa Semitik yang digunakan di Palestina dan Funisia. … Sebutan bahasa Ibrani … sering digunakan oleh penulis Yunani untuk menunjuk bahasa Aram yang digunakan kemudian oleh orang Ibrani, sebagaimana orang Yahudi disebut oleh penulis-penulis non-Yahudi.” (dibawah ‘Hebrew Language.’). Kita mengetahui bahwa pada zaman Ezra dan Nehemia, sebagian besar orang yahudi ditawan ke Babil dan yang disana makin tidak bisa berbicara bahasa Yahudi (Neh. 13:23-24) sehingga Taurat harus diterjemahkan ke bahasa Aram agar bisa dimengerti (Neh. 8:9). Mereka yang kembali dari Babel inilah yang kemudian menjadi penduduk mayoritas di Israel setelah mereka kembali dari pembuangan, dan sejalan dengan itu pada abad IV pengaruh helenisme menjadi kuat dengan ekspansi raja Aleksander Agung ke kawasan Palestina dan sekitarnya. (T-2) Tetapi bagaimana dengan surat Aristeas yang mengemukakan bahwa sekalipun bahasa orang Yahudi saat itu disebut Aramik (Siriak) bahasa itu disebut berbeda sekali dari bahasa Siriak. Dalam surat Aristeas 11 disebutkan bahwa: ‘They are supposed to use the Syraic tongue, but this is not the case; their language is quite different.” Yang berarti : ‘Mereka dianggap menggunakan bahasa Siriak (Aramaik), tetapi hal ini tidak demikian; bahasa mereka sangat berbeda.’ Ini menunjukkan bahwa bahasa orang Ibrani sangat berbeda dengan bahasa Arami. (D-2) Terjemahan dan tafsiran demikian keliru karena bersifat tafsiran teks (tekstual) tanpa memperhatikan konteksnya (kontekstual). Bila kita membaca konteksnya, pengertiannya berbeda, yaitu lengkapnya: “They need to be translated,' answered Demetrius, 'for in the country of the Jews they use a peculiar alphabet (just as the Egyptians, too, have a special form of letters) and speak a peculiar dialect. They are supposed to use the Syriac tongue, but this is not the case; their language is quite different.” (Letter of Aristeas 11). Ada dua kesalahan terjadi di sini sehingga menimbulkan kesimpulan yang salah juga. Pertama kesalahan terjemahan. Terjemahan: “Mereka dianggap menggunakan bahasa Siriak (Aramaik), tetapi hal ini tidak demikian; bahasa mereka sangat berbeda,” seharusnya “Mereka diperkirakan menggunakan bahasa Siriak (Aramaik), tetapi bukan itu soalnya; bahasa mereka sangat berbeda.” Disini Dimetrius menyebutkan perbedaan antara bahasa Yunani yang mereka gunakan dengan bahasa yang digunakan ditanah Yahudi yang aksara dan logatnya aneh. Dan soalnya bukan bahwa itu namanya Siraik tetapi aksara dan logat itu (karena disebut keduanya, dapat dipastikan baik aksara dan logat tidak sama, yaitu aksara Ibrani dan Logat Aramik) dan keduanya sekalipun mirip satu sama lain berbeda sekali dengan aksara dan logat Yunani! Kedua, tidak diperrhatikan konteksnya. Konteksnya jelas berbicara mengenai perbandingan antara bahasa Yunani dengan bahasa Yahudi yang logat percakapannya aramik itu, sehingga diperlukan penerjemahan kitab suci Yahudi ke Yunani yang kemudian menjadi Septuaginta (ini tema Surat Aristeas). Kalau disebut bahwa yang dianggap Siriak itu sangat berbeda sekali dengan bahasa Ibrani, jelas keliru karena Jewish Ensyclopedia sendiri menyebutkan bahwa sekalipun logat (Siriak) Aramik itu lebih populer daripada logat huruf Ibrani, keduanya itu dekat dan mirip (Ingat bahasa Ibrani semula berasal Aramik dan sekalipun kemudian membedakan diri dengan bahasa Aramik dan Kanaan dan menjadi dialek tersendiri ‘Yehuda,’ bahasa orang Ibrani itu pada masa pembuangan kembali dipengaruhi oleh bahasa ‘Aram’ termasuk bentuk ‘persegi aksaranya’ (square script)). Jewish Encyclopedia menyebut: “Aramik paling dekat dengan Ibrani. … Sejarah Israel yang awal dikaitkan dengan orang Aram dari timur, bahkan Yakub disebut sebagai ‘pengembara Aram (Ul.26:5). … Aramik ditakdirkan menjadi logat orang Israel.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews). Yohanan, amir besar Palestina menyebutkan: “Janganlah bahasa Aram (Siriak) dipandang hina dalam mata kalian; karena dalam ketiga bagian kitab suci, hukum, nabi, dan tulisan, bahasa ini digunakan.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews). Juga disebutkan bahwa: “Untuk lebih dari 1000 tahun, Aramik tetap menjadi logat Israel, sempai penaklukan Arab menghasilkan perubahan bahasa, sebagai tahapan ketiga dimana bahasa semitik menjadi lidah populer bagi sebagian besar bangsa Yahudi, dan menjadi kendaraan pemikiran mereka.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews). Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa ucapan Dimetrius dalam surat Aristeas itu justru menunjuk secara eksplisit bahwa huruf tulis (Ibrani) dan logat orang di tanah Yahudi kala itu sekalipun memiliki kemiripan orang bisa membedakannya (Aramik adalah logat yang digunakan orang Ibrani pada masa Miznah abad III SM s/d VII M), namun keduanya beda sekali dengan bahasa Yunani sehingga perlu diterjemahkan ke bahasa Yunani. (T-3) Tetapi, bukankah ada bukti bahwa bahasa orang yahudi memang bahasa Ibrani, ini ditunjukkan oleh Josephus yang menggunakan kata hebraisti/hebraidi dialekto yang berarti bahasa Ibrani dalam Prawacananya (Antiquities of the Jews, Preface 2:1-2) dimana ia juga mengatakan bahwa ia mengartikannya dari Kitab Suci Ibrani yang tentunya beraksara Ibrani. Demikian juga dalam tulisannya tentang Elyakim (Ant. X:1.2) dan Nehemia (Ant. X1:5.6) dengan jelas Josephus membedakan bahwa bahasa Yahudi bedakan dengan bahasa Siriak (Aramik). (D-3) Sekali lagi tanggapan ini menunjukkan kesalahan asumsi yang menyeret penulisnya kepada sikap ‘generalisasi.’ Generalisasi itu terjadi karena sikap imani yang menganggap bahwa bahasa Yehuda/Ibrani itu seperti Diskusi-1 di atas, yaitu “Tanggapan di atas didasarkan keyakinan a-priori bahwa bahasa Ibrani itu bersifat kekal dari dahulu sampai sekarang dan selama itu tidak mengalami perubahan apa-apa.” Kejadian yang ditulis Josephus (Ant. X:1.2) terjadi pada masa Elyakim sekitar masa Sanherib (700 SM) demikian juga pada masa Nehemiah ketika orang Yahudi masih ditawan di Babel (abad V), pada masa itu bahasa Yahudi masih kuat sebagai bahasa percakapan (lidah Yehuda/Ioudaisti) dan berbeda dengan bahasa percakapan Siria/Aramik (Suristi). Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang Ibrani di pembuangan sejak masa Ezra & Nehemia (abad V) itu sudah terbagi, hanya sedikit kalangan elit yang mengerti dan berbahasa ‘ioudaisti’ sehingga pembacaan Torat (yang ditulis dalam huruf Ioudaisti) diterjemahkan ke bahasa Aram/Siriak (Neh.2:9) khususnya anak-anak yang lahir dari kawin campur malah sama sekali tidak mengerti bahasa Yehuda (Neh.13:23). Jadi sejak itu bahasa lidahnya orang Yahudi kebanyakan adalah ‘Aramik/Siriak’ yang kemudian ketika pulang dari pembuangan ke Yudea bahasa Aramlah yang digunakan mayoritas orang yahudi, dan dalam masa Ibrani Kitab Suci (abad V-III SM) aksara Ibrani sudah terpengaruh huruf persegi (Square script) Aramik, dan sebagian kitab Esra (4:8 – 6:18; 7:12-26), Daniel (2:4 – 7:28), dan Yeremia (10:11) pada masa itu ditulis dalam bahasa Aram. “Penggunaan kedua bahasa dalam Kitab-kitab Suci menggambarkan dengan jelas dilingkungan itu dalam mana dan untuk apa kitab-kitab itu ditulis. Sebagai fakta, pada masa Bait Allah ke-II, kedua bahasa digunakan secara umum di Palestina: Bahasa Ibrani di kalangan akademik dan lingkaran cendekiawan, dan bahasa Aramik di kalangan rakyat jelata sebagai bahasa percakapan sehari-hari.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews’) Pada masa Ibrani Miznah ( abad III SM s/d VII M), Jewish Encyclopedia (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews’) menyebut: “Aramik ditakdirkan menjadi logat orang Israel,” dan “Untuk lebih dari 1000 tahun, Aramik tetap menjadi logat Israel.” Tetapi bagaimana dengan sebutan ‘hebraisti/hebraidi dialekto’ yang dimaksudkan oleh Josephus yang hidup di abad pertama semasa Perjanjian Baru dimana ia juga menunjuk kepada ‘Kitab Suci Ibrani’ yang jelas ditulis dalam Tanakh dalam aksara Ibrani (Ant. Preface 2:1-2)? Marilah kita kembalikan jawabannya kepada otoritas Yahudi sendiri. Dalam Jewish Encyclopedia disebutkan bahwa: “Adalah lebih dari mungkin bahwa seluruh Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebelum awal masa Kristen. … Kutipan dari PL yang dijumpai dalam PB sebagian besar diambil dari Septuaginta; bahkan kutipan yang tidak langsung pengaruh terjemahan ini terlihat jelas. … Ini adalah versi yang digunakan penulis Yahudi Yunani, terjemahan Ben Sera, dan Yahudi Sibyllines. … Philo mendasarkan kutipannya dari Kitab suci versi Septuaginta. … Josephus mengikuti terjemahan ini secara dekat.” (dibawah Bible Translations). Jadi Josephus membaca Kitab Suci Ibrani dalam versi Septuaginta. “Josephus menganggap bahasa Aram begitu identik dengan Ibrani sehingga ia mengutip kata-kata Aram sebagai Ibrani (Ant. 3:10.6), dan menyebut bahasa yang digunakan Titus dalam usulannya kepada orang-orang Yerusalem (yang ditulis dalam bahasa Aram) sebagai bahasa Ibrani (Jewish War: VI:2.1). Josephus menulis ‘Jewish War’ dalam bahasa Aram, sebagaimana dijelaskannya sendiri dalam pengantarnya, sebelum ia menulisnya dalam bahasa Yunani. Bahwa yang dimaksudkan adalah bahasa Aram terbukti dari alasan penulisannya, yaitu, agar usaha pertamanya itu dapat dimengerti oleh orang Parsi, Babilonia, Arab, dan orang Yahudi yang hidup di seberang sungai Efrat, dan penduduk Adiaben. Bahwa diaspora Babilon secara bahasa bersifat Aramik terbukti dari kenyataan bahwa Hilel senang menulis kerangka pepatahnya dalam bahasa itu.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews’) (T-4) Bukti-bukti meyakinkan bahwa ‘hebraisti/hebraidi dialekto’ dimaksudkan adalah bahasa Ibrani, menunjuk bahwa memang Yeshua dan Rasulnya menggunakan bahasa Ibrani. Karena itu ‘hebraisti/hebraidi dialekto’ dalam Perjanjian Baru harus dimengerti sebagai ‘bahasa Ibrani.’ (D-4) Sudah ditunjukkan dari sumber Yahudi bahwa yang disebut ‘bukti-bukti’ itu ternyata keliru, sehingga dengan sendirinya klaim yang didasarkan ‘bukti yang keliru’ tentu juga keliru! Bukti-bukti biasanya dicari-cari untuk membuktikan asumsi ‘pemikiran awal’ yang dijadikan ‘aksioma’ bahwa: “Tanggapan di atas didasarkan keyakinan a-priori bahwa bahasa Ibrani itu bersifat kekal dari dahulu sampai sekarang dan selama itu tidak mengalami perubahan apa-apa.” Kenyataan ini tergambar dengan jelas dalam situs ‘Yahweh’s Assembly in Yahshua’ yang menyebutkan pernyataan iman, bahwa mereka: “Believe that Hebrew was indeed the original language spoken in the Garden of Eden, and was the inspired language of the Bible. Evidence shows that it was the language spoken to Adam and Eve and will be spoken again in the Kingdom.” Keyakinan demikian bersifat pernyataan iman yang a-priori yang tetap dipertahankan padahal sejarah tidak menunjukkan demikian. Perlu direnungkan dengan benar, bahwa bila bahasa Ibrani itu memang kekal dan tetap eksis sejak Taman Eden sampai kedatangan Yeshua dalam Kerajaan-Nya kelak, maka tentu pada masa Esra/Nehemia Tanakh tidak perlu memuat bagian berbahasa Aram dan apa perlunya pembacaan Tanakh diterjemahkan, apa perlunya terbit banyak tulisan Targum Aramik, bahwa pada abad III-II SM Tanakh tentu tidak juga perlu diterjemahkan kebahasa Yunani (Septuaginta), dan lebih lagi tentu tidak perlu pada masa Yesus hidup di abad I Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani (Koine) pula! Dan bahwa Matius sebelum menulis Injil dalam bahasa Yunani pernah menulis oracle (ucapan-ucapan Yesus) dalam bahasa Aram dan bukan Ibrani (Papias). Kembali kita patut merenungkan otoritas Yahudi sendiri dalam Jewish Encyclopedia yang menyebutkan secara terbuka dan jujur, bahwa: “Ezra tidak harus menjadi pencetus Targum; namun tidak mungkin lama sesudah masanya ada kebutuhan untuk melengkapi pembacaan umum teks Ibrani Kitab Suci di sinagoge dengan terjemahan dalam bahasa percakapan Aramik. … Bila terjemahan kitab suci dimaksudkan demi kepentingan umat yang berkumpul di sinagoge harus dalam bahasa Aramik, maka semua pesan dan pujian sekitar kitab suci dilakukan dalam bahasa yang sama. Jadi, Yesus dan para murid dekatnya berbicara dan mengajar dalam bahasa Aramik. Ketika Bait Allah ke-II dihancurkan, dan peninggalan terakhir kemerdekaan nasional hancur, orang Yahudi, memasuki tahap baru dalam kehidupan sejarah, menjadi hampir seluruhnya rakyat yang berbicara Aramik. Sebagian kecil yang berdiaspora berbicara Yunani; di jasirah Arab suku-suku yahudi berbicara Arab; dan diberbagai negara ada komunitas kecil yahudi yang berbicara bahasa kuno mereka; tetapi massa terbesar penduduk yahudi di Palestina dan Babilonia berbicara Aramik. Demikian juga bahasa mayoritas orang yahudilah yang penting secara sejarah – dengan apa hukum dan tradisi Yahudi bertahan hidup dan berkembang.” (dibawah ‘Aramaic Language Among the Jews’) Kiranya damai sejahtera Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus mencerahkan kita sekalian. Amin.
Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org |