April 2010 | SABAT DAN MINGGU
(Tanggapan–1) Umat Kristen lupa bahwa Alkitab ditulis manusia, tetapi 10 Hukum termasuk perintah Sabat ditulis oleh Allah sendiri. Karena itu melanggar 10 Hukum adalah melanggar Hukum Allah sendiri. (Diskusi–1) 10 Hukum adalah bagian dari Alkitab, karena itu kalau disebut bahwa Alkitab adalah tulisan manusia maka 10 Hukum apakah bukan juga tulisan manusia? Dalam Alkitab disebut Pentateuch ditulis oleh Musa dan menurut pengakuannya kedua loh batu yang bertuliskan 10 hukum ditulis Allah, namun faktanya tradisi lisan dari Musa itu baru lama kemudian oleh oleh para imam Yahudi ditulis sebagai Tanakh, itulah sebabnya dua teks Hukum Sabat (Kel.20 dan Ul.5) berbeda susunan kata-katanya. Bagi umat percaya semua bagian Alkitab ditulis manusia tetapi diilhamkan Allah (2Tim.3:15-17). Umat Kristen tidak perlu sedih bila dianggap melanggar hukum Allah, karena Tuhan Yesus sendiri juga dianggap melanggar hukum Sabat yang dianggap oleh orang Farisi sebagai ditulis Allah itu, padahal Yesus adalah ‘Firman Allah’ (Yoh.1:1;8:47) dan Yesus menyatakan diri sebagai ‘Tuhan’ (Yoh.13:13) dan ‘Allah’ (Yoh.10:36;13:13). Umat Kristen adalah pengikut Tuhan Yesus Kristus yang adalah penyataan Allah (Yoh.1:18) dan menjadikan Perjanjian Baru sebagai penggenap Perjanjian Lama. Iman dan Hukum Kasih adalah penggenap dan intisari Hukum Taurat dan Kitab Nabi-Nabi. Dalam era Perjanjian Baru umat Kristen tidak lagi mengerti Taurat secara harfiah atas deretan huruf-huruf seperti dimengerti dalam Perjanjian Lama, melainkan dengan pengertian baru yang rohani seperti yang diutarakan Tuhan Yesus sendiri dalam Kotbah Dibukit (Mat.5-7). (T–2) Bukankah hari minggu adalah hari penyembahan Matahari yang kemudian diadopsi oleh orang Kristen? (D–2) Dalam astrologi kuno, hari-hari dalam seminggu dikaitkan dengan nama-nama 7 planet dalam tatasurya yaitu dimulai dengan Matahari, Bulan, Mars, Mercury, Jupiter, Venus, dan Saturnus. Dalam mitologi kuno semuanya dikaitkan sebagai dewa, karena itu kalau kita menyebut hari-pertama sebagai hari Dewa Matahari (Dewa Langit/cahaya) maka hari-ketujuh juga bisa disebut hari Dewa Saturnus (Dewa Pengairan/Pertanian). Banyak yang kemudian hanya menggunakan nama dewa planet yang menunjukkan kekuatan alam yaitu hari pertama: Sunday (dies solis), kedua: Mo[o]nday (dies Lunae), dan ketujuh: Satur[n]day (dies Saturni), sedangkan nama-nama hari lainnya kemudian dikaitkan dengan nama dewa-dewi lain. Jadi sebutan bahwa orang kristen menyembah dewa matahari dan dianggap menjadikan hari matahari sebagai ‘Hari Tuhan’ (Lord’s Day) tidak berdasar, sebab orang Kristen yang semula mengikuti tradisi yahudi dengan berkumpul pada hari Sabat kemudian melepaskan diri dari tradisi Yahudi dan menjadikan kenangan ‘hari pertama dalam minggu’ dimana Yesus bangkit sebagai saat berkumpul mingguan untuk mengenang ‘Yesus yang telah bangkit sebagai Tuhan.’ Orang Yahudi menyebut urutan hari dengan Yom Rishom (hari ke-1, Yom Sheyni (hari ke-2), Yom Slishi (hari ke-3), Yom Revi’i (hari ke-4), Yom Khamishi (hari ke-5), Yom Shishi (hari ke-6), dan Shabbat (hari istirahat). Tentu tidak bisa disebut bahwa orang Yahudi mengkuduskan Dewa Saturnus hanya karena mengkuduskan hari ketujuh bukan? (T–3) Kalau sabat hari ketujuh dianggap tidak lagi penting dan hari minggu lebih penting, mengapa Yesus menubuatkan agar berdoa ‘jangan sampai peristiwa kesusahan besar terjadi pada hari sabat? (Mat.24:20) (D–3) Perlu benar-benar dicamkan bahwa hari minggu bukanlah sabat pada hari pertama, dan bagi umat kristen semua hari sama pentingnya dan semua hari bisa dipilih sebagai hari berkumpulnya jemaat. Umat kristen tidak lagi merayakan sabat karena Yesus yang adalah Tuhan atas hari sabat sudah menggenapinya dan menjadi Sabat bagi kita. Hari minggu yang dipilih umat kristen sebagai saat berkumpul rutin terjadi sebagai proses sejarah mingguan mengenang hari Tuhan dimana Yesus bangkit dan menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Matius 24:20 adalah dalam konteks ‘Kotbah Tentang Akhir Zaman’ dimana pada waktu itu Yesus belum menggenapi Taurat dan belum menyatakan dirinya sebagai ‘Tuhan’ yang menebus umat manusia di kayu salib dan bangkit dari kematian. Ia menghadapi massa Yahudi yang masih terkena berbagai-bagai kuk seperti ritual kuk Sabat yang disamakan dengan sengsaranya seorang yang melahirkan anak dan sengsaranya musim dingin, karena Akhir Zaman akan datang dengan siksaan yang dahsyat yang tidak akan tertanggung oleh mereka yang masih dibawah kuk Taurat. Secara tidak langsung Yesus menyatakan diri agar umat bersiap-siap bukan dengan ritual (seperti Sabat) yang menyengsarakan melainkan dengan keterbukaan hati menjadi orang pilihan yang beriman. Menarik menyaksikan bahwa ayat itu dikaitkan dengan nabi-nabi palsu yang mereka-reka dan menghitung-hitung tentang hari kedatangan Yesus. Salah satu ciri gerakan kultus abad XIX adalah penekanan kembali hari Sabat dan menghitung-hitung waktu kedatangan Tuhan Yesus (band. Mat.24:36), ini berarti peringatan ayat itu juga berlaku kepada mereka! (T–4) Tetapi mengapa dalam Ibrani 4 : 9 masih dikatakan bahwa masih tersedia satu hari perhentian bagi umat Allah? (D–4) Kitab Ibrani sesuai judulnya ditujukan kepada umat Ibrani (yahudi) yang masih berkutat dengan kuk Taurat yang mengikat mereka dengan hukum-hukum agama yang kaku. Kitab ini membandingkan Musa dengan hukum-hukumnya dengan para imam dan imam besar yang menjalankan ritual agama (Perjanjian Lama), dengan anugerah Kristus (Perjanjian Baru) yang lebih tinggi dimana Yesus telah menggenapi Taurat dan menjadi Imam Besar sesungguhnya di surga (Ibr.4:14). Hukum-hukum Musa hanyalah persiapan untuk mengantar umat mengenal Tuhan Yesus sebagai penggenap Taurat (Ibr.3:5). Surat Ibrani menunjukkan kelemahan umat yang sekalipun rajin melakukan ritual Taurat (termasuk Sabat) sejak di padang gurun, namun mengeraskan hati, mencobai Allah, sesat, jahat, tidak percaya, dan tidak taat (Ibr.3:7-19) dan sekalipun mereka rajin menjalankan ritual Sabat mereka takkan masuk ke tempat perhentian Allah (Ibr.3:11;4:3). Konteks Ibr.4 bercerita mengenai mereka yang merasa telah menjalankan ‘hari ketujuh’ sejak masa Yosua tetapi takkan merasakan perhentian Allah, karena itu disediakan ‘hari lain perhentian,’ yaitu saat Yesus datang membawa perhentian sebenarnya. Kitab Ibrani juga menyebutkan bahwa: “Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakekat dari keselamatan itu sendiri. Karena itu dengan korban yang sama, yang setiap tahun terus-menerus dipersembahkan, hukum Taurat tidak mungkin menyempurnakan mereka yang datang mengambil bagian di dalamnya.” (Ibr.10:1) (T–5) Artikel ‘Sabat dan Minggu’ menyebutkan bahwa "Perlu diingat kembali, benar bahwa dalam hidupnya Yesus sering menghadiri pertemuan di hari Sabat namun itu bukan untuk merayakan hari Sabat" Bagaimana memastikan hal itu dan apakah ada ayat yang mengatakan bahwa Yesus bukan merayakan sabat ? (D–5) Yesus hadir di Bait Allah dan Sinagog pada hari Sabat karena mengikuti tradisi yahudi dimana umat berkumpul dan disanalah Yesus mendapat kesempatan bersaksi bahwa Ia adalah ‘Tuhan atas hari Sabat’ (Mat.12:8) dan menyatakan diri-Nya sebagai ‘Diurapi oleh Roh Tuhan’ untuk mendatangkan misi menyampaikan ‘Tahun Rahmat Tuhan.’ Bahwa Yesus tidak menjalankan Sabat dapat diketahui dari kenyataan bahwa Ia terus disalahkan oleh orang Farisi karena ‘melanggar sabat.’ Yesus mengkritik orang Farisi yang mengerti Sabat sebagai kuk yang mengikat umat, dan menyatakan diri sebagai perhentian bagi umat. Yesus tidak pernah mengajar agar kita menjalankan perintah Sabat melainkan membawa umat pada pengertian Sabat sebenarnya kepada diri-Nya yang membawa kelegaan/perhentian kepada umat (Mat.11:28, menggunakan akar kata ‘pauo’ yang sama untuk perhentian dalam Ibr.8:3). Setelah bangkit, Yesus tidak pernah hadir di Bait Allah / Sinagog pada ibadat Sabat. Ia pun bangkit tidak pada hari Sabat melainkan hari ‘pertama dalam minggu’ (Yoh.20:1), dan menjumpai para murid yang berkumpul pada ‘hari pertama dalam minggu’ (Yoh.20:19) dan seminggu berikutnya (Yoh.20:26), dalam perjumpaan stelah kebangkitan itu Yesus dipanggil ‘Tuhan’ (Yoh.20:18,20,25,28). Yesus sudah menjadi Tuhan yang membebaskan umat dari kutuk Taurat dengan tidak merombaknya/menggantinya melainkan menggenapinya. Masalah yang dihadapi kaum Sabbatarian adalah mereka tidak mengikut Tuhan Yesus dengan sepenuh hati seperti para rasul dan murid Yesus tetapi dengan satu kaki berdiri diatas jalan Yesus (Injil) tetapi satu kaki masih berada di jalan Yudaisme (Taurat), itulah sebabnya Sabbatarianism dijuluki ‘Twentieth Century Judaism.’ (T–6) Sehubungan dengan Wahyu 1 : 10, sebagian orang menganggap hari Tuhan adalah hari Minggu, sehingga Sabat hari ketujuh tidak penting lagi. Kata Grika yang dipakai untuk hari Tuhan adalah kuriake hemera dan itu adalah hari Minggu bagi orang Yunani. Namun tidak demikian bagi rasul Yohanes. Pada kenyataannya, tidak pernah Yohanes kekasih menggunakan istilah 'Hari Tuhan" untuk menyebut Hari Minggu. Hari Minggu selalu disebutnya sebagai "hari pertama dalam minggu" (first day of the week) Bandingkan dengan Yoh 20 :1, 19 dan bahkan Lukas dan Paulus juga menyebut demikian, seperti di Kis 20:7 dan I Kor 16:2. Interpretasi kita adalah harus berdasarkan keseluruhan Alkitab, penggunaan kata Kuriake hemera hanyalah masalah transliterasi, karena itulah kata yang lebih tepat dalam bahasa Grika. (D–6) Baik sekali kalau menyadari bahwa interpretasi harus didasarkan keseluruhan Alkitab, itu seharusnya menyadarkan kita bahwa kita harus memperhatikan latar belakang sejarah penulisan ayat Alkitab. Kalau Yohanes menggunakan istilah ‘hari pertama’ dalam Injilnya, itu wajar karena itulah nama hari pertama dalam bahasa Yunani waktu itu. Yunani kuno menggunakan nama-nama planet/dewa yaitu hemera ‘Heliou – Selenes – Areos – Hermou – Dios – Aphrodites – Kronou.’ Kemudian pada waktu Tanakh (Ibrani) diterjemahkan ke bahasa Yunani dalam Septuaginta (LXX) pada abad III-II BC, maka nama hari-hari diterjemahkan menjadi hemera ‘Prote – Deutera – Trite – Tetare – Pempte – Paraskevi – Sabbato.’ Kelihatannya kemudian ketika kekristenan melanda Asia Kecil nama hari-hari LXX inilah yang seterusnya digunakan menggantikan nama hari-hari Yunani kuno. Dalam LXX, hari pertama juga disebut ‘tees epaurion tou sabbaton’ (hari sesudah Sabbat, Im.23:15). Pada akhir abad I dari tulisan Yohaneslah kita mengetahui adanya pengakuan bahwa ‘hari pertama’ itu disebut ‘Hari Tuhan’ (kuriake hemera) dan tulisan-tulisan Kristen selanjutnya mengikuti pengakuan itu seperti dalam ‘Didache (14)’ (AD 70-120) yang menyebut “mereka berkumpul memecahkan roti pada Hari Tuhan (kuriaken).” ‘Epistle to Barnabas (xv, AD 100)’ menyebut “Kami menjalankan hari kedelapan dengan sukacita dihari Yesus bangkit dari orang mati.” Ignatius (AD 110) menyebut “menolak menjalankan Sabbath harfiah melainkan hidup menjalankan Hari Tuhan,” dan Justinus (AD 145) menyebut hari minggu sebagai “Hari ibadat untuk Tuhan” dan Tertulianus (AD 180) menyebut “pada hari Yesus Bangkit sebagai hari perhentian.” Demikian juga Cyprianus (AD 200), Victorinus (280) dan Eusebius Caesaria (328 AD) sepikir dengan penulis-penulis sebelumnya bahwa “Kebangkitan Yesus menandai ciptaan yang baru, dan menjadikan hari kebangkitan seperti hari pertama penciptaan.” Hari pertama disebut “Hari Tuhan’ bukan keputusan gereja karena gereja sebagai organisasi kepausan belum ada waktu itu. Kaisar Konstantin yang menjadi kristen mengeluarkan edik yang menjadikan ‘Hari Minggu sebagai hari istirahat resmi’ (AD 321) karena sudah meluas digunakan sebagai hari pertemuan umat Kristen. Sejak awal kekristenan, ‘kuriake’ (Tuhan) menjadi nama Yunani menggantikan ‘hari pertama’ sampai sekarang, sebutan ‘Hari Tuhan’ kemudian diikuti bahasa lain seperti ‘dominica’ (Latin gereja), ‘domenica’ (Itali), ‘domingo’ (Spanyol/Portugis), yang terakhir ini diindonesiakan menjadi ‘minggu.’ (T–7) Bukankah ada jauh lebih banyak ayat tentang "hari Tuhan" dalam Perjanjian Baru (Kis.2:20; 1Kor.1:8; 1Kor.5:5; 2Kor.1:13-14; Fil.1:6,10; 2Pet.3:10,12) yang BUKAN berarti hari pertama dalam minggu, namun adalah hari ‘kedatangan Kristus kedua?’ (D–7) Mengenai penafsiran bahwa ‘hari Tuhan’ itu bukan menunjuk pada hari minggu tetapi ‘hari penghakiman Tuhan terakhir,’ konteks Wahyu 1:10 menunjukkan bahwa hari dimana Yohanes menerima wahyu itu disebut ‘kuriake hemera’ (sebutan itu diucapkan pada hari Yohanes dipulau Patmos melihat penglihatan, Yoh.1:9,10) padahal biasanya dalam Perjanjian Baru (Koine) dalam ayat-ayat yang disebutkan diatas ditulis ‘hemera tou Kurion.’ Dalam Fil.1:6,10’ disebut ‘hemera tou (Iesous) Kristou.’ Sejak tulisan Yohanes (Why.1:10) itulah kemudian penanggalan Yunani (yang sementara itu mulai terpengaruh kristenisasi) mengganti nama ‘hari pertama’ menjadi ‘kuriake’ dan bukan sebaliknya, ini diikuti dalam tulisan bapa-bapa gereja seperti yang disebutkan dalam (D-6). (T–8) Dalam Why 1:10 Yohanes menyatakan bahwa penglihatan Apokalips datang kepadanya saat ia dikuasai oleh Roh 'pada hari Tuhan". Inilah sebutan pertama dalam kesusastraan Kristen tentang hari Tuhan yang terdapat hanya 1 kali dalam Alkitab. Susunannya yg bersifat kata keterangan menujukkan bahwa hari itu merapakan penetapan resmi gereja. Dalam arti demikian ketetapan ini muncul pada permulaan abad 2 (Ignatius, Epistle to the Magnesians). (D–8) Hari Tuhan bukanlah penetapan gereja, sebab sudah ditulis oleh Yohanes pada akhir abad I sedangkan institusi gereja kepausan dimulai dari uskup Roma baru muncul pada abad III dimana mulai dikeluarkan peraturan-peraturan atas nama gereja. Mengenai tulisan Ignatius (AD 110), kita mengetahui dari sejarah bahwa ia menggunakan istilah ‘kuriake’ dalam suratnya kepada orang Magnesia yang menunjukkan perubahan dari menjalankan Sabbat menjadi bertemu di hari Minggu. Ignatius menulis “Mereka yang dahulu berjalan dalam praktek masalalu memperoleh pengharapan baru, tidak lagi menjalankan Sabbath, melainkan hidup sesuai hidup Tuhan.” (kata kuriaken zoen zontes), namun terjemahan latin pada abad pertengahan menerjemahkannya menjadi “…, tidak lagi menjalankan Sabbath, melainkan hidup sesuai Hari Tuhan’ (kata kuriaken zontes). Bahwa Ignatius menyebut ‘Hari Tuhan’ diperkuat dengan Tulisan Pseudo Ignatius tentang ‘Surat kepada orang Magnesia’ (tengah abad III) yang berbunyi: “Karena itu marilah kita tidak menjalankan Sabbath sesuai cara Yahudi, … Tetapi biarlah kamu semua menjalankan Sabbath secara spiritual, … Dan setelah menjalankan Sabbath, biarlah semua teman Kristus menjalankan ‘Hari Tuhan’ sebagai perayaan hari kebangkitan, ratu dan kepala semua hari dalam seminggu.” Kitab-kitab ekstra-biblikal seperti ‘Injil Petrus’ (35,59, AD 150) menyebut “’kuriake sebagai nama hari pertama dalam minggu, hari Yesus bangkit.” ‘Dionysius’ uskup Korintus menulis kepada gereja Roma (AD 170) “Hari ini kita menjalankan Hari Suci Tuhan (kuriake hagia hemera).” Pada tengah kedua abad II, ‘Kisah Petrus’ menunjukkan bahwa ‘Dies Domini’ (Latin: Hari Tuhan) sebagai “Hari sesudah Sabbath.” *** Salam kasih dari Yabina ministry www.yabina.org |