Januari_2012 | SINCIA & SIMBOLISME HEWAN
 

Artikel berjudul ‘Sincia & Tradisi Tionghoa’ dan Artikel berjudul ‘Simbolisme Hewan Cina mendapat banyak tanggapan. Banyak yang memberikan apresiasi karena banyak mendapat informasi baru yang belum mereka ketahui, namun ada bebeberapa tanggapan yang masuk yang dirasa perlu didiskusikan lebih lanjut untuk melengkapi artikel yang sudah dikirimkan.

SINCIA & SIMBOLISME HEWAN

(Tanggapan–1) Kalau kita merayakan Natal dengan latar belakang kultus dewa mataharinya, bukankah kita bisa sama bebasnya merayakan Sincia dengan kultus tradisi simbolisme dewa-dewi dan hewan cinanya?

(Diskusi–1) Natal bukan pengganti perayaan dewa matahari, sebab peringatan Natal sudah terjadi sebelum kaisar Aurelius di tahun 274 meresmikan 25 Desember sebagai hari dewa Matahari. Waktu itu umat kristen memperingati pembaptisan oleh Yohanes, kunjungan Orang Majus dan sekaligus kelahiran Yesus sebagai hari Epifani pada tanggal 6 Januari. Pada tahun 325, kaisar Konstantin yang menjadi Kristen berusaha mengalihkan orang Romawi dari perayaan dewa matahari maka perayaan Natal Januari digeser menjadi tanggal 25 Desember agar umat romawi tidak lagi merayakan hari dewa matahari melainkan hari Natal lambang matahari kebenaran. Perayaan minggu Saturnalia sebelum 25 Desember yang merupakan rangkaian perayaan dewa Matahari tidak dirayakan lagi. Ini berbeda dengan merayakan ‘Imlek’ karena orang Tionghoa/Cina  cenderung menerima begitu saja apa yang ada dalam perayaan Imlek yang sudah mendarah daging dan sudah diikuti secara turun temurun.

(T–2)   Bukankah orang yang percaya sama Yesus mestinya tidak lagi percaya dengan roh-roh semacam itu (dewa & hewan) sehingga bila acara2 semacam itu diadakan...  tidak berarti dan berpengaruh apa2 baginya. Jadi tidak perlu berhati-hati lagi berkaitan dengan yang dipercayai orang lain. kita sudah ditebus dan harganya mahal... mengapa masih harus berhati-hati untuk mengikuti perayaan Imlek?

(D–2) Seorang kristen seharusnya menerima kenyataan adanya roh-roh diudara yang mengganggu hidup manusia dalam hubungan dengan Allah yang Esa. Yesus dalam menghadapi setan hanya mengusirnya tetapi tidak meniadakannya dan mengajar kita berdoa agar ‘dijauhkan dari yang jahat,’ demikian juga dalam kaitan dengan ‘berhala,’ Rasul Paulus mengatakan ada banyak ‘allah’ (ilah) dibumi tetapi hanya ada satu ‘Allah,’ pencipta langit dan bumi dan pemberi hidup (1Kor.8; band. Efs.6:11-12). Yang benar adalah bahwa mereka yang kuat imannya, apa yang ada dalam dirinya (Roh Kudus) lebih besar dari roh-roh didunia ini, namun seberapa banyakkah orang yang imannya kuat? Bukankah banyak orang kristen lemah imannya yang mudah dipengaruhi oleh roh-roh diudara? Karena itulah kita yang kuat harus berhati-hati agar tidak menjerumuskan yang lemah. Rasul Paulus mengingatkan: “Tetapi jagalah, supaya kebebesanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah” (1Kor.8:9).

(T–3)   Bukankah yang mesti dipikirkan adalah iman saudara-saudara Kristen lain yang lemah... yang melihat tradisi semacam ini sebagai mengancam .... kalau itu menjadi batu sandungan sebaiknya tidak diikuti... bukan karena adanya roh-roh yang terlibat dalam perayaan... tetapi karena memerhatikan iman saudara yang masih lemah....

(D–3) Benar, Paulus juga mengingatkan bahwa kita harus memikirkan iman mereka yang lemah, tapi bukan karena ‘roh tidak ada’ melainkan karena sadar bahwa ‘roh-roh itu memang ada dan tetap ada sekalipun kita masuk iman,’ namun bagi yang kuat iman roh itu tidak berpengaruh tapi bagi iman yang lemah roh itu bisa berpengaruh buruk, apalagi kalau kita mengadakan Imlek di rumah atau gereja dimana keluarga yang belum beriman ikut diundang, mereka masih percaya dan dengan adanya simbolisme yang diterima masuk ke dalam rumah orang kristen dan gedung gereja mereka lebih diperkuat lagi mempertahankan tradisi penyembahan roh yang mereka sudah percayai secara mendarah-daging dan turun-temurun itu.

(T–4) Cukup banyak kalangan gereja2 Pentakostal dan Kharismatik menyebarkan ajaran yang menimbulkan 'antipati' dari kalangan non-Kristen. Khususnya yang dengan tidak bijaksana mencap segala "simbol" dari tradisi Tionghoa yang tidak mungkin dibuang begitu saja. Misalnya: gambar2 yang bertulisan huruf Tionghoa yang artinya memang bagus. Misalnya: Damai sejahtera, Berkat, dls. Juga gambar2 misalnya: Singa/Barongsai, Naga, Ular, termasuk juga segala lukisan, guci, dan berbagai barang antik, bahkan photo2 piknik yang diambil di sekitar tempat ibadah non-Kristen juga diminta dibakar... Katanya ada setannya lalu minta dibakar dalam nama Yesus...

(D–4) Secara praktis cara ‘bumi hangus’ itu memang lebih mendatangkan syak daripada penyadaran, namun secara prinsip tidak juga bisa disalahkan sekalipun jangan menyamaratakan semuanya begitu karena banyak juga simbol-simbol yang tidak dipuja dengan hio sehingga menyebabkan hadirnya roh-roh jahat diudara dalam obyek penyembahan itu (Barongsai dan Liong biasa disimpan di klenteng dengan dibakari hio). Bila kita mempelajari sejarah animisme dan okultisme, kita dapat mengetahui bahwa timbulnya penyembahan berhala itu semula adanya obyek atau simbol yang disembah. Obyek/simbol yang terus-menerus disembah itu menarik roh-roh diudara untuk menungganginya dan menyatakan dirinya dalam obyek/simbol itu seperti misalnya gunung, gua, pohon, batu besar, patung, dan simbol-simbol lainnya seperti hewan atau kata-kata sehingga obyek/simbol itu menjadi keramat, berkhasiat, dan mendatangkan kekuatan magis. Sebagai contoh ‘Huruf-huruf Fu (Hu)’ yang dalam terjemahan Alkitab Tionghoa digunakan untuk menerjemahkan kata ‘berkat,’ sekalipun arti katanya sama, namun kandungannya beda. ‘Fu’ dalam Alkitab Tionghoa lebih menggambarkan berkat yang dijanjikan kepada umat manusia yang beriman, sedangkan ‘Fu’ dalam simbolisme Cina dianggap sebagai ‘jimat atau mantra’ yang dalam dirinya memiliki kekuatan magis. Simbol ‘Naga’ dalam Alkitab menunjukkan gambaran mengenai ‘Iblis si jahat’ namun simbol ‘Naga’ dalam simbolisme hewan cina dalam dirinya memiliki kuasa pengusir roh dan mendatangkan keberuntungan, itulah sebabnya biasa sepasang patung ‘Barongsai’ dipasang di pintu masuk gedung (bank) agar roh jahat tidak masuk ke gedung itu atau orang Tionghoa memasang gantungan simbol Liong di pintu masuk rumahnya.

(T–5)   Hal2 spt diatas menimbulkan 'permusuhan' dengan mereka yang belum percaya dan menghambat komunikasi Injil kepada mereka. Saya yakin bila kita sudah percaya, Roh Kudus yang didalam kita lebih besar dari roh manapun, dan tidak perlu takut, atau alergi, atau 'menjadi bodoh' hingga memusuhi dan sembarang membakar hal-hal yang dianggap/ditakuti ada setannya.

(D–5) Memang menyamaratakan semua benda, simbol, dan barang antik mengandung roh jahat tidak bijaksana apalagi kalau dilakukan didepan orang bukan Kristen, namun secara terbatas memang ada simbol-simbol kepercayaan tertentu yang dianggap sebagai jimat/mantra dan ini perlu dibakar untuk memusnahkan kekuatannya, sebab kalau tetap disimpan oleh umat kristen, hal itu menduka-citakan Roh Kudus. Tidak semua keris, simbol binatang atau barang antik mengandung roh jahat sehingga harus dibakar semua kecuali yang dijadikan obyek penyembahan/jimat. Penulis pernah mengunjungi rumah dimana kepala keluarga mengalami penyakit aneh yang parah dan sudah berulang-kali masuk rumah sakit dan tidak sembuh-sembuh. Ketika memasuki rumahnya terlihat ruangan itu suasananya gelap dan terasa menyeramkan, di dinding yang warnanya gelap digantung keris keramat termasuk patung-patung kuno dan pedang perang yang dulunya sudah mengalirkan darah banyak orang. Tidak lain yang bisa dilakukan seorang pembimbing rohani selain mengajaknya berdoa yaitu menasehati agar barang-barang antik tertentu yang mencurigakan yang dijadikan jimat disingkirkan dan agar tidak mempengaruhi orang lain baik juga kalau dibakar. Ada hamba-hamba Tuhan tertentu yang memang dikaruniai Tuhan membedakan roh yaitu mana benda antik yang berpenghuni dan mana yang tidak. Sudah tiba saatnya para hamba Tuhan mulai berhati-hati menghadapi kuasa kegelapan yang belakangan ini gencar menyesatkan umat kristen.

Akhirnya . . .

Johanes Verkuyl yang menulis seri buku etika yang klasik menulis bahwa dalam mengambil keputusan etika kita harus berhati-hati untuk tidak terseret pada ekstrim ‘libertinisme’ (kebebasan) maupun ‘farisiisme’ (keterikatan) melainkan menguduskan semua tindakan etis kita dengan Firman Tuhan.

Demikianlah, marilah kita menghadapi masalah etika dengan berhati-hati, tidak ekstrim menolak, juga tidak menerima begitu saja melainkan menerima apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Kiranya Diskusi diatas memperjelas Tanggapan yang diajukan.

“Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik.” (Roma 10:15b)


Salam kasih dari YABINA ministry www.yabina.org

 


Form untuk mengirim pertanyaan | Diskusi Sebelumnya