Ruang Tanya jawab Juli 1999 

Form untuk mengirim pertanyaan


Sudah lama ada pertanyaan diajukan kepada YBA soal Predestinasi dan Calvinisme, bahkan ketika melakukan pelayanan di Jerman bulan April 1999, soal itu juga mencuat ke permukaan. Sehubungan dengan itu YBA menjadikan pertanyaan sekitar Predestinasi/Calvinisme itu menjadi salah satu topik diskusi bulan ini dan meninjaunya berdasarkan firman Tuhan untuk mengetahui apakah semuanya itu benar demikian, dan agar dapat diketahui oleh lebih banyak orang mengingat masalah ini di kalangan tertentu cukup berpotensi untuk memecah belah gereja. Soal lain yang menjadi topik diskusi utama adalah penggunaan nama "Allah" yang dipersoalkan beberapa penginjil tertentu!

SOAL PREDESTINASI DAN NAMA ALLAH

(Tanya-1) PREDESTINASI ATAU ARMENIAN? Saya bingung belakangan ini di kalangan gereja tertentu banyak diperdebatkan soal Predestinasi dan Armenian, apakah sebenarnya maksud keduanya itu dan manakah yang benar? (CHL,Berlin)

(Jawab-1)
Predestinasi adalah ajaran (doktrin) tentang keselamatan yang dipercaya telah ditentukan terlebih dahulu dari kekal sampai kekal yang dikembangkan oleh Johanes Calvin (1509-1564), salah satu reformator abad ke-XVI, karena itu biasa disebut identik dengan Calvinisme. Ajaran Armenian adalah ajaran yang dikembangkan oleh Jacobus Armenius (Jakob Hermanszoon, 1560-1609) yang sekalipun menerima ajaran Calvinisme tetapi menekankan bahwa manusia dapat menolak atau menerima keselamatan itu. Untuk lebih jelas tentang kontroversi soal keselamatan itu perlu diketahui bahwa pada kutub yang lain dimana kelihatannya Armenianisme berada di antaranya dan Calvinisme, ada yang disebut Pelagian yang dikembangkan oleh Pelagius seorang moralis kristen yang aktip di Roma sekitar tahun 383-409, dan berpendapat bahwa semua orang dapat hidup bebas dari dosa bila ia menghendakinya karena Tuhan tidak menentukan apapun mengenai keselamatan manusia. Dari ketiganya jelas Pelagian dianggap tidak Alkitabiah sehingga dapat dilepaskan dari diskusi ini.
Ajaran Calvinisme atau Predestinasi itu menekankan kemutlakkan otoritas Tuhan dalam menentukan rencana kehendak AnugerahNya atas ciptaan dari kekal sampai kekal. Keputusan Tuhan adalah kekal, tidak berubah, suci, adil, dan mahakuasa dan didasarkan atas pengetahuan sebelumnya atas semua peristiwa dan tidak terpengaruh oleh ciptaan atau kejadian yang berlangsung. Dari kerangka predestinasi manusia inilah maka Tuhan memilih umatnya untuk selamat atau tidak diselamatkan dalam rangka penebusan dosa sesuai yang telah diketahuinya sebelumnya. Ajaran ini dengan jelas tidak memberi tempat pada manusia dalam hubungan dengan keselamatan, dan bila dalam Alkitab disebutkan tentang perbuatan baik atau buah-buah, itu adalah bukti keselamatan yang telah dikaruniakan Tuhan dan bukan hasil kerja manusia. Bila Calvinisme terlalu berat menekankan pada otoritas Allah dan menghilangkan kebebasan manusia dalam memilih, Armenianisme terlalu berat terletak pada kebebasan manusia sehingga karya salib seakan-akan tidak berarti apa-apa bila manusia tidak mau menerimanya. Yang jelas Alkitab memberitahukan bahwa manusia diberi tanggung jawab dalam hidup ini untuk mentaati firman Tuhan dan melakukan kehendak Allah (Mat.7:21) tetapi kehendak manusia untuk berbuat baik itu bukan sekedar bukti keselamatan seperti yang digambarkan oleh Calvinisme tetapi juga bukan hasil kehendak bebas manusia seperti yang diajarkan Armenianisme. Yang jelas, karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil kehendak bebas manusia, tetapi pemberian Allah. Karena kita buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya (Efs.2:8-10). Dari ayat ini jelas bahwa manusia mempunyai tanggung jawab melakukan pekerjaan baik yang merupakan ketaatan manusia dalam iman. Keselamatan ditawarkan kepada semua orang dan barangsiapa percaya akan diselamatkan (Yoh.3:16). Lepas dari perdebatan kata-kata yang sering menjuruskan manusia ke dalam perseteruan dan perpecahan gereja, perlu disadari bahwa manusia tidak diselamatkan karena 'mempercayai doktrin calvinisme' atau 'mempercayai doktrin armenianisme' tetapi karena kasih karunia Allah yang kita terima dengan iman, iman yang terlihat dari perbuatan baik yang kita lakukan dalam memenuhi kehendak Allah. Karena itu, bila kita sudah beriman, bertekunlah dalam mentaati firman Tuhan dan melakukan kehendak Allah dalam hidup kita sehari-hari.

(T-2) KESELAMATAN HILANG? Saya ingin bertanya apakah keselamatan dapat hilang, kemudian apakah predestinasi yang diajukkan CALVIN lebih alkitabiah dibandingkan dengan ajaran ARMENIAN? saya mengharapkan jawabannya, terima kasih. (ANT, E-mail)

(J-2) Kalau kita mengakui Kemahakuasaan dan Otoritas Allah yang mutlak, maka pertanyaan itu kita serahkan jawabannya kepada Tuhan sendiri. Yang jelas sekalipun Ia telah memilih seseorang untuk binasa Ia dapat membuang orang itu dan bila Ia telah membuang seseorang tentu Ia dapat menyelamatkannya kalau mau bukan? Bila kita menghargai otoritas Allah yang mutlak janganlah kita mengikat Tuhan dengan doktrin buatan manusia. Yudas telah dipilih Tuhan tetapi ia kemudian ditolak, dalam hal ini kita tidak perlu berteori seakan-akan soal ini sudah ditentukan Allah menurut pengetahuanNya sebelumnya. Ajaran Calvin banyak yang Alkitabiah tetapi ada yang merupakan pemikiran teologis Calvin sendiri demikian juga dalam ajaran Armenian kita melihat bahwa Armenius juga mengutip ayat-ayat Alkitab, yang jelas semua itu harus selalu diukur dengan penyelidikan Alkitab yang terus menerus (Kis.17:11). Ketika Petrus bertanya kepada Yesus mengenai masa depan Yohanes "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?" Jawab Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku" (Yoh.21:21-22). Dari terang ayat ini kita dapat mengetahui bahwa yang penting bagi kita umat Kristen bukan spekulasi mengenai bagaimana nanti kita kelak, tetapi "bagaimana kita mengikut Yesus dan melakukan kehendakNya pada masakini!" Bila kita mempelajari perumpamaan "Pokok Anggur yang Benar" (Yoh.15:1-17), kita melihat bahwa bila ranting yang diciptakan untuk selamat oleh pokok anggur itu tidak berbuah, tentu ranting itu akan dibuang ke dalam api (oleh pokok anggur bukan karena kehendak sendiri), tetapi ranting itu tidak mungkin berbuah kalau ia tidak tetap melekat pada pokok anggur (jadi bukan berbuah karena kehendak bebasnya), jadi untuk bisa berbuah lebat hendaknya ranting terus menerus menyerap makanan dari pokok anggur itu". Yesus berfirman: "Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal di dalam kasihNya." (Yoh.15:10).

(T-3) NAMA ALLAH. Saya ingin penjelasan lebih lanjut tentang aliran, yang mengatakan bahwa orang Kristen jangan menyebut Allah, karena kata itu berasal dari nama Tuhannya orang Arab, sehingga kita menyembah berhala. Mereka beranggapan saat ini kita perlu belajar langsung dari Yesus saja. (ALX, E-mail)

(J-3) Istilah Allah memang berasal bahasa Arab yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi istilah itu sebenarnya berasal dari kata El dari bahasa Semit (jadi sebelum kelahiran Ismail bapa orang Arab) yang menunjuk kepada Tuhan, suatu sebutan umum untuk menyebut 'Tuhan yang disembah.' Karena sifatnya umum, maka orang-orang Kanaan menyebut Tuhan yang disembahnya sebagai 'Ba-al' . Pada masa Abraham orang Israel menyebut Tuhan Abraham sebagai 'El' atau 'Elohim' dan setelah masa Ismael, keturunannya yang disebut orang Arab menyebut 'El' yang disembah Abraham 'Bapa Orang Percaya' itu dengan sebutan 'Allah' sesuai dengan perkembangan bahasa Arab. Banyak istilah di Indonesia diwarisi dari bahasa Arab dan istilah Tuhan inilah yang digunakan dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia. Istilah Allah ini disejajarkan dengan nama Tuhan dalam "Aku, TUHAN (Yahweh). Allahmu (Elohim), adalah Allah (El) yang cemburu ..." (Ulg.5:9) atau dalam "Akulah Allah (El) yang di Betel itu..." Kej.31:13). Orang Arab menggunakan sebutan Allah untuk El Israel, hanya versi pengajarannya adalah yang ditradisikan melalui Ismail dan keturunannya, sedangkan orang Israel mempercayai versi pengajaran "Allah Abraham, Ishak dan Yakub." (Kel. 3:15). Kata padanan yang lain adalah "Elyon" (Allah mahatinggi), atau "Eloah" (sama artinya dengan El). Jadi, sebutan Allah dalam Alkitab tidak ada salahnya sama
seperti kita menterjemahkan sesuai bahasa Inggeris "God" asalkan pengajaran mengenaiNya disesuaikan dengan wahyu yang diturunkan melalui jalur Abraham, Ishak dan Yakub. Kalau mau jujur, ketika Musa bertanya siapakah nama Tuhan Allah? Tuhan tidak memberi tahu apa namaNya, hanya mengatakan bahwa "AKU ADALAH AKU" (Kel.3:13-14).

(T-4) NAMA ELOIM. Dalam traktat berjudul "Siapakah Yang Bernama Allah itu?" (diterbitkan oleh Shiraathal Mustaqim, Jakarta) disebutkan bahwa Allah itu nama "Dewa Arab Kuno" atau ada yang menyebutnya sebagai nama "Dewa Air" sehingga traktat itu mengganti istilah Allah dengan "Eloim" atau "Jahweh". Kalau ini benar maka traktat itu merupakan koreksi atas kekeliruan gereja selama beratus tahun yang telah menterjemahkan nama Tuhan ditulis dengan Allah bukan? (SON, Jakarta)

(J-4) Sebenarnya jawaban di atas (J-2) sudah cukup jelas. Bisa saja orang Arab kemudian ada yang mempercayai Allah sebagai "Dewa Air" atau "Dewa Arab Kuno" karena hal itu menggambarkan kemerosotan agama dalam jalur Ismael (Arab) yang mengubah pengertian untuk sebuah istilah yang netral tetapi orang Arab lainnya bisa tetap menggunakannya dalam kaitan dengan Allah Ismael, lagipula kita harus menyadari bahwa dalam jalur Ishak-Yakub pun kemerosotan itu sering terjadi. Dalam Kel.32:1-4 kita dapat melihat bahwa 'allah Lembu Emas' yang disembah bani srael waktu itu saat menunggu Musa dalam bahasa aslinya disebut "Elohim!" padahal Tuhan dan Musa menyalahkan mereka dan agar mereka kembali kepada Allah Israel yang benar (Kel.32:27) dan Musa juga menggunakan istilah "Elohim" disini. Dua konsep Tuhan yang berbeda untuk nama yang sama! Mengenai traktat yang mengganti nama Allah menjadi "Eloim" dasarnya apa? Soalnya dalam bahasa asli Perjanjian Baru (Yunani Koine) dalam Yoh.1:1-3, nama itu bukan disebut "Eloim" tetapi "Theos" jadi mengapa diterjemahkan sebagai Eloim? Kalau kita mempercayai teori para penginjil yang tidak mempunyai dasar teologia dan mempelajari Alkitab secara amatiran, maka kita akan bingung, sebab kalau kita mengganti nama "Allah" itu menjadi "Eloim" lalu datang utusan dari Saksi Yehuwa dan memaksakan diri untuk menggantinya lagi dengan nama "Yehuwa" lalu bagaimana? Kita perlu sadar bahwa kalau umat Kristen Perjanjian Baru mau menggunakan istilah "Yahweh" (YHWH) atau "Elohim" yang dipergunakan orang Israel sebagai pengganti istilah "Allah" Arab, belum tentu pengertian dibaliknya bisa sama dengan "Tuhan Perjanjian Baru", soalnya orang Israel mempercayai "Yahweh Abraham, Ishak dan Yakub" dan ini tidak seratus persen identik dengan kepercayaan orang Kristen yang mempercayai "Yahweh Abraham, Ishak dan Yakub yang digenapi dalam Yesus Kristus." Orang Israel tidak mempercaya Yesus Kristus dan penebusan salib! Ingat pula dalam hipotesa sumber "JEDP" ada sumber Alkitab yang menggunakan nama "Jahweh" (J) untuk menyebut Allah dan ada yang menggunakan nama "Elohim" (E) untuk menyebut Allah yang sama, dan ada sumber yang menyebut keduanya besama-sama!

(T-5) PERCERAIAN. Apakah Ajaran Kristen memperbolehkan "bercerai" dan apakah ada celah kesempatan terjadinya "perceraian" yang resmi bagi umat kristiani? Umumnya, jawaban sepintas yang diberikan adalah tidak diperbolehkan / tidak dizinkan melakukan "perceraian." Lantas bagaimana sikap kita terhadap Firman Tuhan dalam Matius 5:32 dan 19:9, yang memberikan celah kesempatan berupa "kecuali zinah", yang tentunya bisa diartikan, bila dalam suatu rumah-tangga, suami atau istri ternyata melakukan "zinah" (selingkuh/hugel/affair), maka "perceraian" menjadi legal secara Kristen. Dan kemudian setelah resmi "bercerai" secara Kristen dan secara Hukum Negara, apakah kedua-belah pihak masing-masing boleh menikah kembali (tentunya dengan pasangannya sendiri)? (DAN, E-mail)

(J-5) Secara prinsip, apa yang dijodohkan Allah jangan diceraikan oleh manusia. Yang menjadi masalah adalah bahwa benarkah semua pasangan dijodohkan Allah? Ada yang menjadi pasangan karena dinikahkan orang tua, ada yang karena kecelakaan, dan ada yang karena cinta buta. Yang perlu dipersiapkan adalah bahwa dalam hubungan perkawinan kita perlu melalukan pertimbangan yang matang disertai doa mohon pimpinan Tuhan. Beberapa pertimbangan adalah (1) Seiman, (2) Orang Tua, (3) Melieu (lingkungan), (4) Cinta, (5) Pendidikan, dan (6) Kesehatan. Bila persiapan perkawinan berjalan dalam terang Tuhan maka bila ada ketidak cocokan atau pertengkaran akan selalu harus diselesaikan dengan kasih Tuhan, dan bila ada yang jatuh dalam "zinah" tidak otomatis mereka dapat bercerai. Bila zinah itu terjadi secara sadar, tidak diakui sebagai salah dan dilakukan terus menerus, maka zinah demikian bisa dijadikan alasan bercerai, tetapi bila zinah itu diakui oleh yang melakukannya dan ia bertobat dan tidak mengulangnya, maka kasih perlu memulihkan perkawinan itu. Bila ada pihak yang melakukan kekejaman yang tidak lagi bisa ditolerir menurut ukuran manusia dan usaha memperbaikinya tidak bisa maka perceraian dapat dilakukan tetapi harus dengan pertimbangan matang dengan konsultasi pendeta dan pembimbing, dan dalam kasus dimana perceraian tidak mungkin dihindari karena sebab-sebab yang tidak mungkin diatasi lagi, maka perceraian setelah suatu masa bisa dilanjutkan dengan menikah lagi (bila dapat dengan ex-pasangan bila masing-masing setelah kurun waktu tertentu sadar dan mau berdamai) dengan pasangan yang memenuhi kriteria di atas. Dalam mengambil keputusan perlu waktu pendinginan dan tidak tergesa-gesa dan masa-depan anak-anak perlu juga menjadi perhatian serius. Di Amerika Serikat, dua dari tiga perkawinan berakhir dengan perceraian, dan dari yang tidak bercerai adalah keluarga-keluarga Kristen yang berasal dari gereja yang menjadikan Alkitab sebagai firman Allah dalam hidup mereka!

(T-6) INERRANCY. Saya mau bertanya soal ketidakbersalahan Alkitab, soalnya akhir-akhir ini mulai ramai dibicarakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan, hal ini dikarenakan penulisnya adalah manusia maka kemungkinan untuk salah menjadi mungkin? Apakah benar begitu? (RIC, E-mail)

(J-6) Kita perlu menyadari bahwa Alkitab bukan tulisan atau catatan agama manusia biasa dan Alkitab juga bukan buku yang didiktekan secara ilahi (mekanis), tetapi Alkitab kita percayai sebagai ditulis manusia yang diilhamkan Roh Allah (II.Tim.3:15-17/II.Pet.1:19-21). Jadi dalam penulisan Alkitab ada tiga pihak, Allah (Bapa, Anak & Roh Kudus) yang berfirman dan mengilhami yang adalah kekal dan tidak terbatas, penulis Alkitab yang tidak kekal dan terbatas, dan pembaca Alkitab yang tidak kekal dan terbatas pula. Kita tidak perlu mempersoalkan soal salah tidaknya ayat-ayat Alkitab karena soal ini (Inerrancy) sudah banyak mendatangkan polemik berkepanjangan yang tidak kasih. Yang penting adalah bahwa dengan keterbatasan kita sebagai manusia (terbatas dalam hal pengetahuan, budaya, sastera/bahasa, pengertian) mencoba menggali isi Alkitab (yang terbatas halamannya) yang ditulis oleh penulis yang terbatas juga. Maka usaha yang harus kita lakukan adalah terus menerus berdoa agar Roh Tuhan memberi kita pengertian sekaligus mengungkapkan kebenarannya yang kekal dan tidak terbatas melalui media yang tidak kekal dan terbatas itu, dan mempelajari Alkitab dengan memperhatikan latar belakang sejarah, budaya, bahasa dan lainnya, dan menafsirkannya secara hermeneutis dan kontekstual.

(T-7) DAMPAK KETIDAK PERCAYAAN. Apakah dampaknya kalau kita percatya bahwa Alkitab mengandung kesalahan-kesalahan, dan apa dampaknya kalau kita percaya bahwa Alkitab tidak dapat salah setiap kata-katanya? (TAN, E-mail)

(J-7) Kepercayaan bahwa Alkitab mengandung kesalahan-kesalahan telah banyak membuat orang menurunkan pengharapannya akan Alkitab sekedar sebagai manusia biasa, dan sudah terbukti bahwa sikap Liberal demikian telah menghasilkan orang-orang yang menjurus pada ketidak percayaan akan Tuhan dan meninggalkan kekristenan, sebaliknya sering sikap yang menganggap Alkitab tanpa cacat dan kerut menghasilkan iman beku yang menjurus kesempitan Fundamentalisme yang menutup diri terhadap kebenaran itu sendiri. Mereka yang percaya Inerrancy belum tentu menafsirkan Alkitab dengan benar. Lihat saja dalam buku Jonggi Cho, ia mengatakan bahwa ia mempercayai Alkitab tanpa salah tetapi memperlakukan Alkitab sebagai primbon perdukunan, demikian juga seorang tokoh Injili dari Yogyakarta pernah mengatakan bahwa "seseorang tidak layak disebut Injili bila tidak mempercayai Alkitab sebagai tidak salah setiap kata-katanya secara verbal." Apa yang dipercayainya? Ia sekarang mengajarkan faham "The 7 Habits" dari Stephen Covey, mengaminkan isinya yang berbau Gerakan Zaman Baru dan mempercayai bahwa "sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia sudah mempunyai kecenderungan baik dan jahat." Alkitabiahkah? (Untuk pembahasan soal buku "The 7 Habits" silahkan membaca Makalah Sahabat Awam no.52 (September 1999)).

A m i n !

Catatan: Menyambut banyaknya sambutan akan forum diskusi/tanya-jawab YBA tentang masalah teologia maupun umum, sejak Januari 1999 terbuka forum diskusi yang dapat diikuti oleh setiap netter. Dari sekian banyak pertanyaan/tanggapan yang masuk, setiap bulan akan dipilih beberapa pertanyaan/tanggapan yang dianggap penting untuk dirilis secara berselang-seling dengan renungan bulan yang sama. Identitas para netter akan ditulis dengan singkatan tiga huruf disusul dengan kota dimana ia berdomisili. Setiap topik diskusi dapat ditanggapi lagi bila belum terasa cukup. Pertanyaan/tanggapan dikirimkan ke alamat YBA


Form untuk mengirim pertanyaan