Ruang Tanya Jawab - Februari 2002
Form untuk mengirim pertanyaan
Tradisi Budaya leluhur
Pada bulan Februari tahun 2002, untuk pertama kalinya hari raya IMLEK dirayakan secara besar-besaran dan bahkan pemerintahan Presiden Megawati telah menjadikan hari raya Imlek sebagai ‘hari libur nasional.’ Saat ini orang mulai kembali ramai merayakan tahun KUDA sebagai bagian dari kecenderungan manusia untuk kembali menghargai tradisi budaya leluhur, dan orang mulai kembali membangun rumah-rumah mereka dengan pertimbangan FENGSHUI. Sampai dimanakah tradisi budaya leluhur terutama hari raya Imlek dapat diikuti oleh umat Kristen?
(Tanggapan-1) TRADISI BUDAYA LELUHUR. Menghadapi tradisi budaya leluhur yang kembali lagi diminati orang modern, bagaimanakah kita harus menghadapi tradisi budaya demikian?
(Jawaban-1) SEBENARNYA kebudayaan itu pada dasarnya bersifat netral, dalam arti sebagai tugas manusia dalam ‘mengerjakan kemungkinan-kemungkinan dalam alam semesta’. Kebudayaan adalah hasil manusia karena di dalamnya manusia menyatakan dirinya sebagai manusia, mengembangkan keadaannya sebagai manusia, dan memperkenalkan dirinya sebagai manusia. Dalam kebudayaan, bertindaklah manusia sebagai pribadi dihadapan alam, namun membedakan dirinya dari alam dan menundukkan alam bagi dirinya sendiri. Yang menjadi masalah adalah bahwa kebudayaan tidak selalu berjalan dengan benar bagi umat beragama, karena kebudayaan adalah hasil usaha manusia sedangkan agama khususnya agama wahyu Kristen berasal dari penyataan yang suci yaitu Tuhan Allah.
(T-2) ALKITAB DAN KEBUDAYAAN. Bagaimanakah pandangan Alkitab mengenai kebudayaan?
(J-2) KEBUDAYAAN menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan memerintah bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.’
(T-3) DOSA DAN KEBUDAYAAN. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang menyebabkannya?
(J-3) PENYIMPANGAN kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’ dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin menjadi seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan kebudayaan sehingga berpotensi bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah. Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan, kadang-kadang terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat digunakan tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari ‘cara menggunakan’ hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya menghadapi bahaya kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir. Film & Sinema dengan jelas menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah dikuasai dosa pornografi, sadisme dan okultisme tanpa bisa dibendung. Sesuatu yang mendukacitakan Allah pencipta manusia dan kemanusiaan. Yesus berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat manusia.” (Mrk.6:8)
(T-4) IMAN KRISTEN DAN KEBUDAYAAN. Kalau begitu, bagaimana sikap sebaiknya seorang beriman Kristen menghadapi kebudayaan?
(J-4) SIKAP umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima macam, yaitu:
(1) Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil dan penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;
(2) Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada. Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam usaha untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau yang belakangan ini lebih dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);
(3) Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang menganggap bahwa ‘sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena kejatuhan dalam dosa’, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat anugerah ilahi;
(4) Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis. Pada satu pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;
(5) Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah ‘memuliakan Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan kemanusiaan.’
Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan sikap ‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” (Kol.2:8).
(T-5) MERAYAKAN IMLEK. Sebagai umat Kristen yang telah mengenal Yesus Kristus namun beretnis Cina/Tionghoa, apakah kita dapat ikut merayakan Imlek?
(J-5) KITA mengetahui bahwa ada dua aspek budaya dalam perayaan Imlek, yaitu pertama sebagai ‘budaya sosial’ dan kedua sebagai ‘budaya religi’. Sebagai budaya sosial, kita melihat Imlek dirayakan sebagai tahun baru menyambut musim semi dan mulai menanam padi dalam konteks kehidupan sosial masyarakat agraris dimana diadakan perayaan bersama yang dihadiri segenap keluarga maupun bangsa. Dalam hal ini tentu tidak salahnya kalau seorang beriman ikut serta merayakan Imlek bersama keluarganya. Namun, Imlek juga memiliki aspek ‘budaya religi’ dimana perayaan itu sudah dicampuri dengan penyembahan dewa-dewi dengan meja sembahyang, dan juga ritus pengorbanan animisme (sam seng). Imlek biasa dirayakan secara religi di Kelenteng maupun Vihara. Dalam perayaan Imlek yang bersifat religi ini, wanita dilarang ikut serta dan hanya bisa diikuti oleh kaum laki-laki sebagai konsekwensi keyakinan supremasi unsur ‘Yang’ atas unsur ‘Yin’. Di sini kita melihat bahwa Imlek religi ini digunakan untuk menyembah dewa-dewi (dan bukan Allah) dan jelas merupakan penyembahan berhala. Lagian, perayaan Imlek religi ini juga melecehkan kemanusiaan dimana kaum wanita direndahkan. Karena itu jelas, seseorang beriman dapat ikut merayakan Imlek selama sifatnya perayaan sosial-budaya dan kesempatan Imlek budaya sosial ini dapat digunakan sebagai kesempatan untuk menyaksikan iman Kristen di hadapan keluarga, namun bila itu sudah menyangkut budaya religi, sepatutnyalah umat Kristen tidak terlibat di dalamnya agar tidak mendukakan Tuhan Allah.
(T-6) MENGUNDANG BARONGSAI? Sebagai keluarga Kristen atau gereja Tionghoa, dapatkah kita mengundang ‘Barongsai’ ke rumah atau ke gereja sebagai warisan budaya silat?
(J-6) BARONGSAI adalah permainan magis karena wajah Barongsai merupakan magisasi bentuk binatang ‘singa’ atau ‘kilin’ dan dimainkan oleh para ahli silat yang mempelajari mistik dan magis (pengolahan tenaga batin chi). Barongsai biasa disimpan di kelenteng atau vihara dan disembayangi dengan dupa/hio, dan sebelum bermain, para pemainnya berdoa tao/buddhis untuk mohon berkat. Selanjutnya, barongsai digunakan untuk mengusir roh-roh jahat (menurut mereka) yang ada di kamar-kamar rumah atau gedung. Kita perlu memikirkan dengan serius bahwa baik rumah umat Kristen terlebih gereja Kristen adalah rumah roh Kudus, karena itu dengan mendatangkan barongsai, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: “roh apa yang mengusir roh apa?”
Semoga diskusi/tanya jawab bulan ini memberikan kejelasan mengenai nisbah antara tradisi budaya dan iman Kristen.
Salam kasih dari Herlianto/YBA