Ruang Tanya Jawab - Oktober 2003 

Form untuk mengirim pertanyaan


ALKITAB, Terjemahan & Kanonisasi

Sebagai kelanjutan artikel, renungan dan diskusi sekitar Alkitab, beberapa pertanyaan telah diajukan sebagai berikut:

(Tanya-1) BAHASA ASLI ALKITAB. Mengapa Alkitab tidak dipertahankan dalam bahasa aslinya saja untuk mengurangi kesalahan penerjemahan? Seringkali ada penerjemahan yang kurang tepat sehingga harus melihat dulu dari bahasa aslinya baru tahu yang dimaksud itu seperti apa. Yang jadi masalah adalah banyak keyakinan yang timbul, yang terkadang menimbulkan kontroversi, padahal ayat tersebut diambil dari ayat berbahasa Indonesia yang artinya kurang begitu tepat kalau dilihat dari bahasa aslinya. Bagaimana bila kasus seperti ini terjadi pada teman-teman seiman yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa asli alkitab ?

(Jawab-1) SEBENARNYA penerjemahan Alkitab direstui bahkan didorong oleh Tuhan, Nabi, Imam, Yesus, dan para Rasul, karena merupakan tradisi firman Tuhan sendiri. Perlu diketahui bahwa bahasa Ibrani berkembang, baik kata-kata, gramatika, maupun kegunaannya, ada kalanya menjadi bahasa ‘mati’ (tidak digunakan dalam percakapan) dan kemudian digunakan sebagai bahasa ‘hidup’ (percakapan). Ketika Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani sudah tidak dimengerti umat, Ezra menerjemahkannya ke dalam bahasa Aram (Targum, Neh.8:2-9), kemudian Imam Besar Eliezer merestui dan mengirimkan penerjemah untuk menerjemahkan naskah Ibrani PL ke dalam bahasa Yunani (LXX). Ketika hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri menerjemahkan firman Tuhan ke banyak bahasa (Kis.2:4), dan PB ditulis dalam bahasa Yunani dan bukan Ibrani. Firman Tuhan adalah hidup dan tidak dibatasi bahasa manusia. Bila kita ingin menghindari penerjemahan dan kembali ke bahasa Alkitab, resikonya sama yaitu orang yang mempelajari bahasa asli Alkitab belum tentu mengertinya sama, karena itu lebih baik, sekalipun tidak sempurna, penerjemahan dilakukan oleh kumpulan spesialis yang ahli teologi & bahasa agar ada keseragaman, dan mempelajari bahasa asli dapat merupakan penambahan pengertian yang saling melengkapi. Terjemahan Alkitab selalu terbuka akan perbaikan untuk lebih memperjelas artinya dan disesuaikan dengan perkembangan bahasa terjemahannya. Kita jangan menjadikan firman Tuhan sebagai mati dalam keterbatasan Alkitab, namun dalam keterbatasannya itu kita menganggapnya cukup untuk membawa kita kepada iman akan Yesus yang adalah Messias dan agar kita hidup dalam Nama-Nya (Yoh.20:30-31).

(T-2) TANGGUNG JAWAB PENERJEMAHAN. Bagaimana pertanggungjawaban para penerjemah terhadap hasil terjemahan mereka ? saya menanyakan hal ini karena saya mendengar dari beberapa khotbah, ada pengkhotbah yang berkata bahwa ayat ini atau ayat itu kurang tepat terjemahannya dan seharusnya begini kalau diurut dari bahasa aslinya.

(J-2) PERTAMA, para penerjemah bertanggung jawab kepada Tuhan dan gereja Kristen yang am, dan pekerjaan mereka biasanya dipelajari oleh gereja-gereja pendukung dan setelah mendapat masukan maka diterima sebagai terjemahan resmi. Terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) juga telah diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dari gereja Roma Katolik. Saya kira kotbah para pengkotbah yang menganggap ada terjemahan yang kurang tepat juga harus diuji dan kalau teruji lebih benar dapat menjadi masukan untuk memperbaiki penerjemahan resmi. Ingat bahwa terjemahan Alkitab adalah hasil konsensus berbagai pihak. Adalah mustahil, selama manusia masih terbatas dan pikirannya tidak sama dengan pikiran Allah, untuk menghasilkan penerjemahan yang 100% identik dengan apa yang dimaksudkan Allah.

(T-3) KANONISASI ALKITAB. Diluar 66 kitab, ada kitab-kitab lain yang tidak dimasukkan dalam kanonisasi. Bagaimana proses kanonisasi tersebut dilakukan ? Apa standar yang digunakan, sehingga bisa memilah ini kitab yang benar, itu kitab yang salah? Apakah kanonisasi yang sekarang masih terbuka terhadap masuknya kitab yang baru ? misalnya nanti ada temuan arkheologis salah satu kitab masa para rasul, lalu akhirnya kitab tersebut kita tambahkan pada kanon sekarang? Mengapa kita yang protestan tidak mau menerima kitab-kitab yang termasuk dalam Deuterokanonika dalam alkitabnya teman-teman Katolik ?

(J-3) KANON ALKITAB adalah hasil proses sejarah yang disahkan melalui konsensus para bapa gereja. Dalam hal PL, para Imam Yahudi dan keluarga Masoretlah yang menyusun konsensus kanon Ibrani di Jamna (ca-90). Kanon Alkitab tidak dihasilkan oleh pertemuan pemimpin agama tetapi merupakan proses sejarah yang kelihatannya dipimpin Roh Kudus dan baru persidangan pemimpin agama mensahkannya. Demikian juga halnya dengan proses sejarah kanon PB sampai disahkan dalam konsensus para Bapa Gereja. Kanon sudah tertutup dan tidak perlu ditambah lagi, dan bukan kebetulan kalau ucapan rasul Yohanes pada Why.22:18-21 dijadikan ‘Penutup’ bukan saja kitab Wahyu tetapi seluruh Alkitab. Umat Kristen tidak menerima deuteronomika Roma Katolik, karena kitab-kitab itu tidak diterima dalam kanon Yahudi dan Yesus juga tidak menggunakannya sekalipun Yesus menggunakan kitab Septuaginta (LXX) yang digunakan di Sinagoge dan oleh umat Kristen pada abad pertama.

(T-4) ALKITAB FIRMAN ALLAH. Teman Islam bilang, kalau Alkitab dikatakan sebagai Firman Allah, seharusnya isinya adalah kebenaran dan tidak ada kesalahan di dalamnya, tapi kenyataannya walau bukan hal yang substantif, ternyata ada beberapa perbedaan data misal antara kitab Tawarikh dengan kitab Raja-raja mengenai jumlah, termasuk ternyata ada beberapa ayat yang ternyata pendapat pribadi Paulus dalam I Korintus. Dalam keadaan seperti ini apakah Alkitab masih layak dipercaya sebagai Firman Allah?

(J-4) MENYEBUT Alkitab sebagai firman Allah tidak berarti kita mempercayai ilham mekanis seakan-akan Alkitab adalah firman Allah yang diturunkan atau didektekan dari surga seperti dalam konsep Islam, di pihak lain kita juga tidak bisa menganggapnya hanya sebagai catatan agama para murid Tuhan saja. Kita menerima Alkitab sebagai tulisan yang diilhamkan Allah yang memberi hikmat kepada umat percaya dan menuntun kita kepada Kristus Yesus (2Tim.3:15-17). Adanya perbedaan-perbedaan bisa saja terjadi karena Alkitab memiliki keterbatasan dalam hal bahasa dan jumlah halaman dikarenakan penulisnya juga memiliki keterbatasan pengetahuan, hikmat maupun kemampuan berbahasa dan menuliskan gagasan mereka. Justru di sinilah studi Alkitab (kritik teks) diperlukan agar kita dapat menghayati kebenaran Allah di balik keterbatasan manusia yang menuliskan ilham itu dalam Alkitab. Memang Alkitab mengandung kata-kata Paulus juga kata-kata Iblis (a.l. Kej.3 dan Mat.4:1-11), tetapi semuanya menjadi satu kesatuan yang mengungkapkan sejarah kehidupan manusia dan keselamatan yang dikerjakan Allah. Alkitab bertahan mengarungi puluhan abad dan beberapa milenium, dan dipelihara oleh Roh Kudus yang mengilhamkannya, karena itu tetap layak dipercayai sebagai Firman Allah.

(T-5) INERRANCY. Ada beberapa pendapat yang dijadikan doktrin, yang menyatakan Alkitab tidak bisa salah termasuk dalam setiap katanya. Bagaimana menyikapinya ?

(J-5) MEMANG dalam sejarah gereja ada pandangan yang disebut sebagai Inerrancy (ketidak bersalahan) Alkitab, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam semua hal baik hal iman maupun pengetahuan, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam hal-hal iman sekalipun bisa bersalah dalam hal-hal non-iman, bahkan ada yang mengatakan ketidak bersalahan itu pada setiap kata-katanya, dan ada yang menambahkan setidak-tidaknya dalam bahasa aslinya. Bila kita menghayati hakekat Alkitab sebagai firman Allah (yang tidak terbatas) yang diilhamkan kepada manusia (yang terbatas), maka kita tidak perlu mengikat firman Allah yang kekal dengan Alkitab yang terbatas, namun kita juga jangan lari kepada ekstrim lain seakan-akan firman Allah bisa juga dijumpai di luar Alkitab. Alkitab sudah cukup namun harus disadari keterbatasannya sebagai karya sastra manusiawi yang ingin mengungkapkan kebenaran Allah yang tidak terbatas itu, itulah sebabnya kita perlu mempejari teologi agar makin mengerti akan kebenaran Allah yang tidak terbatas di balik keterbatasan manusia itu. Membatasi firman Allah sebagai ‘tidak bersalah setiap kata-katanya baik dalam hal iman maupun pengetahuan’ merupakan tindakan gegabah karena kekurang pengertian akan hakekat ilham ilahi. Demikian juga doktrin yang menyebutkan seakan-akan ‘Alkitab benar setiap kata-katanya dalam bahasa aslinya’ itu sama halnya dengan mengakui bahwa terjemahan itu ada salahnya, padahal selama ini gereja dan umat Kristen bertumbuh diatas dasar Alkitab terjemahan!

(T-6) DEMITOLOGI ALKITAB. Ada pendeta yang menyatakan bahwa tidak semua kejadian yang ditulis dalam Alkitab adalah kejadian yang sesungguhnya (real facts) tapi banyak juga yang kisah fiksi bahkan legenda kuno Yahudi, misal cerita ttg Nuh atau Ayub, tapi karena ada pesan-pesan mulia yang terkandung didalamnya maka dimasukkan dalam kanon Alkitab. Benarkah demikian ?

(J-6) DALAM sejarah teologia kita mengenal kritik historis yang antara lain menghasilkan kesimpulan bahwa dalam penulisan Alkitab ditemukan banyak mitologi dan tugas manusia adalah mendemitologisasikannya sehingga dapat dilihat kebenaran azalinya. Mungkin saja ada mitologi yang masuk ke dalam penulisan Alkitab, karena berita Alkitab memang mengandung ungkapan alegoris, perumpamaan, maupun cerita yang benar. Adalah tugas teologia untuk tidak berhenti pada kesimpulan yang mandeg seperti kebenaran demitologi atau kebenaran inerrancy, sekali waktu yang semula disebut mitos ternyata realita. Misalnya konsep orang modern menganggap bahwa tidak mungkin kelahiran diluar rahim yang masih perawan (kasus kelahiran Yesus). Masakini kita melihat bahwa melalui inseminasi buatan, bayi tabung, bahkan kloning terjadi kehamilan diluar persetubuhan yang wajar. Teologi harus terus menerus dikritik agar mencapai kedewasaannya. Mengerti Alkitab tidak bisa dibatasi sekedar dengan iman atau dengan ilmu tetapi harus didekati dengan iman dan ilmu karena keduanya dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita (2Ptr.3:14-16).

(T-7) ALKITAB SATU-SATUNYA FIRMAN ALLAH. Karena Alkitab sebagai Firman Allah, kita memandangnya secara substantif (sehingga kita bisa menerapkannya sesuai dengan budaya kita asal substansinya sama) ataukah kita harus menurutinya sampai ke penerapan sesuai dengan kebudayaan waktu Alkitab itu ditulis? Dalam memandang Alkitab sebagai Firman Allah, Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah ataukah Allah bisa berbicara juga dalam bentuk lain selain Alkitab?

(J-7) KITA harus memandang Alkitab sebagai kesatuan firman Allah yang ditulis dalam konteks waktu dimana dan saat ditulis, adalah tugas kita untuk menjembataninya sehingga firman Allah yang terbungkus situasi dan kondisi zamannya dapat dimengerti dalam konteks kondisi zaman kini. Ini tidak berarti kita hanya menerima substansinya saja tetapi kita harus menerima substansi dalam konteks historisitasnya. Alkitab harus dipercayai sebagai satu-satunya firman Allah, sebab Alkitab sudah cukup berbicara mengenai segala hal yang kita perlukan untuk mendengar hakekat ke’Tuhan’an Yesus dan kehendak-Nya. Sudah terbukti dalam sejarah bahwa kalau kita membuka diri terhadap wahyu-wahyu di luar Alkitab kita mudah terperosok dalam berbagai kesesatan. Aliran bidaah cenderung menambah otoritas Alkitab dengan otoritas lainnya (nubuatan, wahyu, kitab lain, akal manusia, atau lainnya).

Kiranya beberapa diskusi di atas memberikan kejelasan akan pertanyaan yang diajukan.

Salam kasih dari Herlianto/YABINA ministry


Form untuk mengirim pertanyaan