Artikel 3_ 2007
ASCENSI, SEBUAH FENOMENA PARANORMAL
Pada umumnya kalender di Indonesia memberi warna merah atau tanda hari libur untuk tanggal 17 Mei 2007 yang diberi keterangan sebagai hari peringatan ‘Kenaikan Yesus Kristus (ascension),’ 40 hari setelah peringatan ‘Kebangkitan Yesus.’ Kenaikan Yesus yang dicatat Alkitab sebagai ‘naik ke surga’ memang merupakan puncak kontroversi yang terdapat dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa Yesus dalam pelayanannya menjalankan mujizat dan gejala supranatural/paranormal dan puncak dari semua itu adalah ‘Kebangkitan Yesus dari Orang Mati’ dan ‘Kenaikan Yesus ke Surga,’ dua mujizat yang paling sukar diterima manusia modern (mujizat Yesus dan Kenaikan ke Sorga juga dicatat dalam Al-Quran).
Memang banyak yang mempersoalkan dan mempertanyakan: “Bagaimana tubuh Yesus yang sudah mati dan membusuk bisa pulih dan bangkit kembali, dan bagaimana tubuh yang bangkit itu kemudian bisa naik ke langit?”
Komentar demikian tipikal merupakan pemikiran mereka yang terjerat konsep alam natural yang berdemensi tiga dan mengabaikan keberadaan dimensi supra alami. Memang sejak timbulnya rasionalisme yang menghasilkan ilmu pengetahuan alam dengan hukum-hukum alamnya dan memuncak dalam sekularisme yang hanya berorientasi pada yang ‘Saeculum’ (dunia ini), banyak orang terjerat konsep yang menolak dan mengabaikan realita ‘Aeternum’ (eternal/kekal). Manusia menolak segala hal yang disebut sebagai mujizat dan gejala supranatural/paranormal, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi di alam tiga dimensi ini, akibatnya semua hal-hal yang berbau mujizat dan supranatural/paranormal (yang dipercayai dalam semua agama) ditolak sebagai tidak pernah terjadi.
Sejak kehadiran rasionalisme pada abad–XVII, kita melihat perkembangan ilmu pengetahuan alam yang luar biasa dan dirumuskannya hukum-hukum alam yang dianggap mampu menggambarkan semua kemungkinan yang terjadi di alam nyata ini, namun disisi lain, kemajuan rasionalisme ini menolak realita supra-alami yang diberitakan agama-agama. ‘Manusia sudah dewasa’ (come of age) merupakan motto abad rasionalisme, maksudnya manusia yang sudah dewasa tidak lagi perlu bergantung kepada otoritas diluar dirinya (baca John A. T. Robinson dalam bukunya ‘Honest to God,’ dan Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya ‘Letters & Papers from Prison’).
Dalam dunia teologi kita melihat perkembangan liberalisme yang terungkap dalam pemikiran beberapa orang. Para teolog era rasionalisme banyak terpengaruh liberalisme menolak mujizat dan kebangkitan sebagai melawan hukum alam. Banyak yang kemudian melakukan studi Kristologi (terutama abad-18/19) yang didasari asumsi rasionalisme bahwa mujizat dan gejala supranatural dalam Alkitab tidak mungkin terjadi terutama soal kebangkitan Yesus, penolakan ini memuncak dalam karya Albert Schweitzer berjudul 'The Quest of the Historical Jesus.' Buku terkenal lainnya adalah 'Life of Jesus' karya D.F. Strauss, dan J.E. Renan. Karya Strauss menolak samasekali sifat sejarah hal-hal yang bersifat supra alami dalam Alkitab demikian juga dalam tulisan Renan. Arthur Drews dalam buku 'The Christ Myth' menganggap kitab Injil sebagai fiktif. Adolf von Harnack dalam 'What is Christianity' menurunkan ‘Yesus hanya manusia yang memiliki damai dan membaginya kepada orang lain.’ Pandangan yang menurunkan Yesus sekedar menjadi manusia etis dan menjadikan 'Etika sebagai Jantung Agama' adalah Albrecht Ritschl.
Puncak pemikiran liberal yang menolak mujizat Alkitab terutama kebangkitan Kristus diwakili teolog sekular Rudolf Bultmann. Istilah Demitologisasi dipopulerkan Rudolf Bultmann (1884-1976), menurutnya kitab Injil seharusnya dianalisis lebih lanjut dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh gereja awal sebelum ditulis. Bentuk-bentuk ini tidak banyak menjelaskan kepada kita tentang apa yang sebenarnya dilakukan dan dikatakan Yesus, melainkan tentang 'apa yang dipercayai oleh gereja awal tentang Yesus'. Di tahun 1926 Bultmann menulis buku 'Jesus' dimana dikatakan bahwa yang penting bukan apa yang obyektip tentang Yesus, tetapi bahwa 'kebenaran itu akan timbul dalam tanggapan iman yang subyektip dari para pengikut.' Dalam era ini dikotomi antara ‘Yesus Iman’ dan ‘Yesus Sejarah’ menjadi jurang yang semakin lebar dan dalam.
Dalam karyanya berjudul 'New Testament and Mythology' (1941) Bultmann mengemukakan bahwa seluruh pola pikir masa Perjanjian Baru terutama kosmologinya bersifat mitologi yang merupakan faham pra-ilmiah yang berasal dari faham Gnostik pra-Kristen (seperti misalnya soal surga-bumi-neraka, kekuatan spiritual, kekuatan supranatural yang menerobos alam nyata, dan perlunya manusia ditebus) (New Testament & Mythology, dalam ‘Karygma & Myth,’ hlm. 1 dst.). Mengenai Mitologi, tepatnya dikatakan:
"Seluruh konsep dunia yang dikemukakan dalam kotbah Yesus seperti yang dijumpai dalam Perjanjian Baru bersifat mitologis; yaitu: konsep mengenai dunia yang terdiri dari tiga lapis, surga, bumi dan neraka; konsep campur tangan kekuatan-kekuatan supranatural pada kejadian-kejadian di bumi; dan konsep mujizat terutama konsep mengenai campur tangan supra-natural dalam kehidupan dalam dari jiwa, konsep bahwa manusia dapat digoda dan dirusak oleh iblis dan roh-roh jahat" (Jesus Christ & Mythology, hlm.15)
Menurut Bultmann, konsep itu disebut mitologi karena berbeda dengan konsep dunia yang dibentuk dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan yang diterima orang modern. Menurutnya, dalam konsep dunia, hubungan sebab-akibat bersifat azasi. Yang sekarang dibutuhkan adalah 'demitologisasi kekristenan' yaitu 'melepaskan dan mengartikan kembali kenyataan sebenarnya lepas dari kerangka mitologi tersebut sehingga Injil dapat diberitakan dalam kemurniannya.' Dalam bukunya Bultmann juga mengatakan bahwa:
"... ucapan mitologis secara keseluruhan mengandung makna yang lebih dalam yang dikemas dalam bungkus mitologi. Bila demikian, tepatnya, kita membuang konsep mitologi karena kita ingin menemukan artinya yang lebih dalam. Cara penafsiran demikian yang berusaha mengungkap artinya yang lebih dalam dibalik konsep mitologi saya sebut sebagai demitologisasi ... Maksudnya bukannya untuk meniadakan pernyataan yang bersifat mitologis tetapi menafsirkannya kembali" (Jesus Christ & Mythology, hlm. 18).
Pada prinsipnya Kritik Historis dan studi tentang Yesus Sejarah dan Kitab Injil menunjukkan 'keraguan akan sifat sejarah kitab-kitab Injil, menolak hal-hal yang bersifat mujizat dan supranatural, dan menjadikan Yesus hanya sebagai tokoh moral atau politis saja,' dan lebih lanjut menurut Bultmann, tugas manusia adalah melepaskan manusia dari kerangka mitos yang tidak ilmiah itu (demitologisasi) atau melepaskan 'Yesus Sejarah' dari 'Yesus Iman.' Konsep ini jelas menolak kematian Yesus sebagai juruselamat dan penebus, dan kebangkitan Yesus sebagai kemenangan atas maut dan kenaikan Yesus ke sorga ditolak sebagai bukan bagian sejarah. Konsep de’mitologi’sasi yang dikemukakan oleh Bultmann tepat sama dibandingkan istilah yang dengan tepat disebut de’mirakuli’sasi oleh Deshi Ramadhani dalam tulisannya ‘Historisasi Makam Kosong Yesus’ (Kompas, 5 Mei 2007).
Jesus Seminar yang dirintis a.l. oleh John Dominic Crossan di tahun 1985 mewarisi penolakan akan sifat supranatural berita Injil. Bagi mereka Yesus hanya tokoh politik yang mati suri kemudian sadar kembali dan diwaktu kemudian mati dan dikuburkan disuatu tempat. Jadi tidak ada Yesus yang bangkit dari kematian apalagi naik ke sorga. Pemikiran Jesus Seminar terlihat dengan jelas dari semangat para pengikutnya dalam mendukung Talpiot sebagai kuburan keluarga Yesus yang belakangan ini diramaikan setelah James Cameron merilis filmnya melalui Discovery Channel dengan judul ‘The Lost Tomb of Jesus’ (yang merupakan kepanjangan buku James Tabor berjudul ‘Jesus Dinasty’).
Benarkan alam semesta hanya terdiri dari realita alami yang berdemensi tiga? Mungkinkah ada realita lain yang belum terjangkau oleh ilmu pengetahuan alam masakini dengan hukum-hukum alamnya yang mutakhir?
Menarik menyaksikan perkembangan budaya dunia dimana era modern (abad-17-20) yang sekular dan materialistis ternyata membuat manusia mengalami kekosongan rohani, dan sejak era 1960-an kembali dunia mencari nilai supranatural dan transendental yang selama ini dibungkam rasionalisme. Era posmo (postmodern) ditandai kembalinya manusia membuka diri akan masalalu dan melongok ke agama-agama tradisional dan mistik. Masyarakat umum kembali membuka diri kepada yang paranormal yang menurut The Journal of Parapsychology (2006), diartikan sebagai:
“semua gejala yang dalam satu dan banyak hal melampaui batas apa yang secara fisik dianggap mungkin menurut perkiraan ilmu pengetahuan masakini”.
Encarta memasukkan paranormal dalam kategori Psychical Research, yaitu penelitian ilmiah akan gejala yang terjadi tetapi berada diluar jangkauan teori fisika, biologi, maupun psikologi konvensional. Ensiklopedi Britannica menyebut paranormal sebagai gejala parapsikologi (PSI) yang menyangkut kejadian yang tidak dimengerti hukum alam atau ilmu pengetahuan biasa yang hanya terjangkau oleh pancaindera.
Pendekatan gejala supranatural/paranormal melalui perspektif penelitian sulit, bukan karena gejala itu tidak benar, tetapi sulit dijelaskan menggunakan ukuran teori dan hukum yang ada. Karena itu gejala paranormal terjadi diluar konvensi yang normal. Apakah paranormal itu realita yang lain dari realita tiga dimensi yang bisa diamati dan dirasakan oleh kelima pancaindera manusia, ataukah paranormal bisa disebut bagian dari realita dimensi supra-natural yang lebih luas dari realita natural? Profesor Hans Bender, salah satu tokoh perintis penyelidikan psikik (psychic), mengemukakan bahwa ia menemukan banyak bukti bahwa dibalik realita alam nyata yang dapat kita hayati dengan pancaindera, ada realita yang lain. Menurutnya:
“Realita yang lain ini bukan supranatural, itu natural, tetapi kita belum bisa menjelaskannya secara penuh.” (J.L. Collier, Sciece Probe the Mystery of P.K. dalam Reader Digest, April 1974).
Sedini tahun 1882, di Inggeris sudah dibentuk Society of Psychical Research, dan salah satu tokohnya, J.B. Rhine (1895-1980), di tahun 1930-an mulai menggunakan pendekatan eksperimen untuk meneliti gejala-gejala yang termasuk paranormal atau psikik. Pada tahun 1957 dibentuklah Parapsychological Association yang kemudian berafiliasi dengan American Association for the Advancement of Science, jadi paranormal masuk dalam hitungan sains!
Charles Fort (1874-1932) adalah kolektor anekdot paranormal yang mengumpulkan 40.000 gejala paranormal yang sukar untuk dijelaskan menurut hukum alam yang selama ini kita ketahui. Kejadian ganjil/aneh yang dikumpulkannya termasuk gejala poltergeist (roh ribut), jatuhnya katak/ikan/benda-benda dari langit dalam area yang luas, suara-suara dan ledakan yang tidak jelas penyebabnya, kehadiran api yang tiba-tiba, kondisi melayang, bola-bola api, UFO, penampakan yang misterius, roda cahaya di lautan, penampakan binatang diluar habitatnya, penampakan maupun menghilangnya manusia tanpa kejelasan, dll. Segitiga Bermuda menunjukkan gejala persinggungan alam natural dan material dengan alam supranatural/paranormal.
Justus Schifferes dalam tulisannya mengenai ‘science through the ages’ dalam abad-XX, mengemukakan bahwa:
“Nada ilmu pengetahuan pada abad-XIX bersifat positif dan materialistik; para ahli sains melepaskan ikatannya dengan filsafat yang bersifat spekulatip. Tetapi hari ini situasinya berubah secara drastis. Ahli ilmu pengetahuan modern tidak lagi berbicara secara final; ia tidak berharap mengungkap hukum-hukum yang tidak berubah. Ia mengedepankan kesimpulannya sebagai relatif, tentatif dan tidak tentu.” (The Book of Popular Science, 1967, hlm.279).
Keterbukaan akan hal-hal bersifat mujizat dan supranatural/paranormal yang dahulunya dicap sebagai magis/sihir sedikit demi sedikit diakui kembali oleh dunia ilmu pengetahuan dan kejadian sehari-hari. Di Indonesia, di kalangan perdukunan dan tradisi sudah biasa penyakit yang sudah membusuk bisa dipulihkan menjadi baik kembali oleh ‘orang-orang pinter’ dan rasanya kejadian ini dijumpai diseluruh Indonesia. Memang berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dimana obyek yang diteliti harus bisa diulang dan diamati oleh panca-indera, gejala mujizat dan supranatural/paranormal tidak bisa diharapkan terjadi karena manusia mau mengulangnya, mujizat dan gejala supranatural/paranormal adalah kejadian nyata yang terjadi secara insidentil, dan lebih banyak terjadi dikalangan yang terbuka hatinya (yang mengimaninya). Para skeptik kurang beruntung menyaksikan kejadian-kejadian mujizat dan gejala supranatural/paranormal, bukan karena kejadian itu tidak ada dan tidak bisa dibuktikan oleh hukum-hukum alam yang terbatas itu, tetapi karena banyak ahli sains terjerat keterbatasan pemikirannya dan ketertutupan hati mereka.
Dalam edisinya pada 10 April 1995, majalah Time mengemukakan ‘cover story’ berjudul: “Can We Still Believe In Miracle?” dimana diceritakan seorang bayi bernama Elizabeth yang sebelah matanya tidak bisa digerakkan dan dalam penelitian ditemukan penyakit tumor, dan lebih dari itu ia ternyata menderita meningioma, tumor ganas yang selama ini belum pernah ada penderitanya yang sembuh. Mendengar itu, keluarga Elizabeth menggelar doa-doa kesembuhan yang sinambung, dan heran bahwa sebelum dilakukan usaha terakhir sebelum operasi besar, kembali jaringan tumor diperiksa dan samasekali tidak ada bekas-bekas tumor yang terlihat! Di Amerika Serikat ada serial TV yang menguak kejadian-kejadian paranormal, yaitu ‘Miracle Research Center’ yang mengumpulkan dan menyelidiki peristiwa-peristiwa demikian di seluruh dunia. Realita yang lain itu yang tidak diragukan lagi dan jelas keberadaannya itu diberi nama bermacam-macam. Selain supranatural dan paranormal, ada nama-nama lain yang kita kenal.
Keterbukaan masyarakat akan gejala paranormal bisa dilihat dari hasil survai Gallup Poll yang pada tahun 2005, menemukan di Amerika Serikat, fakta bahwa 73% responden angketnya pernah mengalami setidaknya salah satu dari 10 gejala paranormal berikut: Indera keenam (ESP, 41%); rumah hantu (37%); hantu (32%); telepati (31%); melihat jarak jauh (26%); astrologi (25%); hubungan dengan orang mati (21%); dukun sihir (21%); reinkarnasi (20%); dan pawang (9%). Penelitian lain yang dilakukan Monash University di Australia pada tahun 2006 kepada 2000 responden mengungkapkan fakta bahwa 70% responden mengalami gejala paranormal yang tidak bisa dimengerti tetapi telah mengubah kehidupan mereka.
Mercia Eliade pakar sejarah agama itu sudah lama menyebut realita lain itu sebagai ‘The Sacred’ (yang dibedakan dengan ‘the Profane’). Sekalipun Bultmann secara skeptik menolak adanya terobosan dunia ilahi ke dunia alami, Eliade menemukan banyak bukti di seluruh dunia adanya terobosan realita the Sacred ke realita the Profane disebutnya sebagai ‘Hierophany’ yaitu penampakan yang suci. Biasanya hierophany menggunakan media orang suci, kitab suci, gunung, pohon besar, atau kawasan khusus lainnya sebagai jendela antar realita untuk menyatakan diri.
Buku The World of the Paranormal menunjukkan secara skriptural dan visual bahwa gejala-gejala paranormal adalah normal banyak terjadi di alam nyata ini disana-sini. Pendahuluan buku itu menyebutkan:
“Dunia baru yang mengagumkan nyaris terungkap didepan mata saudara. Sebuah dunia yang mencengangkan para ahli ilmu pengetahuan dan para skeptik. Sebuah dunia yang menggugah rasa ingin tahu kita. Sebuah dunia yang menantang penjelasan rasional.” (1995, hlm.3)
Dalam buku lain berjudul Paranormal Files yang memaparkan secara gamblang banyak gejala paranormal, menyebutkan, bahwa:
“Sejak masa kuno yang tidak diingat manusia, semua bentuk kejadian yang aneh, berlawanan dengan hukum alam seperti yang kita mengerti, telah mencengangkan umat manusia. ... reaksi kita atas kejadian-kejadian yang semula kelihatan sangat tidak mungkin tidak seharusnya diwarnai dengan ketidakpercayaan secara mutlak. Tujuannya seharusnya selalu diarahkan untuk tetap menerimanya dengan pikiran terbuka (open mind)” (1997, hlm. 135,136).
Buku ‘Marvels & Mysteries of the Unexplained’ (2006) mengungkapkan kenyataan mutakhir gejala paranormal diseluruh dunia. Ketiga buku paranormal yang disebutkan menunjukkan bahwa Paranormal adalah gejala riel namun belum dimengerti oleh keterbatasan sains dan hukum alam yang selama ini dikenal. Kenyataan ini mendorong kita untuk membuka diri terhadap hal-hal yang supra-natural baik sebagai sesuatu yang dibedakan dengan yang natural atau memasukannya dalam kategori natural karena memang terjadi di alam nyata ini. Kenyataan ini juga membuka wawasan kita bahwa hal-hal supranatural dan mujizat yang banyak menghiasi halaman Alkitab memang terjadi dalam sejarah alam nyata ini dalam konteksnya masing-masing.
Berdasarkan kenyataan Paranormal dan Supranatural yang membuka wawasan kita, setengah abad berikutnya sesudah Bultmann mengucapkan ‘demitologisasi’nya, kita melihat bahwa ucapannya itu telah menjadi kuno dan teori masa lalu. Konsep dunia tiga lapis (dunia, surga dan neraka) menjadi terbuka dalam paranormal, adanya campur tangan yang paranormal pada yang normal sudah tidak diragukan lagi karena banyak kasus paranormal membuktikannya. Mujizat juga adalah biasa dalam dunia paranormal, apalagi konsep kerasukan setan dan roh jahat sudah menjadi bagian yang banyak terjadi dan diamati dalam dunia paranormal dan normal sehari-hari.
Ada dua kesalahan pokok dalam pola pikir Bultmann, yaitu: (1) Bultmann melakukan generalisasi dimana semua gejala supranatural/paranormal dalam Alkitab seperti kosmologi Perjanjian Lama sampai mujizat Perjanjian Baru digeneralisasikan sebagai mitologi; (2) Bultmann juga melakukan generalisasi dengan menganggap yang disebutnya mitologi/mitos itu sebagai pemikiran pra-ilmiah yang tidak benar terjadi dalam sejarah.
Karena itu, berdasarkan perkembangan sains masa kini yang mulai terbuka akan gejala paranormal/supranatural, kita bisa yakin bahwa penebusan darah (semua agama kuno memiliki ritual kurban darah), dan mujizat, kebangkitan Yesus, dan Kenaikan Yesus adalah realita yang tidak mustahil terjadi dalam sejarah. Konsep de’mitologi’sasi Bultmann sekarang perlu digantikan dengan de’Bultmann’isasi mitos, maka dengan men-de’Bultmann’isasi-kan mitos Paskah dan Ascensi, kita menyaksikan realita Paskah dan Ascensi sebenarnya, yaitu Yesus yang Bangkit dan Naik Kesurga dalam sejarah! (jangan membayangkan dengan keterbatasan imajinasi kita bahwa Yesus melayang-layang dilangit, tapi cukup berpindah dimensi melalui jendela hierophany tertentu. Setelah kebangkitannya, tercatat Yesus beberapa kali melakukan perpindahan dimensi itu).
Masalah Mujizat dan gejala Supranatural/Paranormal adalah normal terjadi dalam sejarah selama kita mempercayai sebagai normal, jadi yang menjadi masalah disini adalah bahwa bukan dikotomi antara Iman dan Rasio, atau antara Yesus Iman dan Yesus Sejarah, tetapi dikotomi terjadi antara ‘Rasio Orang Beriman’ dan ‘Rasio Orang Tidak Beriman,’ atau juga Yesus yang kita imani mujizat, kebangkitan dan kenaikan-Nya sebagai bagian sejarah, atau iman yang tidak mempercayai sejarah mujizat, kebangkitan, dan kenaikan Yesus.
Tepat seperti yang dikemukakan oleh Deshi Ramadhani dalam tulisannya berjudul ‘Historisasi Makam Kosong Yesus’ (Kompas, 5 Mei 2007), bahwa masalahnya terletak pada pilihan antara prinsip “yang ajaib pasti tidak historis” atau “yang ajaib bisa sungguh historis.”
Berdasarkan hal ini maka sudah tepat kita mengenang pada hari 17 Mei 2007, Kenaikan Yesus ke Sorga dengan sukacita dan syukur sebagai bagian dari kehidupan kita dalam beragama.
Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org