Artikel 4_ 2009
FENOMENA PONARI
Nun jauh di sebelah Timur pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Jompang, seorang anak remaja mampu menarik perhatian dengan kegiatan penyembuhannya yang menggemparkan.
Ponari, sebenarnya baru berumur 9 tahun dan duduk di kelas IV SD, namun karena pengalaman pribadinya menarik ia kemudian menjadi salah satu selebriti muda Indonesia yang tepatnya disebut ‘dukun cilik.’ Menurut cerita yang menyebar dari mulut ke mulut, tanggal 12 Desember 2008 Ponari bermain-main saat hujan kemudian turunlah petir dan bersamaan dengan itu kepalanya tertimpa batu sebesar buah sawo. Batu itu sempat dibuang tapi anehnya kembali ke dekat Ponari.
Nah ceritanya kemudian berkembang bahwa batu itu adalah batu yang ber khasiat menyembuhkan, maka berduyun-duyunlah orang-orang dari segenap penjuru untuk meminum air yang sudah dicelupi batu itu. Kedatangan orang didusun kecil itu tidak tanggung-tanggung, sampai ribuan sehari, bahkan pernah mencapai 10.000 orang sehari! Ketika Ponari kelelahan, sempat praktek itu dihentikan polisi tapi Para pemujanya kemudian membawa pulang air comberan bekas mandi Ponari dan barang-barang sekitar Ponari lainnya.
Gejala apakah ini? Para ahli sosial dan psikologi menyebutnya sebagai disebabkan lemahnya pelayanan kesehatan masyarakat dari Pemerintah terutama kepada masyarakat kecil, ada yang menyebut karena proses pengobatan modern mahal maka tidak ada salahnya mencoba pengobatan alternatif yang jauh lebih murah dan tanpa resiko. Ada juga yang menyebutnya sebagai dukun yang menanamkan sugesti bagi mereka yang kurang menggunakan akal mereka. Yang jelas, di era penuh ketidak pastian ini rupanya orang menganggap yang jelas tidak pasti menjadi pasti.
Kalangan Kristen tidak sepi praktek perdukunan demikian yang biasanya bersembunyi di bawah label ‘kesembuhan ilahi.’ Obyek-obyek yang disebut sakral (relikwi) kemudian dimanfaatkan untuk tujuan penyembuhan. Ada penginjil Amerika yang pernah berkotbah di Indonesia dan ketika berkotbah di mimbar ia menggunting-gunting jasnya dan kemudian membagikannya kepada hadirin agar dibawa pulang dan ditempel di bagian yang sakit, alasannya, Yesus juga pernah dipegang jubahnya dan si pemegang menjadi sembuh dari sakitnya. Di kawasan Timur Indonesia sinkretisme perdukunan dengan Iman Kristen juga tidak jarang dipraktekkan, ada pengobatan yang menggunakan Alkitab dan bunga melati yang dicampur air putih.
Ada juga minyak urapan yang mengambil alasan minyak urapan yang digunakan Musa dan kemudian dipraktekkan untuk menyembuhkan mata juling, ditabrak truk tidak celaka setelah diolesi dengan minyak itu. Bahkan selokan bumpet yang menyebabkan banjir jadi lancar kembali setelah disiram minyak urapan. Si Semarang ada pendeta mengeluh karena ia kedatangan dua penginjil dari Jakarta dan membawa dua jerican berisi minyak urapan, kata mereka, mereka melihat bahwa gereja itu diliputi kuasa gelap sehingga sekelilingnya harus disirami dengan minyak urapan. Di Denpasar pernah penginjil Jakarta mengelilingi kuil Hindu dan menyiramkan minyak urapan disekelilingnya, ketika ketahuan, yang terkena getahnya adalah gereja-gereja di Denpasar yang makin dicurigai dan dibatasi gerak-geriknya.
Ada yang menyebutkan bahwa Alkitab juga mengajarkan mujizat kesembuhan yang tidak beda dengan perdukunan. Minyak urapan mengambil ayat-ayat tentang minyak yang diracik secara khusus oleh Musa dan diurapkan kepada Harun dan anak-anaknya, tapi harus kita ingat konteksnya, bahwa Minyak Urapan Musa itu bukan untuk tujuan penyembuhan melainkan untuk penabisan untuk jabatan raja dan terutama imam Harun dan keturunannya yang akan mewarisi jabatan keimaman juga (Kel.30:30), dan juga untuk mengkuduskan peralatan Bait Allah (baca: Kel.29:7;30:22-33; Im.8:10-12; 1Sam.9:16;10:1). Menyedihkan bahwa praktek itu sekarang dihidupkan kembali dalam bentuk perdukunan sehingga dijadikan obat penyembuhan, bahkan bagi anak-anak diadakan ibadat urapan khusus, padahal Musa sendiri tidak mengurapi anak-anaknya dengan minyak itu. Orang awam dilarang dan diperingatkan keras untuk tidak menerima minyak urapan (Kel.30:30-33).
Dalam prakteknya, ‘minyak urapan’ sekarang dijadikan jimat dan bahkan dijual-belikan. Memang dalam kitab Yakobus (5:13-16) ada disebutkan soal minyak (bukan minyak urapan) tetapi Yakobus tidak menyebutkan bahwa ‘minyak itu menyembuhkan’ tetapi sekedar menjadi ‘media,’ yang menyembuhkan adalah Tuhan yang terjadi karena ‘Doa yang disampaikan dengan Yakin.’
Praktek ‘menggunting-gunting baju’ meniru Yesus jelas tidak bertanggung jawab, soalnya Yesus tidak berkata jubah itu menyembuhkannya melainkan ‘Imanmu telah menyelamatkan engkau’ (Luk.8:43-48). Kisah itu hanya terjadi sekali saja. Dalam pelayanannya, memang Yesus dalam proses penyembuhan-Nya sering menggunakan media’ seperti lumpur yang dioleskan kepada mata orang buta, tetapi itu semua hanya media dan bukan metoda/alat penyembuhan. Yang menyembuhkan adalah Tuhan sendiri bila diminta dengan Doa yang benar dan Yakin.
Kita patut mendoakan kekristenan masakini, soalnya praktek kesembuhan sudah banyak dikomersialkan melalui KKR kesembuhan ilahi, dan sayang banyak yang lebih merupakan praktek perdukunan mistik yang diberi label ‘Kristen.’ Fanatisme akan ‘mujizat’ selalu terjadi sepanjang sejarah, dan adalah tugas Para hamba Tuhan untuk meyakinkan jemaatnya kepada esensi kesembuhan ilahi, bukan pada media disekitarnya yang kemudian dijadikan jimat.
Memang di kalangan kristen ada juga yang lari ke dalam ekstrim lainnya yaitu tidak mempercayai mujizat kesembuhan ilahi. Tetapi sejarah pelayanan Yesus, Para Rasul, dan Para Penginjil selama ini menunjukkan bahwa ‘Kuasa Yesus Tetap sama dari dulu sampai sekarang’ dan kesembuhan ilahi memang sering menjadi mujizat yang dialami orang-orang beriman. Yang perlu disadarkan dalam diri orang Kristen adalah agar mengarahkan doa dan harapan kesembuhan mereka bukan kepada alat-alat kesembuhan melainkan kepada penyembuh itu sendiri yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Dalam buku ‘Spiritual healing’ buku umum yang membahas kesembuhan alternatif dan juga kesembuhan spiritual dikalangan Kristen, disebutkan bahwa ilmu kedokteran modern hanya mampu menangani 20 persen penyakit, sisanya belum bisa, akibatnya masyarakat mencari jalan keluar entah melalui perdukunan atau mencari kesembuhan dari Tuhan. Kita harus menjawab tantangan ini dengan menghadirkan kembali ‘Kesembuhan Ilahi’ secara komplementer (saling melengkapi) dengan pengobatan modern, bukan sebagai kesembuhan masal dalam KKR yang lebih banyak menghasilkan kesembuhan sugstif yang temporer sementara. Kita harus membawa seseorang kepada ‘Kesembuhan Sempurna’ yaitu dari sakit-penyakit maupun dari dosa-dosa mereka.
Praktek kesembuhan ilahi bisa mendua karena fenomenanya sering mirip namun penyembuhannya berbeda. Disatu sisi penyembuhnya adalah kekuatan batin/alam di sisi lain kesembuhan ilahi seharusnya berasal dari Allah yang menyembuhkan. Kasus Simon si sihir di Samaria (Kis.8:4-25) menunjukkan bahwa Simon, si dukun, melakukan mujizat dengan bantuan ‘kuasa besar’ tetapi Filipus memberitakan ‘Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus sebagai sumber penyembuhan mereka. Batasnya tipis bahkan saling tumpang-tindih antara kedua bentuk penyembuhan alternatif itu, dan Para penginjil Kristen selalu berada dalam bahaya tergelincir dari penyembuh yaitu Pencipta-Nya kepada alat/media penyembuh ciptaan, akibatnya mereka mengandalkan kekuatan alam sebagai sumber hidup.
Tulisan rasul Paulus tetap relevan kita renungkan sampai sekarang: “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah mahluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin.” (Rm.1:25).
Salam kasih dari Sekertariat www.yabina.org.
Salam kasih dari Sekertari