Artikel 5_ 2009
THE PASSION OF THE CHRIST & THE GOSPEL OF JOHN
Dua minggu lagi kita akan memasuki Jumat Agung dimana dikenang kesengsaraan dan kematian Yesus dikayu salib. Biasanya sekitar Paskah ada gereja yang mempertontonkan film Gibson berjudul ‘The Passion of the Christ’ termasuk untuk anggota jemaat yang masih anak-anak & remaja. Tepatkah usaha demikian?Setahun yang lalu tahun 2008, sekitar Jumat Agung dan Minggu Paskah, di salah satu saluran TV diputar film ‘The Passion of the Christ’ dan ‘The Gospel of John,’ dua film yang dibuat di tahun yang sama yaitu tahun 2003. Film “The Passion of the Christ” disutradarai bintang film tenar Mel Gibson, film mana mendapat pujian dari penginjil Billy Graham dan juga dari Paus (kemudian diralat oleh Paus melalui sekretarisnya). Film itu bukan saja diputar di gedung bioskop, tapi juga di banyak gedung gereja.
Berbeda dengan film-film yang menceritakan kehidupan Yesus secara lengkap, film The Passion hanya menyoroti penderitaan Yesus sejak di Taman Getsemani selama dua belas jam terakhir hidup-Nya, yaitu dari Getsemani ke Golgota melalui jalan salib (via dolorosa) yang diselingi beberapa flash back pengalaman semasa pelayanan Yesus.
Meskipun didukung petinggi Injili dan sesaat didukung petinggi Katolik Roma, film “The Passion of the Christ” banyak dikritik karena bersifat anti-Yahudi dan sarat dengan adegan sadis. Sikap anti Yahudi memang terasa dalam film ini karena kebencian, kemarahan, bahkan ringan tangannya orang Yahudi bahkan para imam yang memukuli Yesus, dibuat dalam porsi yang jauh melebihi apa yang dicatat dalam Injil. Misalnya, sejak di Taman Getsemani, Yesus sudah dibuat babak belur dipukul para imam dengan luka-luka di sekujur tubuh-Nya dan salah satu mata-Nya lebam. Demikian juga penganiayaan sampai penyaliban Yesus yang dipaku di salib, peristiwa itu digambarkan dengan sangat sadis, sampai-sampai Chicago Sun Times menyebutnya “the most violent film.” Bayangkan setelah Yesus dipaku disalib, ketika salib itu diangkat tiba-tiba salib dengan Yesus yang tersalib itu jatuh terbalik!
Soal porsi sadisme yang keterlaluan memang tidak lepas dari sutradara dan pemain yang mampu menjiwainya. Gibson populer terkenal sebagai sutradara dan pemain film action keras, serialnya ‘Mad Max’ diwakili ucapan dalam film itu: “They kill us, we kill them! Kill them! Kill!” Filmnya ‘Galipoli’ disebut Amazon.com sebagai “This brutally antiwar movie.” Debut sadismenya dilanjutkan dengan sukses dalam serial film keras ‘Lethal Weapon.’ Belum lagi film-film ‘Braveheart, Ransom, & Patriot’ menunjukkan bakat sadisme Mel yang diluar batas.
Yesus diperankan oleh James Caviezel yang sukses memerankan film-film keras balas dendam seperti “The Count of Monte Christo” dimana di sana ia memerankan korban fitnahan, kemudian dipenjara 13 tahun dibawah tanah dipulau terpencil sambil dicambuki setiap tahun, dan akhirnya membalas dendam kepada semua musuhnya dengan tangan dingin dengan perencanaan matang. Semangat sadisme Caviezel terlihat juga dalam film berjudul “Highwayman” yang diputar di saluran TV menyusul film “The Passion of the Christ” yang sama sadisnya dengan pembalasan dendam Caviezel kepada penabrak sampai mati isterinya. Tepat sekali kritik ‘wayoflife’ yang menyebut film The Passion: “intimately associated with the moral vileness of those involved in its production.”
Sebenarnya, film “The Passion of the Christ” tidak bisa dikatakan sebagai film yang bersumber pada Alkitab sebab isinya didasarkan vision biarawati Katolik, Maria Agreda dan Anne Katherine Emmerich yang visiunnya dibukukan sebagai “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus.” Selain ada bagian dalam film itu yang menyudutkan orang Yahudi, banyak juga adegan yang berlawanan dengan data Injil, seperti Iblis yang menjawab doa Yesus di Getsemani (dalam Alkitab Malaekatlah yang menemui Yesus), Iblis yang ditampilkan berkali-kali dan Yudas yang dilempari batu oleh anak-anak yang kesetanan dan disaksikan Iblis, Simon Kireni mengaku tidak bersalah dan mengaku terpaksa mengangkut salib terhukum. Tiga pemain film porno dilibatkan Mel dalam film ini termasuk untuk membuat film “The Passion of the Christ” lebih realistis, peran Maria Magdalena dikesankan sebagai pelacur dimainkan Monica Belluchi (Injil Lukas tidak menyebut Maria Magdalena (Luk.8) sebagai pelacur (Luk.7)), dan Yesus diolok tentara sebagai ‘king of whores’ (raja para pelacur), mata penjahat yang disalibkan yang dipatuk burung, dan Mezbah Bait Allah digambarkan terbelah (dalam Alkitab dicatat tirai Bait Allah yang tercabik dua).
Dua jam film itu digunakan untuk menyoroti penderitaan Yesus yang berdarah-darah dan hanya tiga puluh detik yang digunakan untuk menyoroti Yesus yang bangkit. Ketika ditanya mengenai adegan sadis yang keterlaluan, Gibson tidak menjawab tentang kebenarannya melainkan mengaku mendramatisir film itu untuk mendorong penonton sampai “over the edge.”
Sayangnya, film “The Passion of the Christ” menumbuhkan fanatisme sebagian umat Kristen yang melebihi cinta mereka terhadap Injil bahkan mempromosikan film sadis itu untuk semua umur, sesuatu yang disesalkan oleh banyak orang. Padahal, film yang mendatangkan untung luar biasa kepada Gibson itu, uangnya direncanakan digunakan untuk membuat film sadis lainnya yang semula ingin diberi judul “Savage” (biadab) yang menggambarkan kehidupan suku biadab di Amerika Latin, rencananya itu dibantu asisten Farhad Safina kemudian direalisasikan dengan membuat film berjudul ‘Apocalypto’ yang mengungkapkan kehidupan sadis suku Maya yang selesai pada tahun 2006. Mengenai film ini dan Mel Gibson, Crosswalk menyebut: “he has an unseemly obsession with violence” dan “Apocalypto is a savage, repellent film that raises serious questions about Gibson’s interest in the worst kinds of human sufferings.”
Christianity Today Movies, dalam resensi film Apocalypto, menulis: “Now everybody is finding out what Gibson has done with some of his money: He’s made a movie even more violent than The Passion” dan “he is a sadist who rubs our faces in cinematic violence, and he is also a masochist who figures the best way to deal with the violence he sees in the world is to accept it and absorb it somehow.” Christianity Today juga menyebut bahwa banyak yang semula mengagumi ‘The Passion’ yang menyangka Gibson sebagai ‘seorang Kristen yang baik,’ setelah melihat ‘Apocalypto’ mulai menyadari kenyataan jiwa sadisme Mel Gibson yang dicurahkan ke dalam film-filmnya. Memang, sama dengan The Passion, Apocalyto dikritik para ahli arkeologi dan antropologi bahwa film itu menggambarkan sejarah suku Maya dengan keliru dan tidak sesadis yang digambarkan dalam film itu, dan film itu terkesan memanipulasi tema kebiadaban demi selera sadisme pembuatnya. Film ini secara eksplisit menggambarkan upacara pemenggalan kepala manusia dikuil penyembahan dewa.
Mel Gibson sendiri sesudah film ‘The Passion’ sukses pernah ditangkap polisi karena mabuk dan mengisap narkoba, dan ketika ditangkap, ia mencaci maki polisi sebagai ‘Yahudi!’ Di sisi lain, wakil perusahaan film itu sendiri sebenarnya disebut mengaku dan berucap bahwa, “Their promotion to religious leaders as more in the interest of marketing than evangelism, a distinction evangelicals no longer recognize.” Terry Mattingly pada Film-Forum majalah Christianity Today mengatakan, “I have been fascinating by the lack of critical voices among conservative Protestants.”
Memang ada yang menyebut bahwa ada yang merasa disegarkan setelah menonton film ‘The Passion’. Havelock Ellis dalam bukunya ‘Psychology of Sex’ menyebut sadisme sebagai “sexual emotion associated with the wish to inflict pain, physical or moral, on the object of emotion.” Ia juga mengatakan bahwa “love of blood and murder was an irresistible obsession, and its gratification produced immense emotional relief.” Ellis juga menyebut bahwa orang yang merasa terangsang dengan melakukan kekerasan biasa disebut ‘sadis’ sedangkan mereka yang ‘massochist’ adalah mereka yang secara naluri merasa senang atau dipuaskan kalau mereka merasakan sebagai korban sadisme itu atau mengindentifikasikan diri dengan kesengsaraan orang lain yang dilihatnya. Gagnon & Simon dalam buku ‘Sexual Defience’ menyebut hal-hal berbau kekerasan yang disebutnya “aggressiveness or assault offenses” tergolong “pathological deviance.”
Banyak pengkritik menyebut bahwa orang-orang Amerika sekarang sedang sakit karena terlalu banyak disuguhi film-film sinema maupun TV yang bersifat sadis semacam film laga “Smack Down.” Itulah sebabnya ketika seorang sutradara berjiwa ‘sadis’ membaca peluang itu, ia membuat film ‘drama religi’ yang bertema sadis (penyaliban) dan jadilah film “The Passion of the Christ” sehingga banyak ditonton orang karena meresonansikan isi hati penonton yang berjiwa sadis & masochist. Akibatnya ketika ada film yang lebih mengungkapkan Injil seperti ‘The Gospel of John” namun karena ‘tidak keras’ maka film itu dibiarkan berlalu begitu saja, padahal justru film terakhir inilah yang mencerminkan Injil Tuhan Yesus yang sebenarnya layak tonton bagi umat manusia segala usia.
Pada tahun yang sama (2003) juga dibuat film tentang Injil yang berjudul ‘The Gospel of John.’ Film ini dibuat dengan setia bahkan secara harfiah mengikuti setiap kata Injil Yohanes menurut ‘Good News Bible’ dan dijuluki: “This film is a faithful representation of that Gospel.” Dibandingkan film ‘The Passion’ yang banyak mengambil sumber non-biblical seperti visiun dan ungkapan jiwa sadistik pembuatnya, film ‘The Gospel of John’ setia pada isi Injil yang ayat-ayatnya dinarasikan oleh Christopher Plummer, pemeran Kapten dalam film ‘The Sound of Music.’ Dua fasal terakhir ‘The Gospel of John’ memberitakan “Yesus yang bangkit” dan Film ini juga dibuat secara profesional pula.
Sayang film ‘The Gospel of John’ yang alkitabiah dan bernafas injil itu jauh kalah populer dengan film ‘The Passion’ yang apokrifal itu, dan tragis bahwa nyaris pendeta dan penginjil yang mempopulerkan ‘The Passion’ pada umumnya bungkam dengan kehadiran film ‘The Gospel of John.’ Bahkan, film ini nyaris diabaikan dalam kehidupan gereja dan gereja tidak memborong tiketnya, apalagi memutarnya di gedung gereja mereka. Seperti film “Jesus” dari Campus Crusade for Christ, yang memberitakan Injil Lukas selengkap mungkin, film “The Gospel of John” juga menggambarkan kehidupan Yesus seperti yang dicatat dalam Injil Yohanes. Film itu sebenarnya adalah film yang luar biasa, yang benar-benar alkitabiah dan bernafas Injil dan diramu menurut sinematografi modern yang apik dan profesional. Bahkan, film itu nyaris memberitakan secara harfiah seluruh ayat Injil Yohanes.
Sudah tiba saatnya umat Kristen makin peka hatinuraninya dan menjauhi mengkonsumsi film-film yang sadistik yang makin merangsang rasa sadisme dan masosisme yang terpendam dalam hati manusia dan mulai membuka diri agar makin peka akan ‘damai sejahtera dan kasih Kristus’ melalui adegan-adegan film yang mereka tonton seperti film ‘The Gospel of John’ karena itulah berita ‘kabar baik Injil’ yang sebenarnya. Rasul Yohanes, penulis ‘The Gospel of John’ yang semula berperilaku sebagai ‘anak guruh’ itu, setelah bertemu Yesus disebut sebagai ‘Rasul Kasih.’
Amin !
Salam kasih dari Sekertari