“MANADO, JUMAT - Dua nelayan asal Malalayang, Manado, Yustinus Lahama dan Delfie, tidak menyangka ikan hasil tangkapannya pada 19 Mei 2007 di perairan Teluk Manado, cukup menggegerkan dunia. Pasalnya, ikan yang diketahui para ilmuwan dunia itu, sejenis "Latimeria menadoensis" atau Coelacanth, merupakan ikan purba yang sebenarnya sudah dianggap punah sejak 65 juta tahun lalu. Sekarang ikan tersebut telah dipajang dan membuat gempar peserta dari berbagai negara yang ikut dalam ajang World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, 11-15 Mei 2009.

Coelacanth adalah ikan yang berasal dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di Timur Afrika Selatan, di perairan Sungai Chalumna tahun 1938. Namun, sejak itu Coelacanth ditemukan di Komoro, perairan Pulau Manado Tua di Sulawesi, negara Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar dan Taman Laut St Lucia di Afrika Selatan.”

Demikianlah berita di harian Kompas, Jumat 15 Mei 2009. Di Manado, ikan Coelacanth sudah beberapa kali ditemukan sejak tahun 1998 dan dijuluki “ikan raja.”

Pandangan perkembangan hidup secara evolusi (perkembangan berangsur-angsur) sudah dicetuskan Aristoteles (384-322 SM) yang beranggapan bahwa manusia berevolusi dari binatang yang lebih sederhana, karena itu si’aku’ harus menjinakkan sisa-sisa kebuasan binatang yang ada dalam dirinya. Teori evolusi mulai mencuat di era rasionalisme abad XVIII yang penelitiannya dirintis oleh Lamarck (1744-1829) dan kemudian dikembangkan oleh Charles Darwin (1809-1882). Dalam perjalanan dengan kapal Beagle sebagai seorang naturalis, ia melakukan pengamatan yang luas atas dunia Fauna dan kemudian menyusun buku ‘The Origin of Species’ yang pada dasarnya menyebutkan tentang teori evolusi, bahwa:

“Organisme yang lebih pelik susunannya itu (yang lebih tinggi) adalah yang dalam jangka waktu berabad-abad lamanya timbul dari organisme yang tidak begitu pelik susunannya (yang lebih rendah).”

Perjalanan melalui sejarah terbentuk perubahan melalui ‘natural selection’ dan ‘survival of the fittest’ dimana sifat dan jenis yang kurang cocok akan tersingkir. Faham ini menunjukkan optimisme biologis bahwa perkembangan mahluk itu tidak berhenti tetapi bergerak menuju yang sempurna. Dua hal yang ditekankan dalam teori evolusi adalah ‘adanya variasi dan perubahan’ dan bukti-bukti ‘fosil’ binatang yang telah punah. Dalam perkembangan mahluk yang turun-temurun timbul berbagai variasi, tetapi alam hanya memberi kemungkinan hidup hanya pada variasi terbaik saja. Di samping itu terjadi perubahan-perubahan yang menyembul sekonyong-konyong yang disebut mutasi, dan mutasi itu menjadi sumber terbentunya jenis-jenis baru.

Sekalipun semasa Darwin George Mendel (1822-1882) dalam penyelidikan genetika menemukan penyebab variasi yang bukan disebabkan oleh mutasi tetapi sudah ada dalam gen-gen mahluk tersebut dan penelitian kemudian menunjukkan bahwa molekul DNA dan RNA merupakan arsitek kehidupan yang sudah ada dalam sel keturunan itu dan bukan disebabkan oleh adanya mutasi, namun teori evolusi terus berkembang tanpa henti dan pada masa-masa kemudian, sekalipun tetap disebut sebagai ‘teori,’ faktanya kemudian teori evolusi dianggap kebenaran pasti dan malah menjurus dijadikan agama ilmiah (scientism).

Penyelidikan palaeiontology kemudian dipakai mendukung teori evolusi dimana fasil dianggap menunjukkan urutan dari mahluk yang lebih sederhana ke yang makin kompleks. Tetapi dengan meluasnya geografi penyelidikan makin jelas diketahui bahwa teori evolusi merupakan penyederhanaan dari kehidupan yang luas dan berbeda-beda. Kesulitan lain dalam menjelaskan teori evolusi adalah terlalu banyaknya ‘missing link’ yang dianggap ada yang menghubungkan satu jenis ke jenis lainnya, bahkan banyak contoh fosil yang tidak menunjukkan kepastian adanya mutasi dan evolusi, melainkan variasi yang terbentuk karena faktor lingkungan, dan ini ditunjukkan makin banyaknya penemuan ‘fosil-fosil hidup’ yang sekalipun sudah dianggap punah puluhan bahkan ratusan juta tahun yang silam ternyata masakini masih berkeliaran di muka bumi ini, antara lain ikan ‘Coelacanth’ yang ditemukan di Manado yang dianggap sebagai transisi perpindahan dari jenis ikan ke jenis amfibi yang kemudian menjadi binatang darat.

Dibanyak lokasi ditemukan kuburan fosil dari berbagai jenis yang semula diperkirakan dari zaman evolusi yang berbeda yang lebih memungkinkan karena kuburan masal karena bencana mendadak pada suatu waktu tertentu. Di Texas ditemukan jejak Dinosaurus terpeta pada lapisan yang sama dimana ada juga jejak kaki manusia. Di Essen, Jerman, ditempat-tempat penggalian tambang ditemukan fosil pohon besar yang melintas ke banyak lapisan geologi yang menurut teori evolusi berbeda-beda zamannya. Di Utah, Amerika, ditemukan fosil trilobit yang dianggap bentuk kehidupan tertua ditemukan diatas jejak sepatu kulit dan terletak di lapisan Cambrian yang dianggap sebagai lapisan tertua.

Fosil-fosil hidup yang semula dianggap sudah punah puluhan/ratusan juta silam makin banyak ditemukan, seperti binatang Tuatura, reptil yang dianggap sudah punah 135 juta tahun silam ternyata ditemukan di New Zealand, dan Coelacanth yang dianggap sudah punah 65 juta tahun silam ditemukan dibanyak tempat di seluruh dunia. Neopolina Galathea yang hidup 280 juta tahun silam ditemukan di Costa Rica (1952). Metasequoia kayu merah yang dianggap punah di Amerika Utara pada zaman Tertier 25-50 juta tahun silam, pada tahun 1944 ditemukan di Tiongkok. Makin luas geografi penggalian, makin terlihat bahwa gambaran tangga perkembangan makluk dalam buku-buku evolusi menunjukkan generalisasi yang disederhanakan.

Dari kenyataan demikian, seharusnya kita jangan terpukau dengan sebuah teori yang begitu digeneralisasi dan disederhanakan, melainkan bisa dijadikan sebuah teori yang hipotetis dan belum terbukti sebagai fakta, dan tetap terbuka terhadap kemungkinan lain. Kita harus menyadari bahwa sejarah penyelidikan biologi dan palaeontologi baru berjalan 3 abad atau 300 tahun sejak abad XVIII, karena itu dengan data yang begitu minim dan pendek kurun waktunya, rasanya manusia terlalu cepat menyimpulkan suatu skala evolusi/geologi yang milyaran tahun lamanya lalu dianggap kebenaran.

Sekalipun kita tidak bisa menafsirkan kitab Kejadian mengenai kejadian mahluk termasuk manusia kata-demi-kata secara harfiah, Alkitab mengindikasikan adanya penciptaan karena campur tangan ilahi (supra alami) dan umur bumi tidak terlalu tua dibandingkan skala geologi dan berkali-kali ditimpa bencana (catasthrope). Memang perkembangan rasionalisme cenderung menolak realita supra alami termasuk mujizat sehingga dihasilkan teori yang bersifat fisik tiga dimensi dan generalisasi, Alkitab juga mengindikasikan bahwa variasi dimungkinkan tetapi jenis-jenis terjadi sendiri-sendiri dan melalui perkembangan variasi (bukan mutasi) bertahan dalam perjalanan sejarah. Kemiripan fosil jelas mudah terjadi karena lingkungan dunianya sama dan arsitek heidupannya sama. Manusia sejak dahulu sampai sekarang dan ditempat yang primitip maupun modern tetap memiliki sifat jenis yang sama yang dibedakan jauh dari jenis-jenis kera. Manusia dimana-mana berjalan tegak dan bisa belajar berbudaya dan berkomunikasi dalam waktu singkat dan kalau melahirkan mengandung 9 bulan.

Dalam dunia ini masih banyak yang belum diketahui oleh manusia, karena itu janganlah kita terjebak pada kedua ekstrim, yaitu scientism atau biblicism, disatu segi menganggap bahwa sains itu jawab segala-galanya, sebaliknya juga menganggap Alkitab sebagai jawab segala-galanya. Banyak teori ilmu pengetahuan merupakan pencampuran penyelididkan faktual dengan yang imani, banyak teori berkembang dan dipercaya dihasilkan sebagai penolakan manusia akan agama dan kehadiran Tuhan yang menuntut manusia bertobat dan mengikuti jalan Tuhan.

Bapak Rasionalisme Descartes mengatakan “Cogito Ergo Sum,” aku berfikir maka aku ada. Tetapi firman Tuhan menyebut: “kepikiran-Ku bukan kepikiranmu … demikianlah Firman Tuhan.”

Amin