Artikel 14_2011


 

 

 



DIKUBUR ATAU DIKREMASI ?

Baru-baru ini dalam suatu acara kedukaan duduk dua tamu wanita berbincang dengan keluarga almarhum. Seorang menanyakan ‘dikubur atau dikremasi?,’ pihak keluarga menjawab bahwa almarhum akan ‘dikubur.’ Wanita itu menanyakan lagi ‘mengapa tidak dikremasi saja biar tidak merepotkan keluarga?’ Teman wanitanya menyela ‘wah nggak mau repot ngurusin kuburan tapi warisannya mau?’ Seorang isteri pendeta mengaku bahwa ketika suaminya meninggal dan dikremasi ia menerima banyak surat kritik dari jemaat mempertanyakannya.

Percakapan diatas menunjukkan bahwa pada umumnya umat kristen mengubur anggota keluarganya yang meninggal, tapi ada juga yang membakar jenazahnya atau dikremasi. Kasus ini menyisakan pertanyaan ‘Apakah sebaiknya umat kristen mengubur atau mengkremasi anggota keluarganya yang meninggal dunia?’

Mengapa Dikremasi ?

Kebiasaan membakar jenazah atau kremasi terjadi dalam kepercayaan animisme, karena bagi mereka kremasi merupakan cara mempercepat meleburnya jiwa manusia kembali kepada alam. Kebiasaan mana juga terjadi di kalangan agama mistik seperti Hindu dan Buddha yang beranggapan bahwa ‘atman harus melebur kembali kepada Brahman’ (Hindu) dan kremasi mempercepat pelepasan itu. Agama Buddha juga mengabarkan hal itu dimana Buddha Gautama sendiri dibakar jenazahnya dan abunya di semayamkan dalam Stupa. Bagi Buddhisme, ‘hidup manusia bagai lilin yang menyala, bila nyalanya habis, habislah lilin itu’ dimana lilinnya habis menjadi asap dan asapnya habis dalam ketiadaan (atman menjadi an-atman). Krematorium biasanya dibangun kalangan penganut Buddhis.

Dalam budaya Eropah kuno pembakaran jenazah adalah hal yang umum, bahkan dikalangan Yunani dan Romawi kebiasaan itu terus berjalan berabad-abad lamanya dan ini lebih lagi dipengaruhi faham platonik tentang manusia yang dikotomis (dipotong jadi dua) yaitu dibedakan antara bagian roh dan tubuhnya. Plato mengajarkan bahwa roh itu baik dan berasal dari dunia ide sedangkan tubuh itu jahat dan berasal dari bumi. Dalam pandangan ini pembakaran jenazah merupakan cara pelepasan. Ketika kekristenan mempengaruhi dunia romawi kebiasaan membakar jenazah itu berubah menjadi mengubur jenazah.

Di kalangan kristen ada juga yang terpengaruh dikotomi platonik demikian, dan dikalangan liberal inklusif yang terpengaruh rasionalisme, keberadaan roh itu ditolak, jadi pada saat seseorang mati seluruh keberadaannya juga mati. Inklusivisme menganggap bahwa semua agama itu sama-sama menuju ‘yang Satu’ itu (ini sebenarnya pandangan mistik Buddhisme), jadi apakah kita mempraktekkan penguburan atau pembakaran mereka yang mati seperti dilakukan dalam agama lain sama saja.

Banyak juga yang berpikir praktis, yaitu mengikuti kebiasaan tradisi turun temurun. Dikalangan khususnya orang Cina, pengaruh agama Buddha memang menghalalkan kremasi, dan kebiasaan ini masih diikuti oleh keturunan yang masuk kristen. Orang modern banyak yang berfikir biar dikremasi saja sehingga tidak merepotkan yang ditinggalkan yang harus mengurus kuburannya bila dikubur.

Mengapa Dikubur ?

Dalam tradisi Yahudi maupun Perjanjian Lama, penguburan adalah yang lazim dilakukan, dan sekalipun ada kasus-kasus tertentu diceritakan tentang pembakaran, pada umumnya mereka menguburkan orangnya yang mati, baik ditanam ditanah, ditumpuki batu-batu atau dibiarkan membusuk dalam gua dimana dinding gua itu menyerap bau, jadi pembusukan jenazah terjadi secara wajar dan alamiah. Bagi orang Yahudi, manusia bukan bersifat dikotomi platonik (ibarat telur asin dimana bagian kuningnya mudah dipisahkan dari bagian yang putih) melainkan holistik yaitu ‘perpaduan tanah dan nafas hidup menjadi mahluk hidup’ (Kej.2:7, ibarat telur dadar dimana tidak mungkin memisahkan bagian yang kuning dari yang putih, karena keduanya menjadi kesatuan yang melebur). Setelah manusia jatuh dalam dosa, ia akan mati dan disebut ‘sampai engkau menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil.’ (Kej.3:19).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga memandang manusia secara holistik dimana ia mengatakan ‘dari hati timbul pikiran jahat …’ (Mat.15:18), kejahatan adalah buah keseluruhan eksistensi manusia. Dalam PB orang mati biasa dikubur mengikuti kebiasaan PL, apalagi setelah umat kristen mendengar soal kebangkitan orang mati maka kebiasaan mengubur diperteguh bahkan kemudian mempengaruhi kebiasaan kremasi bangsa Romawi. Dalam Alkitab PL maupun PB, api sekalipun kadangkala disebut menyucikan (tapi tidak menghanguskan), api yang menghanguskan biasanya menunjuk kepada hukuman Allah, demikian juga dalam PB konsep api neraka sebagai tempat hukuman kekal memperkuat kebiasaan penguburan yang kemudian menjadi tradisi kristen.

Lalu Bagaimana ?

            Alkitab memang tidak secara eksplisit berbicara mengenai dikubur atau dikremasi, namun isi Alkitab menunjukkan banyak contoh bahwa penguburan adalah kebiasaan yang umum dilakukan, apalagi disebutkan bahwa ada saatnya orang-orang dalam kuburan akan mendengar suara Yesus’ (Yoh.5:28-29) dan ‘kuburan akan terbuka pada saat kebangkitan kelak’ (Mat.27:51).

Selain pandangan holistik Yahudi dan pandangan tentang tubuh kebangkitan dikalangan kristen, umat kristen juga melihat manusia sebagai ‘gambar Allah’ (Kej.1:27) yang membedakan wajah seseorang dibandingkan yang lain sehingga bisa dikenal terus identitasnya. Karena itu membakar jenazah berarti kita tidak menghargai aspek tubuh dari gambar Allah itu yang sudah dikenal berpuluh tahun itu dan ketika meninggal begitu saja mencampakkan dan memusnakannya dengan kremasi. Yesus yang bangkit menggunakan tubuh manusiawinya, Henoch dan Elia diangkat ke sorga dalam bentuk tubuh manusiawinya. Penguburan secara alamiah mengembalikan aspek fisik manusia kembali kepada tanah secara wajar dimana unsur-unsurnya terserap dalam tanah dan menjadi debu tanah, sedangkan pembakaran (kremasi) mengurai dan mengubah zat-zat kimiawi manusia tersebut menjadi abu. Perlu juga direnungkan apakah kematian langsung menceraikan ‘bagian roh dari tubuh’ seperti pandangan dikotomis ataukah ‘aspek roh dan tubuh‘ itu tercerai melalui proses beberapa waktu, ada yang cepat ada yang lambat. Marilah merenungkan apa jadinya kalau jenazah Yesus dan Lazarus dikremasi?

Berdasarkan hal-hal itu memang sebaiknya umat kristen menguburkan anggota keluarganya yang mati dan memelihara kuburannya untuk sementara waktu. Janganlah kita mencampakkan begitu saja aspek tubuh dari almarhum yang sudah kita kenal puluhan tahun dengan membakarnya begitu cepat melainkan biarlah kita menguburnya agar terjadi pembusukan secara alamiah dan wajar. Setidaknya beberapa waktu setelah kematian, anggota keluarga masih bisa mengunjungi kuburan untuk mengenang masa-masa bersama almarhum yang aspek tubuh pribadinya sekarang ada di kuburan. Peti mati tidak perlu menggunakan bahan berkualitas tinggi dan mahal yang sukar hancur melainkan cukup asal rapih dan bersih, demikian juga kuburan tidak perlu dibangun dengan biaya mahal, melainkan cukup diberi pembatas dan tanda nama sehingga membedakannya dengan kuburan yang lain.

Kita tidak perlu kuatir bahwa umat kristen akan kehabisan tanah kuburan yang mahal karena pemerintah secara umum menyediakan tanah kuburan (TPU), apalagi organisasi penguburan kristen sekarang bisa membantu keluarga kristen dengan biaya murah bahkan ada yang mengusahakan tersedianya taman pemakaman kristen juga.

Kiranya artikel ini bisa menjadi bekal renungan bagi seseorang bila memberlakukan jenazah anggota keluarganya yang meninggal dunia. ***

salam kasih dari yabina ministry

 

 


[ YBA Home Page | Artikel sebelumnya]