Artikel 2_2011
GAMBARU, etos yang artifisial ?
“Baru-baru ini ada tiga posting tentang Gambaru / Etos Jepang beredar di dunia maya sehubungan dengan bencana Tsunami di Jepang. Posting pertama berjudul ‘Say Yes to Gambaru,’ yang kedua ‘Semangat Gambaru’, dan yang ketiga ‘Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima’.”
Artikel pertama bersifat antagonistik ditulis sarjana Indonesia yang melanjutkan studi di Jepang. Ia semula muak terhadap slogan itu namun kemudian ia ‘Say Yes’ kepada itu. Artikel kedua ditulis seorang motivator dan terkesan hanya menyodorkan yang baik-baik saja dari Gambaru (ini kelemahan positive thinking) sehingga diapresiasi dan diterima sebagai etos yang patut diteladani. Artikel ketiga lebih mengungkap realita etos orang Jepang dengan lebih utuh dimana sukses dan kegagalan disebut apa adanya.
Bila artikel kedua hanya menyorot satu sisi hidup dan berkomen ‘tidak ada tangisan korban,’ artikel ketiga mengungkapkan sisi lainnya dimana seorang gadis anak salah seorang petugas reaktor nuklir Fukushima mengatakan bahwa: ‘tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat.’ Artikel Vonis Mati juga mengungkap bahwa sekalipun ada petugas yang berani mati dengan etos Gambaru sehingga 200 petugas nekad rela mati, disitu disebutkan juga bahwa petugas yang 700 lainnya 'lari menyelamatkan diri.'
Dalam kasus Fukushima, apakah orang Jepang berbuat nekad demi orang lain atau demi ambisi diri sendiri? Seorang petugas dari yang 200 itu mengaku 'sedang melakukan misi bunuh diri, kami menerima nasib ini seperti vonis mati.' Jadi mereka rela mati bukan karena mengorbankan diri bagi menolong orang lain melainkan demi etos ego mereka. Komentar yang sama disebutkan gadis anak salah satu pahlawan lainnya yang ditulis Daily Mail bahwa ayahnya 'menerima nasib seperti menerima vonis mati', dan komentar pahlawan yang lain lagi disebut Jaringan TV ABC sebagai 'sedang menjalankan misi bunuh diri.' Jadi sikap ini lebih ditujukan sebagai aktualisasi diri yang fatalistik berbeda dengan etos Kristus yang mengajar kita untuk 'Takut akan Tuhan dan berkorban demi mengasihi sesama.'
Solusi atau Bagian Dari Masalah?
Ada yang beranggapan bahwa semangat Gambaru mendongkrak kebangkitan Jepang dari keterpurukan PD-II, kesimpulan ini terlalu menyederhanakan sebab semangat Gambaru sudah menjadi nyawa tradisi budaya Jepang yang diikuti turun-temurun sejak berabad-abad sebelum PD-II. Penyederhanaan demikian juga sama halnya dengan menganggap bahwa ‘Konfusianisme’lah yang menongkrak kemajuan ekonomi negara-negara macan Asia, padahal Konfusianisme sudah dianut lebih dari 2000 tahun disana tanpa kemajuan yang berarti dialami negara-negara itu selama itu. Kemajuan ekonomi disebabkan banyak faktor dan kondisi yang kompleks sehingga kita tidak dapat menyederhanakannya sebagai hasil satu aspek budaya saja.
Memang etos Gambaru ada baiknya dan mendorong banyak orang Jepang lebih tegar menghadapi hidup namun karena bukan merupakan ungkapan hati didalam orang itu, etos itu juga bisa menyebabkan orang Jepang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan mereka, ini bisa dilihat dalam sikap mereka ‘membantai musuh dengan darah dingin’ dan memaksa para perempuan di daerah yang dijajahnya menjadi ‘budak- seks’ dalam PD-II. Etos Gambaru juga menghasilkan sikap nekad untuk ‘bunuh diri’ seperti harakiri yang dipraktekkan para Samurai atau penerbang Kamikaze dalam PD-II, dan sekarang ditiru dalam kasus pekerja reaktor nuklir. Bila mengunjungi museum perang di Hiroshima, kita akan diperlihatkan foto-foto mengerikan tentang penderitaan dan tangisan rakyat Jepang dan bunyi raungan korban bom Atom, tapi tidak satupun terpampang foto tentang ‘budak seks’ maupun ‘rakyat jajahan yang merupakan korban yang mereka bantai.’ Tepat ucapan salah satu komentar dalam buku tamu yang tersedia yang berbunyi: “War is terrible, so don’t start the war.” Kalimat introspektif ini lebih bersifat filantropis dan bukan sekedar penonjolan etos sendiri (filanego) yang makin melanda orang Jepang.
Baru-baru ini Gubernur Tokyo mengatakan bahwa 'Jepang sedang dihukum Tuhan dengan Tsunami karena penduduknya makin egois dan mementingkan diri.' Jadi kenyataannya Gambaru tidak hanya menjadi solusi tetapi juga berperan menjadi bagian dari masalah yang membuat mereka egoistis dan mementingkan diri sendiri.
Yesus berfirman:
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yohanes.10:11).
Yesus memberi contoh dengan teladan hidupnya sendiri bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam kehidupan bersama secara utuh, dan rasul Petrus mengatakan:
“Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1Petrus.2:21)”
Mengapa di TV orang Jepang terlihat tegar menghadapi bencana? Artikel ‘Vonis Mati’ sudah menunjukkan bahwa hal itu tidak seluruhnya benar dan bila kita melihat salah satu tayangan di TV ada pegawai kantor diawasi atasannya menyelesaikan tugas komputer ditengah benda-benda yang berjatuhan di sekelilingnya, di latar-belakang terlihat juga mereka yang terbirit-birit menyelamatkan diri, bahkan kalau di TV tidak diperlihatkan adegan rakyat menyerbu dan memborong bahan makanan di super-market kenyataannya itulah yang banyak terjadi.
Etos yang artifisial?
Tekanan ‘tradisi masyarakat’ memang mendidik orang Jepang sejak kecil untuk ‘menekan emosi mereka’ dan ‘tidak menunjukkan kesedihan didepan umum,’ situasi yang sama biasa dipertunjukkan di TV dimana kesedihan itu kurang ditayangkan. ‘Senyum’ pun mahal bagi orang Jepang ibarat wajah Samurai yang keras. Apakah etos gambaru itu baik? Tentu ada baiknya asalkan merupakan ungkapan dari diri yang sama sebab kalau tidak etos itu lebih merupakan sesuatu yang artifisial (buatan) yang tidak menggambarkan kondisi manusia seutuhnya, namun kenyataannya masyarakat Jepang didalam diri mereka terkumpul tekanan emosi yang bertumpuk-tumpuk disebabkan etos yang diikutinya itu, ini mendorong orang Jepang sewaktu-waktu mengeluarkan letupan kemarahan bila kondisi mendesak, ini disebut orang sebagai “calm on the outside by full emotion on the inside.” Ditahun 1990 menurut sebuah survai angka kemarahan itu 46%, di tahun 1998 angka itu naik menjadi 74%. Studi lain menyebutkan bahwa ditahun 1990, 37% ‘kuatir menghadapi hidup & masa depan,’ angka ini naik menjadi 68% di tahun 1998, tapi studi lainnya lagi ditahun 2008 menyebut 70% yang kuatir akan hidup dan masa depan mereka, malah survai yang lainnya lagi menyebut dewasa ini angka itu 90%. Sebuah badan sensus di New York pernah melakukan survai kekuatiran di 11 negara dan hasilnya Jepang menunjukkan angka tertinggi.
Etos Gambaru memang mendorong orang Jepang bekerja mati-matian demi mencapai tujuan, namun apa yang terjadi bila tujuan tercapai atau terjadi perbenturan karena tujuan yang sama dikejar banyak orang? eksesnya orang Jepang semakin hari semakin acuh-tak-acuh (cuek), aggressive, dan banyak mengalami stress menghadapi disiplin kerja, kemajuan, dan persaingan yang tidak tertanggung dihati sekalipun dalam penampilan mereka kelihatan tetap tegar. Menurut Kementerian Urusan Budaya Jepang, ‘stress’ merupakan kata asing yang paling banyak disebutkan di Jepang, bahkan 98,5% penduduk mengaku bahwa mereka pernah mendengar kata itu. Memang ada studi di tahun 2008 yang menyebutkan bahwa 88% orang Jepang mengaku bahagia, tapi ketika ditanya apa alasannya, 29% menjawab kalau hal-hal baik terjadi dan 60% menjawab kalau tidak terjadi hal-hal yang tidak baik. Dari sikap ini bisa dibayangkan bahwa mereka tentu tidak bahagia karena datangnya hal tidak baik disebabkan Tsunami dan bencana nuklir. Apakah artinya kemajuan ekonomi yang hebat jika rakyat semakin sakit dan sengsara?
Penulis pernah terlibat dalam 2 proyek hibah Jepang selama 6 tahun dan berinteraksi dengan banyak orang Jepang dan berkunjung ke negeri Sakura beberapa kali termasuk mengamati pembangunan dan masyarakat perkotaan di 8 kota besar selama sebulan. Dalam percakapan dengan banyak orang banyak terdengar pengakuan bahwa ‘rakyat Jepang sedang sakit.’ Betapa tidak, banyak yang tidak tahan mengikuti tuntutan dan ekses tradisi Gambaru ditengah sukses dunia modern sekitar mereka yang penuh kesantaian.
Salah satu klep keamanan emosi yang terpendam dalam diri orang Jepang yang disebabkan konflik batin itu adalah sikap kerja keras bagai robot yang kompetitif sekali, namun eksesnya banyak yang tidak tahan sehingga sudah umum dilihat bahwa sepulang kerja banyak orang Jepang tidak langsung pulang ke rumah melainkan mencari kompensasi dengan kawan-kawan minum minuman keras di Bar dan Café. Bukan itu saja stress yang tidak tertanggung menyebabkan banyak orang muda mengalami depresi berat yang mendorong meningkatnya angka perceraian dan kasus bunuh diri. Bunuh diri ramai-ramai sudah banyak terjadi sehingga ada yang membuatkan filmnya dengan judul ‘suicide club.’
Yesus berfirman:
“Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? (Matius 6:25).
Rasul Paulus mengajak kita agar:
“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:4-7)
Dalam kehidupan hendaklah kita berharap dan berpusatkan Kristus (kristosentris) dan bukannya berharap dan berpusatkan manusia dengan budayanya (antroposentris). Sebagai pengikut Kristus yang perlu kita lakukan dan beritakan adalah meneladani Etos Kristus yang diikuti para Rasulnya dengan 'Takut akan Allah dan kasih kepada sesama,' dengan beginilah hidup kita menjadi seutuhnya dan berarti bagi Tuhan dan sesama manusia apalagi ditengah-tengah bencana alam yang makin sering terjadi disekeliling kita. Akhirnya:
“Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya. Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga. Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya. Perhatikanlah apa yang kukatakan; Tuhan akan memberi kepadamu pengertian dalam segala sesuatu. Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku.” (2Timotius 2:3-8)
A m i n.
Salam kasih dari YABINA ministry (www.yabina.org).