Artikel 16 | 2012


 

 

 

 

PENGARUH BAHASA YUNANI PADA ABAD PERTAMA

Akhir-akhir ini banyak yang menanyakan apakah sebenarnya bahasa yang digunakan dalam masa Perjanjian Baru? Soalnya ada kalangan yang akhir-akhir ini menekankan slogan ‘kembali ke akar yudaik’ yang menyimpulkan bahwa bahasa Ibrani selalu dipakai oleh bangsa Ibrani termasuk pada masa Perjanjian Baru dan Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani. Benarkah kesimpulan demikian?

Ibrani adalah bahasa yang tidak digunakan sehari-hari sebagai bahasa percakapan umum sejak abad V sM (masa Ezra) terutama sejak abad II sM, dan hanya penggunaannya di kalangan terbatas cendekiawan dan para Rabbi dalam menyalin Kitab Suci, maka ketika bahasa Yunani menjadi bahasa percakapan umum di sekitar Laut Tengah sejak ekspansi Raja Iskandar Agung (Alexander the Great, 356-323 sM.), bahasa Yunani menggantikan peran bahasa Ibrani.

Iskandar Agung adalah raja yang mempopulerkan budaya Yunani tetapi dengan cara yang halus, ia mempengaruhi daerah pendudukan bukan dengan cara yang keras namun dengan cara damai, antara lain dengan melakukan kawin campur dengan penduduk yang dijajahnya. Bukan hanya dia, para jenderal maupun tentaranya didorong melakukan kawin campur dengan penduduk yang dikuasainya.

Helenisasi

Dengan cara yang halus dan damai ini dapat dimaklumi bahwa helenisasi terjadi dengan pesat diseantero jajahan Yunani, mulai dari kawasan Asia Kecil, Siria, Palestina, Mesir, dan ke Timur sampai sungai Efrat dan perbatasan dengan India. Kondisi demikian lebih kuat menguasai kawasan Palestina dimana setelah kematiannya di tahun 323 sM, kawasan Palestina menjadi pusat perbenturan tiga wangsa yunani penggantinya. Di sepanjang pantai Palestina, banyak kota Yunani dibangun karena merupakan jalan penting dari Asia Kecil ke Mesir.

Perlu disadari bahwa Yudea, setelah kematian Aleksander Agung, terletak diantara tiga kerajaan wangsa Yunani pengganti Iskandar Agung yang saling bersaing, wangsa Seleucus di Siria, Ptolemeus di Mesir, dan Antigones di Asia Kecil, yang saling berebut pengaruh di Yudea, sehingga Yudea merupakan sentra lalu-lintas politik, dagang dan bahasa yang penting. Orang yang ingin bertahan hidup dalam konteks demikian perlu mengerti bahasa regional Yunani. Siria juga mempopulerkan bahasa Aram disamping Yunani, sedangkan dua wangsa yang lainnya mempopulerkan bahasa Yunani.

Helenisasi terutama bahasa yunani berjalan merata diseluruh daerah pendudukan Yunani, dan sekalipun ada resistensi dari orang Yahudi di Yudea terhadap kebudayaan Yunani, terutama ketika terjadi penodaan agama oleh Anthiocus IV Epiphanes (175 sM), resistensi itu terbatas karena Yudea hanyalah kawasan kecil yang tidak terlalu luas di sekitar Yerusalem, itupun penduduk Yerusalem sudah menjadi multi etnis dan banyak juga menerima pengaruh dari wangsa Yunani dan Siria (Aram).

“Yang dimaksudkan dengan Yudea dalam kurun waktu ini ialah daerah yang terbatas sampai pada kota Yerusalem dan daerah sekitarnya yang diperintah oleh seorang imam besar.” ( H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kohba, Sejarah Israel Dari + 330 SM – 135 M, hlm.16.)

Jadi Helenisasi termasuk penyebaran bahasa Yunani di Palestina yang juga berimbas ke Yudea telah berjalan selama 4 abad sebelum masa hidup dan pelayanan Yesus.

Septuaginta

Pada abad III sM., menurut tradisi Yahudi disebut bahwa 72 tua-tua Israel (6 tua-tua dari setiap suku Israel) dikirim oleh Eliezer, Imam Besar Bait Allah di Yerusalem, untuk pergi ke Mesir atas undangan Raja Ptolomeus II Philadelphus (285-246 sM.) di Iskandariah (Afrika Utara), sambil mem­bawa salinan ”Kitab Hukum” yang resmi untuk diterjemahkan ke bahasa Yunani yang kala itu menjadi bahasa umum (koine) yang digunakan di persemakmuran Yunani. Terjemahan ini terkenal dengan nama Septuaginta atau ”LXX” (artinya 70).

Dalam Pengantar buku Septuaginta, disebutkan mengenai sejarahnya sebagai berikut:

“Septuaginta adalah terjemahan Pentateuch Yahudi ke bahasa Yunani. Pentateuch, yang awal dan bagian fundamental dari Kanon Perjanjian Lama, diterjemahkan lebih dahulu, dan menurut surat Aristeas, berlangsung pada pemerintahan Philadelphus (285-247 sM). Cerita itu menyebutkan bahwa terjemahan itu dilakukan di Alexandria oleh 70 – atau lebih akurat 72 – ahli-ahli yahudi; karena itu diberi nama “Septuaginta” (LXX). Judul ini sekalipun semula ditujukan untuk terjemahan Pentateuch, kemudian ditujukan untuk menyebut seluruh terjemahan Perjanjian Lama. Penerjemahan Pentateuch kemudian dilanjutkan dengan penerjemahan kitab-kitab lainnya.” ( History of the Septuagint Text, SEPTUAGINT, ed. Alfred Rahlfs, Wurttembergische, Biblestalt Stuttgart, hlm. xxii.)

Pendahuluan pada kitab Pengkotbah LXX yang diperkirakan ditulis pada abad II sM, menunjukkan bahwa pada abad II sM sebagian besar Septuaginta sudah ada, ini menunjukkan bahwa penterjemahannya, selain oleh 72 tua-tua tentu oleh lebih banyak orang lagi dan berlangsung lebih dari satu abad sehingga sampai selesainya seluruh terjemahan Septuaginta.

Menurut surat Aristeas, penterjemahan Pentateuch mendapat rekomendasi resmi dari orang Yahudi di Aleksandria, dan para penulis Yahudi seperti Philo dan Josephus menggunakannya. Septuaginta semula secara umum diterima oleh para imam Yahudi, bahkan Imam Besar Eliezer di Yerusalemlah yang secara resmi mengutus para ahli dan imam untuk menerjemahkan hasil itu. Septuaginta adalah karya orang Yahudi, dan mendapat tempat yang tinggi dan kemudian digunakan di sinagoga-sinagoga.

Tetapi memang benar, ketika raja Antiochus IV Epiphanes menajiskan Bait Allah (175 sM) dan mendorong terjadinya pemberontakan Makabe, ada semangat menolak budaya Yunani dan adanya kebangunan semangat nasionalisme Yahudi, namun kebangunan itu pengaruhnya kecil dan hanya terjadi di kota Yerusalem dan sekitarnya yang dikuasai imam besar. Mayoritas komunitas Yahudi di luar Yudea lebih fasih berbahasa Aram dan Yunani dan sudah tidak mengerti bahasa Ibrani, itulah sebabnya LXX populer sekali di kalangan Yahudi mayoritas sehingga digunakan di sinagoge mereka di luar Bait Allah di Yerusalem, dan pada abad pertama ketika hadir agama Kristen, Septuaginta banyak dipakai oleh kalangan Kristen dan menjadi kitab suci Perjanjian Lama mereka.

”Pada masa Ptolomeus Filadelfus kitab Perjanjian Lama ditulis dalam versi Yunani, yang dikenal sebagai Septuaginta .... Pada masa Kristus, kitab tersebut telah tersebar luas di antara para Perserakan di wilayah Timur Tengah dan menjadi Kitab Suci Jemaat Kristen yang mula-mula”. ( Merill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, 32.)

“Demikianlah komunitas Kristen awal terbentuk dari sebagian besar orang Yahudi perantauan, selagi LXX sudah beredar luas dimana-mana dan dikenal baik, diadopsi oleh orang Kristen sebagai kitab suci gereja.” (SEPTUAGINTA, hlm.xxiii.)

Sekalipun cerita yang disampaikan Aristeas ada yang meragukan karena bersifat sangat spektakuler, misalnya bahwa penerjemahan Pentateuch berlangsung dalam 72 hari dan salinan kelompok berbeda bisa tepat sama yang dianggap sebagai mujizat Tuhan, kenyataannya Septuaginta hadir dan banyak naskah salinannya ditemukan, termasuk yang ditemukan di Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls).

            Dalam terjemahan LXX itu, istilah ”El/Elohim/Eloah” diterjemahkan menjadi Theos, dan ”Yahweh/Adonai” menjadi Kurios/Kyrios. Penerjemahan ”Theos” dan ”Ku­rios” ini tidak menjadi masalah bagi orang Yahudi maupun imam besar Yahudi yang mengutus para penerjemah pada waktu itu, ini kemudian diikuti dalam penulisan Perjanjian Baru.

A m i n !
 

Salam kasih dari YABINA ministry (www.yabina.org)

 

 


[ YBA Home Page | Artikel sebelumnya]