MARIA MAGDALENA ISTRI YESUS ? (4)
Ciuman Gnostik
Mengenai adanya anggapan tentang hubungan asmara antara Yesus dan Maria Magdalena, selain sepotong ayat dari injil Filipus yang dikutip sebelumnya, biasanya disebutkan juga kisah romantis yang tergambar dalam kitab gnostik lainnya, yaitu Pistis Sophia. Namun, apakah kedua kitab gnostik itu memang menunjuk pada hubungan asmara Yesus dan Maria Magdalena ataukah ada maksud lainnya? J.J. Hurtak dan D.E. Hurtak dalam kata pendahuluan kitab Pistis Sophia yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Inggris mengatakan,
“Apakah ada pernikahan rahasia antara Yesus dan Maria Magdalena ataukah Maria Magdalena salah seorang teolog feminis masa Perjanjian Baru? Apakah Yesus memiliki murid perempuan? Kitab Pistis Sophia mengungkapkan dalam dialognya mengenai hubungan yang benar antara Yesus dan Maria Magdalena. Kitab itu menggambarkan hubungan spiritual yang dalam antara keduanya, gambaran yang berbeda dengan apa yang dikesankan dalam novel laris Dan Brown, The Da Vinci Code.” (The Pistis Sophia: Text and Commentary, Academy for Future Science, 1999, Introduction).
Dalam kitab gnostik Pistis Sophia, “ciuman” memang beberapa kali disebutkan. Misalnya, Marta (I/38) dan Maria Magdalena (II/94) disebutkan “mencium kaki Yesus” atau Yohanes (I/40) dan Yakobus (I/51) “mencium dada Yesus’. Dalam “ciuman” Yohanes, kata ciuman itu diberi penjelasan dalam kurung oleh Hurtak sebagai “secara harfiah artinya sujud (worshipped), jadi bukan ciuman antar bibir. Dalam Pistis Sophia juga disebutkan berkali-kali ungkapan “kebenaran dan damai saling berciuman”. Hal itu mengindikasikan bahwa “ciuman” dalam Pistis Sophia itu lebih menunjukkan hubungan spiritualitas yang erat daripada ciuman dengan bibir.
Pertanyaannya, bagaimanakah dengan “ciuman” yang disebutkan dalam injil Filipus yang dikutip berulang-ulang oleh Baigent, Thiering, dan Brown dalam buku-buku mereka, apakah ciuman di sana menunjukkan ciuman harfiah yang biasa dilakukan oleh suami kepada istrinya? Sebenarnya, ayat dalam injil Filipus itu tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa Yesus mencium mulut Maria, tetapi secara provokatif Baigent dan Brown mengisi bagian yang terhilang “[...]” dengan kata “[Yesus] menciumnya [sering] di [mulutnya]”. (Tanda dalam kurung dengan tiga titik menunjukkan bagian naskah yang hilang, tetapi oleh Dan Brown diisi seperti itu). Padahal, dalam injil Filipus itu tidak ada satu pun pertanda bahwa Maria adalah istri Yesus. Demikian juga dalam injil Maria Magdalena dan injil gnostik lainnya, tidak ada kesan sama sekali bahwa Maria Magdalena itu adalah istri Yesus.
Dari kacamata gnostik kata “ciuman” dalam injil Filipus itu bukan berarti ciuman fisik karena di kalangan gnostik hal-hal yang bersifat daging dan duniawi itu dianggap jahat. Jadi, ayat itu cenderung memiliki arti metaforis/perlambangan, yaitu adanya kedekatan hubungan spiritual di antara sesama pewaris gnosis dan melambangkan penyaluran atau pewartaan gnosis dari seorang murid gnostik ke murid gnostik lainnya. Sebagai perbandingan, arti “ciuman” gnostik itu dapat dilihat dari naskah-naskah gnostik lainnya. Misalnya, dalam injil Thomas, Yesus menyebut,
“Ia yang mau minum dari mulut-Ku akan menjadi seperti Aku” (Logion 108).
Secara harfiah, “minum dari mulut” dalam Logion itu menunjukkan pertemuan bibir peminum dan bibir Yesus. Namun, di sana Yesus tentu tidak bermaksud bahwa semua yang berciuman bibir dengan-Nya itu akan menjadi seperti Dia. Dalam bagian lain injil Filipus juga disebut tentang ciuman, yang jelas menunjukkan arti metaforisnya.
“Itu dijanjikan pada tempat surgawi bahwa orang (menerima) makanan (...) dari mulut. ... Akan dikenyangkan dari mulut dan akan menjadi sempurna. Karena dari ciuman, yang sempurna mengandung dan melahirkan. Karena alasan itu, kita saling mencium” (58–59).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ciuman dalam khazanah gnostik itu secara metaforis menggambarkan bahwa seseorang dikenyangkan dengan makanan rohani. Hal itu juga menekankan bahwa hubungan saling memberi makanan spiritual itu dilakukan oleh sesama anggota komunitas gnostik dengan istilah ‘saling mencium,’ bahkan ‘mengandung dan melahirkan’ pesan gnosis. Dalam Wahyu Kedua Yakobus (Second Apocalypse of James), juga dituliskan,
“Dan ia mencium mulutku. Ia memelukku dan berkata, ‘Kekasihku!’” (56).
Di sana jelas bahwa Yesus tidak dimaksudkan berciuman bibir dengan Yakobus, saudaranya. Kalau ditafsirkan secara harfiah seperti itu, jangan-jangan ditafsirkan bahwa keduanya menjalin hubungan homo dan inses! Jadi, tepatkah penafsiran harfiah (literal) atas ayat itu? Dalam injil Maria Magdalena juga tidak disebutkan bahwa Maria adalah istri Yesus. Mengenai “ciuman” disebutkan dalam salah satu ayat injil itu sebagai berikut.
“Lalu Maria berdiri dan menyalami mereka, ia dengan ramah menciumi mereka semua” (5:4).
Kalau ayat-ayat itu selengkapnya digunakan oleh Brown dan oleh penebar sensasi yang lainnya, bisa saja komunitas gnostik itu ditafsirkan seakan-akan melakukan perzinaan massal karena mereka saling berciuman bibir, termasuk dengan Yesus sendiri.
Dalam Alkitab, istilah “ciuman” juga ada. Namun, kata itu juga tidak dimaksudkan sebagai ciuman fisik, tetapi merupakan metafora/perlambang “relasi kasih”, seperti relasi kasih antara Tuhan dan umat-Nya, Israel dalam Perjanjian Lama, yang ditunjukkan dalam ayat berikut.
“Kiranya ia mencium aku dengan kecupan!” (Kid. 1:2).
“Ciuman” juga melambangkan salam persaudaraan, yaitu dengan mencontoh hubungan Yesus dan gereja sebagai pengantin-Nya, seperti yang disebutkan Paulus,
“Sampaikanlah salam seorang kepada yang lain dengan cium kudus” (1 Kor. 16:20).
Pengertian ayat-ayat Alkitab itu bisa literal atau metaforis, tergantung konteksnya. Naskah gnostik, di samping bisa literal atau metaforis artinya, umumnya juga memiliki pengertian yang isoteris. Isoterisme adalah sifat alamiah ajaran mistik gnostik. Jadi, kata “companion” yang dipaksakan dengan arti “spouse” (pasangan hidup/istri), seperti yang ditafsirkan Brown dalam novelnya, hal itu harus dilihat dalam pengertian isoterisnya juga, yang memiliki berbagai macam arti.
Dalam naskah injil Filipus yang berbahasa Yunani, kata yang diterjemahkan menjadi “companion” (pendamping) itu berasal kata Yunani “koinonos”. Kata itu dalam Perjanjian Baru memiliki berbagai arti, antara lain sebagai partner/teman (Luk. 5:10), partner/teman sekerja (2 Kor. 8:23), communication of the faith/persekutuan iman (Flm. 1:6), companion/mengambil bagian (Ibr. 10:33), dan companion/saudara & sekutu (Why. 1:9). Adapun kata “istri” atau “pasangan hidup” (spouse), dalam Alkitab Perjanjian Baru yang digunakan adalah kata Yunani “gune” (Mat. 1:20, 1 Kor. 7:3, 4, 1 Tim. 3:11), bukan “koinonos”.
Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa baik Injil Filipus, Pistis Sophia, Injil Orang Mesir, maupun Injil Maria Magdalena, sama sekali tidak ada yang menyebutkan bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus. Oleh karena itu, menggunakan ayat injil gnostik untuk menafsirkan bahwa Yesus mengawini Maria Magdalena adalah usaha yang dibuat-buat.
Dari berbagai literatur, baik Injil kanonik maupun injil gnostik, jelas terlihat bahwa tidak ada satu pun petunjuk yang menunjukkan bahwa Yesus mengawini Maria Magdalena, atau bahkan kemudian memiliki anak. Yang jelas, memang benar Maria Magdalena merupakan salah satu murid Yesus, tetapi ia tidak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus dari Nazaret. Jika Maria Magdalena dekat dengan Yesus, hal itu dapat dimaklumi karena ia pernah dilepaskan dari tujuh roh jahat sehingga ia sangat berterima kasih kepada Yesus dan menjadi pengikut-Nya yang setia. Namun, ada fraksi murid dari generasi berikutnya yang terpengaruh gnostik, yang kemudian menjadikan Maria Magdalena sebagai simbol pemimpin perempuan yang dihormati oleh mereka.
Dalam Yohanes 20:16–18 disebutkan bahwa ketika Maria Magdalena melihat Yesus yang bangkit, ia ingin memegang Yesus. Namun, keinginannya itu ditolak oleh Yesus.
“Kata Yesus kepadanya: ‘Maria!’ Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani: ‘Rabuni!’, artinya Guru. Kata Yesus kepadanya: ‘Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.’ Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid: ‘Aku telah melihat Tuhan!’ dan juga bahwa Dia yang mengatakan hal-hal itu kepadanya.”
Kalau Yesus adalah suami Maria Magdalena, tentu Ia tidak menolak kalau dipegang (bahkan dipeluk) oleh-Nya. Kalau Yesus suami Maria Magdalena, Maria Magdalena juga tentu akan memanggil-Nya sebagai “suamiku”, bukan “Tuhan”!
Murid yang Dikasihi Yesus
Seperti telah dibahas, asumsi yang menyebutkan bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus dan memiliki anak (Baigent dkk., Thiering, Brown, dll.) itu sudah lama beredar. Namun, dari berbagai cerita seputar anak Yesus itu tidak ada nama yang diberikan kepada anak itu, kecuali yang disinggung dalam buku Holy Blood Holy Grail, yaitu Barabbas. Itu pun sebenarnya bukan nama, melainkan sebutan karena diartikan sebagai Bar Abba ‘anak Bapa’. Jadi, dalam kaitan dengan peristiwa penyaliban, yang dibebaskan dari hukuman itu dianggap anak Yesus, dan Yesuslah yang kemudian dihukum dengan disalib. (Baigent, hlm. 350–352).
Dalam film “The Lost Tomb of Jesus”, makam yang ditemukan di Talpiot itu dianggap sebagai makam keluarga Yesus dan dianggap menyimpan osuari anak Yesus yang bernama “Yudah anak Yesus”. Cerita yang dikembangkan dalam film itu adalah bahwa anak Yesus dan Maria Magdalena itu menjadi besar. Bahkan, ketika Yesus di kayu salib, Ia berbicara kepada anak-Nya itu agar mengajak ibunya, yaitu Maria Magdalena, untuk tinggal bersamanya. Spekulasi film “The Lost Tomb of Jesus” itu terlalu jauh sebab dalam Injil Yohanes (19:25–27) disebutkan bahwa Yesus di atas kayu salib berbicara kepada ibu-Nya, Maria isteri Yusuf, dan meminta “murid yang dikasihi-Nya” untuk mengangkat ibunya sebagai ibu angkat. “Murid yang dikasihi-Nya” itu tidak lain adalah Yohanes, yang menuliskan Injil itu (21:24–25).
Ada juga asumsi yang dikemukakan bahwa “murid yang dikasihi” itu menunjuk kepada orang yang sering disebutkan tanpa nama dalam Injil. Misalnya, ketika Yesus ditangkap, ada yang melarikan diri dalam keadaan telanjang (Mrk. 14:51–52). Bahkan, asumsi itu diperpanjang dengan kemungkinan bahwa ia adalah murid yang memotong telinga tentara (Mat. 26:51).
Dalam Injil Yohanes (13:23) disebut bahwa pada waktu perjamuan, ada “murid yang dikasihi”, yang bersandar di sebelah kanan dada Yesus. Tradisi dan konteks ayat itu mengindikasikan bahwa itu adalah rasul Yohanes penulis Injil itu. Namun, film “The Da Vinci Code” menggambarkan bahwa orang yang bersandar di sebelah kanan Yesus itu adalah Maria Magdalena. Lain lagi, para pendukung film “The Lost Tomb of Jesus”, menafsirkan bahwa orang yang bersandar itu adalah anak Yesus. Alasan mereka adalah bahwa yang bisa duduk sangat dekat/intim dekat Yesus hanyalah istri atau anak-Nya dan bukan orang lain. Jadinya Maria Magdalena atau Anak Yesus ? lalu dikemanakan Yohanes salah satu dari kedua-belas rasul itu?
Penafsiran tentang “‘murid yang dikasihi” sebagai anak Yesus terlalu mengada-ada karena kedua murid yang tidak disebutkan namanya dalam peristiwa penangkapan Yesus itu tidak jelas. Keempat Injil kanonik pun tidak menjelaskan lebih jauh, baik murid yang lari telanjang maupun yang memotong telinga tentara. Yang jelas, keduanya sudah dewasa. Murid yang dikasihi”, yang duduk di sebelah Yesus ketika perjamuan malam, jelas adalah salah satu dari kedua belas murid-Nya, yaitu Yohanes. Hal itu diakui sendiri oleh Yohanes pada akhir Injil yang ditulisnya. Yang juga jelas di sana adalah bahwa murid itu sudah dewasa.
Kalau benar bahwa “murid yang dikasihi” itu adalah anak Yesus, berapa umurnya? Bila diasumsikan Yesus mengawini Maria Magdalena dalam tiga tahun masa pelayanan-Nya, umur anak itu baru dua tahun. Andaikan Yesus mengawini Maria Magdalena sejak pemuda, anaknya tentu masih remaja. Jika dilihat dari percakapan ketika Yesus disalib, bagaimana mungkin anak remaja memiliki rumah dan ibunya diajak tinggal bersamanya? Seandainya anak itu sudah remaja, tentu ia dilahirkan sejak lama, yaitu ketika Yesus dan Maria Magdalena belum terlibat pertentangan dengan otoritas Romawi. Oleh karena itu, tidak masuk akal bahwa otoritas Yahudi dan Romawi tidak mengenalnya sejak lama atau dalam peristiwa penyaliban namanya dirahasiakan hanya karena takut ikut disalib?
Semua spekulasi itu justru lebih lemah daripada argumentasi dari Injil sendiri bahwa “murid yang dikasihi” Yesus itu tidak lain adalah Yohanes, penulis Injil itu:
“Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.” (Yoh. 21:4, baca selengkapnya ayat 20–25).
A m i n !
Selesai.
Salam kasih dari YABINA ministry (www.yabina.org)
Untuk argumentasi lebih mendalam bacalah buku ‘Menggugat Yesus’ (Kalam Hidup, 2008).
|